KH Rochmat S. Labib: Hanya Hukum Allah yang Pasti Adil

Pengantar:

Sebagaimana diketahui, baru-baru ini DPR dan Pemerintah membuat sejumlah RUU. Sebagiannya sudah disahkan. Di antaranya UU KPK. Sebagian lain ditunda. Di antaranya RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU PKS, dll.

Baik UU KPK yang sudah disahkan maupun UU lain yang ditunda pengesahannya sama-sama menimbulkan pro-kontra. Mengapa? Tentu karena banyak faktor. Yang jelas, karena banyak kepentingan bermain. Akibatnya, pembuatan RUU banyak diintervensi. Yang paling kuat tentu intevensi kekuasaan dan para pemilik modal. Akibatnya, banyak UU lebih berpihak kepada mereka, bukan kepada rakyat.

Bagaimana menyikapi persaoalan di atas. Bagaimana pula cara Islam menyelesaikan persoalan hukum dan perundangan-undangan ini? Itulah di antara pertanyaan Redaksi kepada KH Rochmat S. Labib. Berikut hasil wawancara Redaksi dengan beliau dalam rubrik ‘Hiwar’ kali ini.

 

Benarkah RUU yang disahkan atau yang ditunda pada sidang akhir DPR kemarin kontroversial?

Benar. Seperti yang kita ketahui ada beberapa undang-undang yang memantik protes keras seperti undang-undang KPK yang menyebabkan demo besar-besaran dari kalangan mahasiswa. Demikian juga RUU KUHP, Pertanahan, Minerba, Pemasyarakatan, dan lain-lain

 

Dimana letak kontroversialnya?

UU KPK yang sudah disahkan dianggap justru melemahkan KPK. Itu berarti melemahkan pemberantasan korupsi. RUU KUHP ada beberapa pasal yang menghidupkan kembali pasal penghinaan kepada Presiden yang sudah dibatalkan MK, pemerkosaan pada istri, dan lain-lain.

 

Apa penyebab produk legislasi tersebut sering kontroversial?

Penyebabnya karena pembuatan undang-undang itu diserahkan kepada manusia. Padahal sumbernya adalah akal manusia dan standarnya manfaat. Inilah yang menjadi sumber konflik dan kontroversi. Mengapa? Ketika akal dijadikan sebagai sumber, pertanyaannya: akal siapa? Demikian pula ketika patokannya manfaat dan kepentingan, pertanyaannya: manfaat dan kepentingan siapa?

Fakta menunjukkan dengan jelas akal bersifat relatif. Demikian pula manfaat dan kepentingan. Banyak hal yang dianggap bermanfaat bagi satu pihak, namun tidak bagi pihak lain, bahkan merugikan bagi yang lain. Tampak bermanfaat sekarang, bisa jadi merusak pada masa yang akan datang. Ketika itu terjadi, pihak yang merasa dirugikan akan protes. Karena itu hampir bisa dipastikan UU buatan manusia akan mengundang pro-kontra dan memicu kontroversi.

 

Apakah benar rumor yang menyebutkan bahwa produk legislasi lebih banyak pesanan kepentingan kapitalis dan korporasi jika di banding dengan kepentingan rakyat?

Rumor itu sangat mungkin benar. Itu bisa diketahui dengan membaca siapa yang diuntungkan oleh UU itu. Sebagai contoh, UU Migas. Di dalamnya kewenangan negara yang diwakili BUMN dilucuti. Kedudukannya disamakan dengan perusahaan swasta, bahkan swasta asing. UU itu jelas menguntungkan asing. Belakangan ketahuan bahwa UU itu dibuat atas pesanan.

Demikian juga UU Sumber Daya Air. UU ini menguntungkan korporasi karena bisa menjadikan air sebagai ladang mengeruk keuntungan. Masih banyak lagi.

 

Mengapa itu bisa terjadi?

Sudah menjadi rahasia umum, ongkos politik untuk menjadi anggota legislatif, yakni DPR, dan eksekuti, yakni presiden, gubernur, dan bupati sangat mahal. Apalagi dengan sistem pilihan langsung. Butuh dana yang sangat besar. Nah, di sinilah para kapitalis dan pemilik modal mulai berperan. Ikut memberikan sumbangan kepada calon-calon yang mungkin menang dan kontestasi.

Tentu dana itu tidak gratis. Itu dianggap sebagai modal yang harus mendatangkan keuntungan. Maka dari itu, ketika calon yang dibantu menang, ia akan ditagih. DPR ditagih dalam bentuk UU yang menguntungkan mereka. Pemerintah ditagih dalam bentuk berbagai proyek. Jadi jangan heran jika undang-undang itu menguntungkan mereka. Tidak berpihak kepada rakyat yang mereka wakili.

