Bahaya Utang
Utang Pemerintah Indonesia hingga akhir Agustus 2018 mencapai Rp 5.000 triliun lebih. Naik 13,46 persen dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 3.556 triliun atau 29,24 persen dari produk domestik bruto (PDB). Penyebab utama kenaikan ini adalah defisit anggaran yang diterapkan oleh Pemerintah. Artinya, Pemerintah lebih banyak melakukan pengeluaran daripada mengumpulkan pemasukan.
Setiap tahunnya Pemerintah harus membayar cicilan utang luar negeri dengan model ribawi yang cukup besar nominalnya. Hal itu akan mempengaruhi besaran persentase APBN untuk membayarnya sekaligus mengorbankan sektor lain, seperti militer, pendidikan dan kesehatan. Uang untuk kesehatan dan pendidikan makin turun.
Utang Pemerintah ini rawan. Apalagi bentuknya sebagian besar adalah obligasi. Sebanyak 50 persen obligasi itu dipegang asing. Ini bisa membuat kedaulatan Pemerintah atas ekonominya lemah dan sangat terpengaruh oleh kondisi keuangan global. Misal, rencana The Fed menaikkan suku bunga lebih dari tiga kali dalam setahun membuat rupiah goyang, pasar saham goyang, karena kedaulatan makin dipegang pihak luar.
Membangun Negara dengan utang merupakan cara pandang ekonom kapitalis. Dampak peningkatan utang ini jelas akan menyebabkan beban berat pada generasi mendatang. Pemerintah tentu akan melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan atau dengan peningkatan pajak. Penekanan pengeluaran biasanya dengan mengurangi subsidi untuk rakyat. Di sisi lain pajak makin tinggi.
Efisiensi pengeluaran Pemerintah sangat jarang dijadikan sebagai kebijakan utama. Pemerintah lebih sering memilih menambah utang dan menaikkan pajak dalam jangka panjang, serta mencetak uang sebagai jalan terakhir.
Utang yang diberikan negara-negara kapitalis kepada negeri-negeri berkembang pada hakikatnya adalah salah satu cara yang ditempuh untuk menjajah secara ekonomi negara-negara yang menerima utang tersebut. Dengan kata lain, negara penerima utang akan dijadikan “sapi perahan” belaka, yang diambil dan disedot segala harta dan kekayaan oleh negara-negara pemberi hutang. Faktanya, jumlah pembayaran kembali cicilan dan bunga hutang-hutangnya telah menyedot porsi yang sangat besar dari belanja negara.
Utang luar negeri sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan (moneter) negara pengutang. Hutang ada yang berjangka panjang dan ada yang berjangka pendek. Yang berjangka pendek berbahaya karena akan dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya akan dapat memicu kekacauan ekonomi dan kerusuhan sosial dalam negeri. Sebab bila hutang jangka pendek ini jatuh tempo, pembayarannya tidak menggunakan mata uang domestik, melainkan terutama harus dengan dolar AS. Padahal dolar AS termasuk hard currency.
Maka dari itu, negara penghutang tidak akan mampu melunasi hutangnya dengan dolar AS karena langka, ataupun kalau dipaksakan membeli dolar, maka dolar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata uang lokal, sehingga akhirnya akan membawa kemerosotan nilai mata uang lokal.
Hutang jangka panjang juga berbahaya karena makin lama jumlahnya semakin menggila, yang akhirnya akan dapat melemahkan anggaran belanja negara penghutang dan membuatnya tidak mampu lagi melunasi hutang-hutangnya. Pada saat inilah negara-negara kreditor akan dapat memaksakan kehendak dan kebijakannya yang sangat merugikan kepada negara penghutang. [Aji Salam; (Forum Ekonomi Indonesia)]
0 Comments