Hukum Meminta-minta dan Menimbun Harta
Soal:
Dinyatakan di dalam Kitab Muqaddimah ad-Dustuur Pasal 142: Menimbun harta dilarang meskipun dikeluarkan zakatnya.
Pada halaman 77 kitab tersebut Juz 2, dalam penjelasan hadis Abu Umamah yang teksnya sebagai berikut: “Ini berarti pengharaman menimbun emas dan perak secara mutlak meskipun dua dinar dan meskipun satu dinar selama merupakan penimbunan (al-kanz).”
Saya memahami, orang fakir tidak dapat meminta-minta dari orang-orang melebihi kebutuhannya. Pertanyaannya: Apa batas tertinggi orang fakir yang tidak dapat meminta dari orang-orang (melebihi kebutuhannya) sehingga dia tidak dinilai sebagai orang yang menimbun harta? Apa saja kebutuhannya? Berapa jumlah yang bisa dia minta dari orang-orang dan yang bisa dia simpan? Kapan dia harus berhenti dari meminta-minta?
Jawab:
Pertama: Pertanyaannya, pada substansinya tentang topik meminta-minta, itu berbeda dengan topik menimbun harta (kanzu al-mâl). Menimbun harta tidak memiliki hubungan dengan miskin dan kaya. Juga tidak punya hubungan dengan membutuhkan atau tidak membutuhkan. Menimbun harta itu dinisbatkan pada pengumpulan dan penimbunan harta, yang tidak untuk kebutuhan yang ingin dibiayai, terlepas dari orang yang menimbun itu orang kaya atau orang fakir. Orang kaya bukan orang yang membutuhkan. Dia menimbun harta bukan karena kebutuhan yang hendak dia biayai. Orang fakir demikian juga. Dia bisa saja menimbun harta bukan karena kebutuhan yang hendak dia biayai. Dia adalah orang yang membutuhkan, tetapi dia tidak membelanjakan harta yang dia miliki untuk memenuhi kebutuhannya, melainkan dia menimbun hartanya. Padahal ada kebutuhan pada dirinya. Inilah yang terjadi pada sebagian ahlu ash-shufah. Mereka termasuk orang yang membutuhkan. Mereka hidup dari sedekah orang-orang. Namun, pada waktu yang sama, sebagian mereka menimbun emas (satu-dua dinar). Mereka menimbun hartanya tidak karena kebutuhan yang akan dia biayai.
Topik penimbunan harta dan pengharamannya dirinci di dalam Kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdî.
Kedua: Sebelumnya telah ditanyakan tentang menimbun dan menabung. Jawaban tertanggal 13/1/2014. Di situ dinyatakan:
Menimbun harta adalah mengumpulkan harta tanpa keperluan. Jika di situ ada keperluan yang disyariatkan seperti Anda mengumpulkan harta untuk membangun rumah, membeli tanah, membangun pabrik, menikah, dsb, atau Anda punya anak-anak sehingga Anda kumpulkan untuk mereka angsuran mereka untuk menyekolahkan mereka di sekolah tertentu, atau untuk membeli mobil atau semacam itu, maka ini adalah mengumpulkan harta untuk keperluan dan bukan menimbun. Ini adalah pengumpulan yang halal, dizakati jika nishabnya telah berlalu satu haul.
Mengumpulkan nafkah (belanja) untuk diri sendiri dan untuk orang yang menjadi tanggungan yang cukup untuk satu tahun adalah perkara yang boleh dan bukan merupakan penimbunan. Sebabnya, Rasul saw. pun pernah memberi nasfkah para Ummul Mukminin untuk satu tahun. Umar ra. meriwayatkan:
كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِي النَّضِير مِمَّا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ، مِمَّا لَمْ يُوجِفْ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُون بِخَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ، فَكَانَتْ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم خَاصَّةً، فَكَانَ يُنْفِقُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَةٍ، وَمَا بَقِيَ يَجْعَلُهُ فِي الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ، عُدَّةً فِي سَبِيلِ الله
Dulu harta Bani Nadhir termasuk apa yang diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya; termasuk harta yang tidak diperoleh oleh kaum Muslim dengan kuda atau pasukan. Itu adalah untuk Nabi saw. secara khusus. Beliau membelanjakan harta itu untuk keluarga beliau sebagai nafkah satu tahun. Sisanya beliau jadikan untuk membeli kuda dan senjata sebagai persiapan jihad fi sabilillah.
Imam an-Nawawi menjelaskan hadis ini di dalam Syarh Shahîh Muslim: “Ucapan Umar ra., ’Beliau membelanjakan harta itu untuk keluarga beliau sebagai nafkah satu tahun.’ Artinya, beliau sisihkan untuk mereka nafkah satu tahun. Namun, akhirnya beliau belanjakan sebelum habis satu tahun dalam berbagai kebaikan sehingga tidak sampai genap satu tahun.”