 

Berarti akan mengokohkan sekularisme dan liberalisme?

Ya. Sudah pasti. Meskipun tidak pernah diakui secara terus-terang, Sekularisme-Liberalismelah yang diterapkan di negeri ini. Sekularisme adalah ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan. Artinya, agama hanya boleh diamalkan dalam kehidupan privat. Adapun kehidupan publik harus disterilkan dari agama. Hukum yang mengatur kehidupan publik dibuat berdasarkan kesepakatan. Bukan oleh ketentuan agama atau syariah.

Untuk mengokohkan Sekularisme, dibuat UU-nya. Contohnya Perppu Ormas yang kemudian disahkan oleh DPR. Di situ jelas ada kriminalisasi pada ajaran Islam.

Demikian pula banyak undang-undang yang mengokohkan liberalisme, seperti UU SDA, UU Migas, UU BUMN, UU BPJS, dan lain-lain.

 

Adakah proses legislasi dalam Islam?

Ada.

 

Bagaimana faktanya?

Dalam pandangan Islam, yang memiliki hak dan otoritas dalam membuat hukum hanya Allah SWT. Dalam surat al-An’am ayat 57 ditegaskan: In al-hukmu illâ lilLâh. Hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah SWT. Dialah Yang berhak menetapkan halal dan haram.

Oleh karena itu, hukum yang wajib diterapkan adalah yang bersumber dari wahyu, yakni dari al-Quran dan as-Sunnah; serta yang ditunjukkan oleh keduanya, yakni Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’i. Dari situlah semua hukum syariah berasal dan diambil.

Inilah yang bedanya Islam dengan demokrasi secara fundamental. Dalam dmeokrasi rakyat yang menjadi pemegang kedaulan dan sumber hukum. Sebaliknya, dalam Islam kedaulatan ada di tangan syariah. Hukum yang diberlakukan bukan berasal dari manusia, tetapi dari Allah SWT.

 

Apa saja cakupannya?

Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Disebutkan dalam Surat al-Nahl ayat 89: Wanazzalnâ a’layka al-Kitâb tibyân[an] li kulli syay. Artinya: Kami telah menurunkan Kitab kepadamu untuk menelaskan segala sesuatu.

Dalam hubungannya dengan Allah SWT, ada aqidah dan hukum-hukum ibadah. Dengan dirinya sendiri, ada hukum seputar makanan, pakaian dan akhlak. Dalam hubungan sesama manusia ada hukum muamalat, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pergaulan, politik luar negeri dan politik pendidikan. Ada juga hukum al-‘uqûbât, yang mengatur sanksi atau hukuman hudûd, jinâyât ta’zîr dan mukhâlafât. Semua hukum itu wajib diterapkan tanpa kecuali.

Sebagian hukum itu, yakni yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan dirinya sendiri, pelaksanaannya diserahkan kepada individu. Sebagian hukum lainnya, yakni yang menyangkut hubungan sesama manusia, seperti sistem pemerintahan, ekonomi, hudud, dan sebagainya, pelaksanaannya diserahkan kepada negara. Itulah Khilafah.

Dengan demikian bisa dikatakan, al-Islâm dîn kâmil wa al-dawlah juz’un mihu. Islam adalah agama yang sempurna dan negara bagian darinya.

Ini juga yang membedakan secara fundamental Islam dengan Sekularisme. Jika dalam Sekularisme agama dipisahkan dari negara, dalam Islam negara adalah bagian dari ajaran Islam. Dalam pengertian, bagaimana negara diatur dan dijalankan harus tunduk pada Islam.

 

Apakah legislasi dalam Islam mampu menjamin kebaikan, kebenaran, keadilan dan berpihak pada seluruh rakyatnya?

Sudah pasti. Islam berasal dari Allah Yang Mahaadil dan Mahaaenar. Dia juga mengetahui semuanya. Yang tampak maupun yang gaib. Yang dulu, sekarang maupun yang akan datang. Dia juga tidak perlu harta, kedudukan, jabatan, dan lain sebagaimana manusia. Karena itu semua hukumnya pasti benar dan adil. Ini sebagaimana ditegaskan dalam QS al-An’am ayat 115: Wa tammat kalimatu Rabbika shidq[an] wa ‘adl[an]. Telah sempurna kalimat Tuhanmu sebagai kalimat yang benar dan adil. Benar dalam semua yang dikabarkan. Adil dalam semua hukum-Nya.

