Amerika-Iran Di Ambang Perang?

Hubungan Iran dan Amerika dan Iran kembali memanas. Amerika Serikat (AS) berencana melakukan serangan taktis besar-besaran terhadap sejumlah sasaran di Iran. Hal itu diungkapkan seorang diplomat Barat di markas PBB di New York kepada surat kabar Israel, Maariv. “Pengeboman akan sangat besar, tetapi akan terbatas pada target tertentu,” kata sumber anonim itu, tanpa menyebutkan secara spesifik apa jenis targetnya seperti dilansir dari Sputnik, Rabu (19/6/2019).
Media Israel lainnya, The Jerusalem Post, menyatakan bahwa serangan itu mungkin menargetkan fasilitas yang terkait dengan program nuklir Iran.
Amerika Serikat memastikan akan mengirimkan 1.000 tentara tambahan ke Timur Tengah di tengah peningkatan ketegangan dengan Iran. Pelaksana Tugas Menteri Pertahanan AS, Patrick Shanahan, mengatakan bahwa personel tambahan ini dikerahkan “untuk tujuan pertahanan dari ancaman di udara, laut dan darat di Timur Tengah.”
“Serangan Iran belakangan ini menghasilkan intelijen kredibel yang kami terima terkait sikap pasukan Iran dan kelompok proksi mereka yang mengancam personel dan kepentingan AS di kawasan,” ujar Shanahan seperti dilansir AFP.
Memanasnya hubungan Amerika dan Iran dipicu oleh serangan sabotase terhadap dua tanker “terkait” Jepang di Teluk Oman. Menteri Luar Negeri Pompeo segera menyalahkan Iran atas serangan itu. Teheran dengan tegas menolak tuduhan Pompeo. Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan AS membuat klaimnya tanpa sedikit pun bukti faktual. Ia balik menuduh pejabat Pemerintah Trump dan sekutu Teluk mereka terlibat dalam diplomasi sabotase untuk menutupi terorisme ekonomi mereka melawan Iran.
Sebaliknya, pihak perusahaan Jepang melaporkan kondisi yang berbeda dengan apa yang dituduh Amerika Serikaat. Presiden perusahaan Jepang yang mengoperasikan salah satu kapal tanker yang dihantam serangan menentang peristiwa itu versi AS. Ia mengatakan kru kapal melihat benda terbang ke arah mereka sebelum ledakan. Pernyataan pejabat itu bertentangan dengan tuduhan AS tentang pasukan militer Iran menggunakan ranjau yang melekat pada kapal untuk melakukan serangan.
Hubungan Amerika-Iran memang semakin memanas di era Presiden Trump. Ketegangan antara Iran dan AS mulai meningkat pada Mei 2018 ketika AS secara sepihak menarik diri dari perjanjian nuklir Iran 2015 dan menerapkan kembali sanksi keras terhadap Teheran. Bulan lalu, Iran mengumumkan akan menarik diri dari beberapa komitmen di bawah kesepakatan nuklir. Meski begitu, Teheran menyatakan bahwa mereka tidak ingin mengejar senjata nuklir.
Presiden Hassan Rouhani menyebut bakal melanjutkan pengayaan uranium. Dalam salah satu poin, Rouhani mengancam akan melanjutkan pengayaan uranium jika negara Eropa yang tergabung dalam perjanjian nuklir 2015 atau JCPOA itu tidak membela Teheran dari sanksi AS. Perjanjian yang digagas di era Barack Obama itu menyepakati bahwa negara Barat akan mencabut serangkaian sanksi terhadap Teheran. Sebagai timbal balik, Iran harus menyetop segala bentuk pengembangan senjata rudal dan nuklirnya, termasuk pengayaan uranium.
Namun, di bawah komando Presiden Donald Trump, AS menarik diri secara sepihak dari perjanjian nuklir itu pada Mei 2018 lalu dan kembali menerapkan sanksi atas Iran. Sejak ultimatum Rouhani tersebut, AS dan Iran terus saling lontar ancaman. Presiden Donald Trump bahkan mengerahkan kapal induk dan sejumlah pesawat pengebom ke Timur Tengah.
Meskipun ada opsi menyerang Iran, Amerika menyatakan tidak ada keinginan untuk melakukan perang terbuka. AS memang terus menyalahkan Iran atas serangan ke dua kapal tanker yang terbakar di Teluk Oman. Meski demikian, Menteri Pertahanan AS Shanahan memastikan pengerahan pasukan tambahan ini bukan berarti AS ingin berperang dengan Iran. “AS tidak ingin konflik dengan Iran. [Pengerahan ini] untuk memastikan keamanan personel militer kami yang bekerja di kawasan dan menjaga kepentingan nasional kami,” katanya.