Oleh karena itu, mengumpulkan harta untuk nafkah selama satu tahun bukan merupakan penimbunan (al-kanz). Dizakati nishabnya jika telah berlalu satu haul.
Ketiga: Adapun meminta-minta (asy-syahâdah), dalil-dalil syariah yang rinci (tafshîliyah) menjelaskan hukum meminta-minta dan batas-batasnya secara syar’i sebagai berikut:
Syariah telah melarang meminta-minta harta kepada orang-orang bukan karena kebutuhan. Syariah memerintahkan orang yang mampu untuk bekerja guna mendapatkan harta: Allah SWT berfirman dalam memuji orang-orang fakir yang menjaga kemuliaannya (tidak meminta-minta) sekaligus memberi isyarat larangan meminta-minta kepada orang-orang (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 273).
Rasulullah saw. pun bersabda:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا
Siapa saja yang meminta-minta harta kepada orang-orang untuk memperbanyak hartanya maka sungguh tidak lain dia seperti meminta bara api (HR Muslim).
Dinyatakan pula dari Abu Hurairah ra. yang berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْ ني بِهِ مِنَ النَّاسِ خَيْر لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلاً أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ
Salah seorang kalian pergi pada pagi hari, lalu dia mencari kayu bakar (dia panggul) di atas punggungnya, kemudian dia bersedekah dengannya dan tidak membutuhkan harta dari manusia, adalah lebih baik daripada dia meminta kepada seseorang, yang kadang memberi dia atau tidak memberi. Hal itu karena tangan di atas itu lebih afdhal dari tangan di bawah dan mulailah dengan orang yang menjadi tanggunganmu (HR Muslim).
Syariah membolehkan meminta-minta harta kepada orang-orang dalam keadaan-keadaan tertentu yang telah dijelaskan oleh Rasul saw. Qabishah bin Mukhariq al-Hilali berkata: Aku menanggung beban. Lalu aku datang kepada Rasululalh saw. dan meminta kepada beliau. Beliau bersabda, “Tinggallah sampai datang sedekah kepada kami lalu kami akan memerintahkan (untuk diberikan) kepadamu.” Qabishah berkata: Kemudian beliau bersabda, “Qabishah, sungguh meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk satu dari tiga orang: seorang laki-laki yang menanggung beban, halal bagi dia meminta-minta sampai dia mendapatkannya, kemudian dia berhenti; seorang laki-laki yang ditimpa musibah yang menimpa hartanya, halal bagi dia meminta-minta sampai dia mendapatkan penopang hidupnya (atau sabda beliau: yang memenuhi kebutuhan hidupnya); seorang laki-laki yang ditimpa kemiskinan sehingga tiga orang dari kaumnya yang memiliki kebutuhan berdiri (memberi penilaian), ‘Sungguh kemiskinan telah menimpa si fulan,’ halal bagia dia meminta-minta sampai dia mendapatkan penopang hidup (atau sabda beliau: yang memenuhi kebutuhan hidupnya). Tidaklah permintaan selain dari ketiganya, wahai Qabishah, kecuali merupakan harta haram yang dimakan pelakunya sebagai harta haram.” (HR Muslim).
Jelas dari hadis ini, golongan orang yang halal untuk meminta-minta adalah: orang yang memikul utang dalam memperbaiki hubungan di antara manusia, orang yang ditimpa musibah dan orang fakir yang membutuhkan.
Diikutkan dengan ketiga golongan itu adalah orang yang pada posisi hukum mereka, seperti orang yang berutang (debitur) yang tidak memiliki harta untuk membayar utangnya, karena terderivasi di bawah lafal “ghârimîn” (Lihat: QS at-Taubah [9]: 60).
Demikian juga orang kuat yang tidak memiliki penghasilan, yakni orang yang tidak menemukan pekerjaan yang bisa dia kerjakan untuk mendapatkan makanannya, tidak punya harta dan tidak pula kerabat yang memberi dia harta. Hal itu karena sabda Rasul saw. dalam hadis dari Hisyam bin ‘Urwah yang berkata: Bapakku telah menceritakan kepadaku: Ubaidullah bin Adi bin al-Khiyar telah menceritakan kepadaku: Pernah ada dua orang laki-laki menceritakan kepada dia bahwa keduanya pernah datang kepada Rasulullah saw. dan meminta sedekah kepada beliau. Beliau membuka mata lebar-lebar kepada keduanya dan melihat keduanya kuat. Beliau lalu bersabda:
إِنْ شِئْتُمَا وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ
Jika kalian mau, sementara tidak ada bagian di dalamnya untuk orang kaya dan tidak pula untuk orang kuat yang bisa bekerja mencari nafkah (HR an-Nasa’i).