Ini juga telah dibuktikan dalam sejarah. Ketika Islam diterapkan, keadilan dan kesejahteraan terjamin. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, misalnya, tak ada orang yang mau menerima zakat karena tidak ada yang menjadi mustahiq.

 

Bukankan dalam hukum Islam terdapat banyak mazhab yang berbeda-beda?

Memang benar banyak mazhab. Namun, bukan berarti mereka berbeda dalam semua hukum. Ada sebagian hukum yang sepakati. Itu disebabkan karena hukum itu didasarkan pada dalil-dalil yang qath’i, baik tsubût maupun dalâlah atau penunjukannya. Itu terjadi pada al-Quran dan Hadis Mutawatir yang hanya menghasilkan satu makna. Tidak memungkinkan terjadi multiinterpretasi.

Contohnya firman Allah SWT: Wa ahalaL-lâh al-bay’a wa harrama al-ribâ, Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Makna ayat ini sangat jelas, bahwa jual-bel itu halal dan riba itu haram. Untuk memahami ini tidak perlu ijtihad. Hukum yang seperti ini langsung bisa diterapkan karena tidak memerlukan ijtihad dan tidak akan melahirkan perbedaan pendapat. Ada ungkapan: Lâ ijtihâda fî al-nâsh. Tidak ada ijtihad dalam nash.

Berbeda halnya dengan hukum yang didasarkan pada dalil yang zhanni, baik tsubût maupun dilâlah-nya. Yang termasuk dalam zhanniyy al-tsubût adalah hadis ahad. Dalam hal ini diperlukan penetapan lebih dulu, apakah hadis tersebut maqbûl, yakni diterima sebagai hujjah, atau tidak. Ini memerlukan kajian dari para ahi hadis. Kesimpulannya tidak selalu sama. Ada yang mengatakan hadis tersebut maqbûl. Ada juga yang mengatakan mardûd, tertolak. Jadi terbuka peluang terjadinya perbedaan.

Demikian juga dalam dalâlah atau penunjukannya. Ini bisa terjadi dalam ayat maupun hadis. Sebagai contoh, kata aw lâmastum dalam al-Quran. Sebagian fuqaha memahami dengan makna hakiki, yakni menyentuh dengan kulit. Jadi sekadar menyentuh perempuan, wudhunya batal. Sebagian fuqaha lainnya memahaminya dengan makna majâzi, yang berarti jimak. Karena itu sekadar bersentuhan kulit, tidak membatalkan wudhu.

Di sinilah medan ijtihad. Peluang terjadinya ikhtilaf sangat mungkin.

 

Kalau berbeda begitu, hukum mana yang diterapkan?

Jika mengharuskan adanya hukum yang sama, maka Khalifah dapat melakukan tabanni (adopsi), yakni memilih salah satu hukum hasil ijtihad dia sendiri jika dia seorang mujtahid atau hasil ijtihad mujtahid lain, kemudian hukum ditetapkan dan diwajibkan untuk diterapkan. Dasar memilihnya adalah quwwah al-dalîl, kekuatan dalil, yakni hukum didasarkan al-dalîl al-aqwâ, dalil yag lebih kuat.

Ketika sudah di-tabanni oleh Khalifah, hukum tersebut harus ditaati oleh seluruh rakyat. Ini didasarkan pada kaidah: Amrul-Imâm yarfa’ul-khilaf. Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan. Ada juga kaidah: Amrul-Imâm nâfidz zhâhir[an] wa bâthin[an]. Perintah Imam wajib dilaksanakan, baik dalam keadaan ramai maupun sepi.

 

Kalau begitu di mana letak aspirasi rakyat dalam legislasi hukum Islam?

Rakyat dipersilakan menyampaikan pendapat dan hukum yang dianggap memiliki dalil yang lebih kuat. Ketika Khalifah menganggap dalil yang diajukan kepada dia lebih kuat, dia akan mengubah hukum yang dia tabanni. Namun ingat, rakyat hanya berhak menyampaikan pendapatnya. Tidak boleh memaksa Khalifah mengikutinya. Karena itu, jika Khalifah tidak mengubah tabanni-nya, rakyat tetap wajib menaati dan menjalankan hukum yang telah di-tabanni oleh Khalifah.

 

Kalau begitu sangat subjektif?