Kemungkinan perang terbuka jauh dari kemungkinan. Ini tampak dari pernyataan Trump dalam pernyataannya di Gedung Putih. Menjawab pertanyaan seputar jika Amerika Serikat berniat melancarkan perang terhadap Iran, Trump mengatakan, “Saya berharap bahwa itu tidak.” (RT, 16/5/2019).
Demikian juga sebagaimana dilaporkan Reuters (16/5/2019), Ketua DPR Amerika Nancy Pelosi mengatakan, pemerintahan Trump tidak memiliki mandat dari Kongres untuk melancarkan perang terhadap Iran di tengah meningkatnya ketegangan di Timur Tengah. Pelosi mengatakan kepada para wartawan bahwa pemerintahan Republik akan membuat pernyataan dalam sesi tertutup anggota DPR senior yang disebut kelompok G-8 tentang Iran pada Kamis.”
Hal senada dikatakan pihak Iran. Pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei mengatakan tidak akan ada perang dengan Amerika Serikat, dalam komentar yang dipublikasikan di media pemerintah dan di situs jejaring sosial Twitter. Ayatollah Ali Khamenei mengatakan, “Kami tidak berusaha ke arah perang. Mereka juga tidak berusaha ke arah perang.” (BBC, 14/5/2019).
Penyebab Eskalasi
Kalau perang kecil kemungkinan terjadi, lantas apa sebenarnya penyebab eskalasi hubungan Iran-Amerika.
Dalam soal jawab Amir Hizbut Tahrir (24/5) (Http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/political-questions/60340.html) disebutkan peningkatan suhu politik ini kemungkinan disebabkan tiga hal. Pertama: Pasar minyak global. Sekarang ini, masalah minyak Amerika berbeda dengan satu dekade lalu. Sebab Amerika berhasil dalam teknologi eksplorasi minyak serpih dan bisa mengekspor minyak. Padahal Amerika adalah negara pengimpor minyak. Jalan keluar Cina untuk mengurangi defisit perdagangan dengan Amerika adalah meningkatkan impor minyak dari Amerika.
Pada waktu yang sama, Amerika terus mengimpor minyak murah dari para penguasa murahan di negara-negara Teluk, khususnya Saudi. Menurut fakta ini, tekanan Amerika terhadap Iran dan ketidakbolehan Iran mengekspor minyak akan menaikkan harga minyak global dan Amerika menjadi pihak yang mengambil manfaat dari hal itu. Sebab naiknya harga minyak akan sesuai dengan beban biaya produksi minyak serpih.
Perkara yang lebih penting dari itu, harga minyak naik di tengah pengarahan eskalasi Amerika karena sabotase tanker pengangkut dan fasilitas-fasilitas minyak. Dengan ini menjadi jelas bahwa Amerika di balik peningkatan ketegangan atmosfer dengan Iran mengambil manfaat dari naiknya harga minyak. Amerika mampu menaikan produksinya dari minyak serpih. Setiap kali harga minyak naik, korporasi-korporasi Amerika terdorong untuk memproduksi lebih banyak minyak serpih yang ada dengan jumlah imajiner di Amerika. Tidak diragukan, Amerika memandang ketegangan ini sebagai manfaat untuk korporasi-korporasi minyaknya, khususnya di bawah cara berpikir bisnis yang mendominasi pemerintahan Trump.
Kedua: Penandatanganan kesepakatan nuklir baru dengan Iran yang menjamin bagian terbesar untuk korporasi-korporasi Amerika di pasar Iran. Tidak tersembunyi bagi orang yang memonitor bahwa Amerika memainkan permainan terbuka dengan Iran untuk menandatangani perjanjian nuklir baru dengan Iran yang juga mencakup program misil dan pengaruhnya di wilayah tersebut. Untuk itulah terjadi kunjungan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ke Irak. “Apa yang dikatakan oleh Pompeo kepada Abdul Mahdi, menurut orang yang mengetahui rincian pertemuan, adalah sama sekali berbeda. Bahkan Perdana Menteri Irak Abdul Mahdi dikejutkan dengan logat yang diucapkan oleh Pompeo dalam pertemuan dengannya. Pompeo meminta dari Abdul Mahdi untuk menyampaikan pesan kepada Teheran yang isinya bahwa Amerika Serikat tidak tertarik dengan meletusnya perang dan bahwa apa yang diinginkan Trump adalah mengikat perjanjian nuklir baru—perjanjian yang bisa dinisbatkan kepada dirinya… (Nun Post, 15/5/2019, mengutip dari Middle East Inggris).