Juga orang yang memikul pembayaran diyat dari kerabatnya atau orang dekatnya atau bagiannya orang yang membunuh yang dia bayarkan kepada wali korban terbunuh. Jika dia tidak membayar, maka kerabatnya atau orang dekatnya itu dibunuh Hal itu karena apa yang diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
إِنَّ الْمَسْأَلَة لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدٍ ثَلَاثٍ ذِي دَمٍ مُوجِعٍ أَوْ غُرْمٍ مُفْظِعٍ أَوْ فَقْرٍ مُدْقِعٍ
Sungguh meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk salah satu dari tiga orang: orang yang memiliki tanggungan diyat yang harus dia bayar kepada wali korban terbunuh, atau utang yang memberatkan atau kemiskinan yang parah (HR Ahmad)
Golongan-golongan ini boleh meminta-minta sampai kebutuhannya terpenuhi. Sebaliknya, meminta-minta tidak boleh bagi selain golongan yang disebutkan d dalam hadis Qabishah dan orang yang ada pada posisi hukum mereka.
Keempat: Kami telah menyebutkan batas kecukupan sehingga seseorang tidak boleh meminta-minta. Di dalam Kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah bab “Mashârif az-Zakâh” dijelaskan:
Allah telah mengharamkan atas orang kaya untuk mengambil sedekah (zakat). Imam Ahmad dan Ashhaab as-Sunan telah meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Amru ra. yang berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda:
لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ، وَلَا لِذِي مِرَّةٍ سَوِيٍّ
Tidak halal sedekah (zakat) untuk orang kaya dan tidak pula untuk orang yang memiliki kemampuan.
Dzu al-mirrah adalah orang yang memiliki kekuatan. Orang yang memiliki kemampuan adalah al-muktasib (orang yang mampu bekerja). Jika dia tidak menemukan pekerjaan maka dia dinilai sebagai fakir.
Adapun orang kaya adalah orang yang tidak membutuhkan orang lain. Masuk di dalamnya kelebihan dari apa yang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Telah dinyatakan dalam beberapa hadis yang menjelaskan siapa orang kaya itu. Abdullah bin Mas’ud ra. berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَسْأَلُ مَسْأَلَةً، وَهُوَ عَنْهَا غَنِيٌّ، إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كُدُوحاً، أَوْ خُدُوشاً، أَوْخُمُوشاً فِي وَجْهِهِ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَا غِنَاهُ، أَوْ مَا يُغْنِيهِ؟ قَالَ: خَمْسُونَ دِرْهَماً، أَوْ حِسَابُهَا مِنَ الذَّهَبِ
“Tidak seorang pun yang meminta-minta, sementara dia tidak membutuhkan (memiliki kecukupan/kaya), kecuali dia datang para Hari Kiamat dengan ada banyak bekas garukan, atau banyak bekas cakaran atau banyak luka bekas cakaran di wajahnya.” Dikatakan, “Wahai, Rasulullah, apa kecukupannya atau apa yang membuat dia berkecukupan (kaya)?” Beliau bersabda, “(Memiliki harta) lima puluh dirham, atau senilai itu berupa emas.” (HR Al-Khamsah).
Artinya, siapa saja yang memiliki harta sebesar lima puluh dirham perak atau 148,75 gram perak, atau emas yang senilai dengannya, yang merupakan kelebihan dari kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, nafkah istrinya, anaknya dan pembantunya, dia dinilai sebagai orang kaya. Tidak boleh bagi dia mengambil sedekah (zakat).
Atas dasar itu, tidak boleh bagi semisal orang kaya ini untuk meminta-minta kepada orang-orang.
Harus dicatat bahwa merebaknya fenomena para peminta-minta (pengemis) di negeri-negeri Islami kembali pada syariah Islam yang dijauhkan dari penerapannya dan kegagalan besar para penguasa dalam mengurusi urusan masyarakat. Padahal negeri kaum Muslim merupakan gudang harta dan kekayaan. Kesalahan tidak jatuh pertama-tama kepada para peminta-minta dan pengemis, tetapi pertama-tama jatuh kepada para penguasa yang tidak menerapkan syariah. Mereka pun tidak mengurusi urusan masyarakat, tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan tidak menyediakan untuk masyarakat penopang hidup mereka.
Sungguh, Khilafah ar-Rasyidah yang akan datang dalam waktu dekat dengan izin Allah, prioritasnya adalah mengatasi fenomena kemiskinan di negeri-negeri islami dan dampaknya, juga berbagai fenomena buruk seperti fenomena para peminta-minta. Kami telah menjelaskan di kitab-kitab kami, bagaimana Islam menyelesaikan problem kemiskinan, khususnya apa yang ada di dalam Kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdî.
WalLâhu a’lam wa ahkam. []
[Dikutip dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 19 Jumada al-Akhirah 1443 H/22 Januari 2022 M]
Sumber:
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/79898.html
https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/476691797351528
0 Comments