Subjektif dalam pengertian hukum mana yang dianggap didasarkan dalil yang paling kuat diserahkan kepada Khalifah, iya. Benar. Namun, harus dicatat, Khalifah juga wajib taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam pengertian, dia wajib menjalankan hukum syariah. Ketika ada perbedaan ijtihad, dia wajib memilih berdasarkan quwwah al-dalîl, kekuatan dalil. Bukan berdasarkan pertimbangan lain seperti manfaat, lebih mudah, dan lain-lain. Itu semua adalah hawa nafsu. Allah SWT berfirman: Wa an[hkum] baynakum bimâ anzalalLâh wa lâ tattabi’ ahwâ’ahum. Putuskan oleh kamu dengan apa yang Allah turunkan dan jangan ikuti hawa nafsu mereka.

Jadi, dalam hal ini seorang khalifah harus objektif. Dalam pengertian, dia harus benar-benar mengikuti hukum Allah SWT yang dibangun atas dalil yang paling kuat, sekalipun bertentangan dengan kepentingannya. Dia tidak boleh main-main dalam men-tabanni hukum. Jika dia memutuskan hukum berdasarkan hawa nafsunya, maka urusannya dengan Allah SWT.

Oleh karena itu, Khalifah juga harus memiliki ilmu yang mencukupi untuk bisa melakukan tarjîh sehingga dia memiliki landasan yang kuat dalam men-tabanni hukum.

 

Bisalah produk hukum Islam menjamin pluralitas di tengah masyarakat?

Pluralitas macam apa yang dimaksud? Kalau yang dimaksud suku, bangsa, atau ras, itu tidak pernah dipermsalahkan dalam Islam. Tidak ada manusia yang lebih mulia kecuali ketakwannya. Ini juga sudah dipraktikkan sejak Zaman Nabi saw. Ada Quraisy, Aus, Khajraj, dan berbagai suku di Arab. Ada juga orang dari Persia, Romawi, Habsyah, dan lain-lain.

Jika yang dimaksud pluralitas dalam agama, Islam tidak membolehkan umatnya untuk memaksa pemeluk agama lainnya masuk Islam. Ini juga dibuktikan dalam sejarah. Khilafah Islam tidak pernah memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Jika faktanya mereka berbondong-bong masuk Islam dalam waktu sangat cepat, itu bukan karena paksaan. Mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri tentang kebaikan dan keadilan Islam.

Kalau yang dimaksud adalah adat-istiadat, maka standarnya Islam. Jika adat-istiadat itu tidak bertentangan dengan Islam, dipersilakan untuk berkembang. Namun, jika bertentang dengan Islam, ya harus dihilangkan.

 

Bagaiman Islam mencegah intervensi pemilik modal dalam legislasi Islam?

Tadi sudah saya jelaskan. Hukum Islam didasarkan pada dalil. Bukan manfaat dan kepentingan. Jadi, pemilik modal tidak akan bisa mengintervensi hukum agar sesuai dengan kepentingannya.

 

Apa keunggulan legislasi Islam di banding legislasi lainnya?

Di antara keistimewaan Islam adalah aspek keluasannya. Islam dapat menjelaskan semua perkara baru yang terus bermunculan dan berbeda-beda. Itu karena dalil-dalil syariah, yakni al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’i, datang dalam bentuk khuthûth ‘arîdhah, garis-garis besar. Lafal dan gaya bahasanya berbentuk umum dan mencakup. Ini memungkinkan para ulama untuk melakukan istinbâth atau menggali hukum dari nash-nash syariah tentang perkara baru apapun, baik perbuatan maupun benda.

Ini tentu berbeda dengan hukum buatan manusia. Selalu ketinggalan zaman. Setiap ada masalah baru harus dibuat UU baru. Pembahasannya kadang memerlukan waktu yang sangat lama dan biaya yang sangat besar. RUU KUHP, misalnya, mulai dibahas pada tahun 1968 sampai sekarang belum kelar juga. Parahnya, begitu UU disahkan, bisa langsung dibatalkan oleh Presiden dengan membuat Perppu.

Hukum Islam juga benar dan adil karena berasal dari Zat Yang Mahaadil dan Mahabenar. Tak mungkin keliru sehingga harus direvisi seperti hukum buatan manusia.

Selain itu, ketika yang diterapkan dalam kehidupan adalah hukum Islam atau syariah kita bisa berharap mendapatkan berkah. Sebab, Allah SWT dalam Surat al-A’raf ayat 96 Allah SWT menjanjikan akan membuka berkah dari langit dan bumi kepada negeri yang penduduknya mau beriman dan bertakwa.

Terakhir, ini yang paling penting, menerapkan syariah akan mendatang ridha Allah SWT. Pahala dan surga-Nya. Berbeda dengan hukum buatan manusia, justru mendatangkan murka dan azab-Nya. []


0 Comments

Leave a Comment

17 − six =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password