Presiden Amerika tidak menyembunyikan tujuan ini. Presiden Amerika mengungkapkan keinginannya untuk mengontak para pemimpin Iran untuk menyelesaikan krisis yang makin menyala. Pemerintahan Trump meninggalkan nomor telepon kepada orang-orang Swiss supaya para pemimpin Iran mengontaknya jika mereka ingin bernegosiasi.
Presiden Amerika mengatakan, “Yang wajib mereka lakukan adalah menelepon saya kemudian duduk untuk mengikat perjanjian, perjanjian yang adil. Kami tidak berharap untuk menyakiti Iran.”
Trump menambahkan, “Saya ingin mereka menjadi kuat dan hebat serta memiliki perekonomian yang hebat, tetapi mereka harus mengontak saya. Jika mereka melakukan itu, kami siap untuk bernegosiasi dengan mereka.”
Gedung Putih meninggalkan nomor telepon kepada Swiss, yang merepresentasikan Iran dalam hubungan diplomasinya dengan Amerika, agar terjadi hubungan komunikasi dalam kondisi Teheran ingin bernegosiasi dengan Washington (CNN Arabic, 11/5/2019).
Ketiga: Yang paling penting adalah membangun aliansi Amerika-Arab bersama entitas Yahudi untuk menentang Iran. Orang yang menelaah sejumlah tujuan politik Amerika di wilayah dan konstelasi regional menjadi jelas bahwa sebab paling penting yang mendorong Amerika hari ini untuk meningkatkan eskalasi atmosfer dengan Iran adalah membangun aliansi ini. Artinya, mengalihkan masalah pergolakan di wilayah tersebut dari permusuhan Israel dengan menduduki wilayah yang penuh berkah, Palestina; juga dari kewajiban memerangi Israel untuk menghilangkannya dan mengembalikan Palestina ke negeri Islam menjadi pergolakan sektarian di wilayah tersebut dengan Iran! Dengan ungkapan lain, melebur entitas Yahudi di wilayah tersebut.
Tujuan ini yang tidak mampu dilakukan Amerika dan Inggris selama berdekade-dekade. Amerika sekarang berharap bisa mencapai itu melalui para penguasa pengkhianat, khususnya di Teluk, yang bersegera untuk melakukan normalisasi dengan entitas Yahudi di bawah dalih Amerika “ketakutan terhadap Iran”.
Hal ini tampak dengan jelas dalam sikap entitas Yahudi: Di tengah terjadinya ketegangan di Teluk, Perdana Menteri entitas Yahudi dengan dihadiri oleh duta besar Amerika Fredman, mengatakan, “Ada kebersamaan dan kebangkitan baru untuk hubungan antara kami dan banyak tetangga Arab kami serta banyak negara Islam selain Arab.”
Netanyahu mengatakan, “Kami bersatu dalam keinginan untuk melawan permusuhan Iran.”
Netanyahu menambahkan bahwa bagi negara Israel dan semua negara di wilayah serta semua negara yang ingin mengokohkan perdamaian di dunia wajib berdiri bersama di samping Amerika Serikat melawan permusuhan Iran.”
Perdana Menteri Israel menekankan pentingnya terus memperkuat kekuatan “Israel dan aliansinya yang penting dengan Amerika” (RT, 14/5/2019).
Jadi peningkatan eskalasi kejadian-kejadian dan pemanasan atmosfer bukanlah pendahuluan untuk perang menyeluruh antara Amerika dan Iran, tetapi yang lebih tepat adalah pendahuluan untuk merealisasi tiga sebab yang disebutkan di atas. Namun demikian, ini tidak menghalangi terjadinya serangan terbatas dan singkat untuk menyelamatkan muka kedua pihak dari sisi menghilangkan rasa malu dari keduanya disebabkan pergerakan mereka, pernyataan mereka berupa ancaman, intimidasi, pencegahan dan perubahan perilaku!
Sungguh, perkara yang menyakitkan adalah meskipun Amerika tidak menyembunyikan tujuan-tujuannya dalam berbagai pernyataan dan ancamannya, para penguasa di negeri kita, khususnya di wilayah Teluk, memberikan pembenaran kepada Amerika atas kesombongan dan hegemoninya terhadap wilayah tersebut. Seolah-olah mereka bisu, tuli dan buta tidak bisa memahami, dan kemudian mereka merugi dunia dan akhirat mereka. [Farid Wadjdi, dari berbagai sumber]
0 Comments