Barat Menyerang Syariah di Afghanistan

Sampul majalah satire Prancis Charlie Hebdo edisi 17 Agustus 2021 menampilkan karikatur tiga perempuan mengenakan burka berwarna biru bertuliskan Taliban berjudul, “Taliban. Ini lebih buruk dari perkiraan awal”. Karikatur itu mengawali sorotan Barat atas situasi perempuan di Afghanistan.
Paska kemenangan Taliban, Barat kembali gencar menunjukkan bahwa penindasan terhadap hak-hak perempuan dengan dalih agama akan kembali terjadi di Afghanistan. Barat bahkan mensyaratkan pemerintahan baru Afghanistan harus demokratis, mematuhi norma-norma internasional dan standar hak asasi manusia.
Propaganda Buruk Barat Atas Perempuan Afghanistan di Bawah Taliban
Juru Bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, mengatakan bahwa Taliban mengakui keberadaan perempuan dan menjamin seluruh hak-hak mereka dalam batas-batas ajaran Islam. Tidak akan ada diskriminasi terhadap perempuan. Ia juga menyatakan laki-laki maupun perempuan harus memiliki akses ke pendidikan dengan lingkungan khusus dan aman.
Namun, Barat menanggapi pernyataan tersebut dengan skeptic. Barat kembali mengumbar narasi menakutkan penerapan “syariah Islam di bawah Taliban”. Sekjen PBB menyatakan keadaan di Afghanistan mengerikan karena hak-hak perempuan Afghanistan direnggut. Pramila Patten, Executive Director a.i of UN Women menuntut Taliban untuk melibatkan perempuan dalam kehidupan publik dan politik. Kabinet Taliban yang tanpa ada satu perempuan pun dianggap sebagai bukti tiadanya komitmen pemberian hak politik perempuan.
Afghanistan dianggap sebagai negara paling berbahaya dan tempat terburuk di dunia bagi perempuan. Apalagi ketika Taliban berkuasa dengan menerapkan interpretasi kaku hukum Islam. Taliban melarang perempuan bekerja dan bersekolah, membatasi akses mereka ke perawatan kesehatan dan banyak gadis kawin paksa saat umur mereka di bawah 16 tahun.
Barat mengklaim, sejak Taliban digulingkan tahun 2001, perempuan mendapatkan kemajuan. Namun sekarang, ketika kembali berkuasa, aturan Taliban dianggap dapat memperburuk kesetaraan gender dan membuat masa depan perempuan di Afghanistan menjadi tidak pasti. Barat terus menebarkan propaganda bahwa Taliban dan penerapan syariah Islam lah penyebab buruknya nasib perempuan di Afghanistan. Mereka mengklaim di bawah arahan Barat, perempuan Afghanistan akan mendapatkan kemajuan dan kesetaraan. Tentu penilaian itu berpegang pada tolok ukur Barat. Bukan dengan sudut pandang syariah Islam dan keimanan kepada Allah SWT.
Potret Buruk Perlakuan Barat di dunia
Sejatinya Baratlah biang kerok kekacauan di Afghanistan. Pendudukan selama dua dekade memakan banyak korban jiwa, baik sipil maupun militer. Perempuan dan anak-anak merupakan 43% dari korban sipil di Afghanistan pada tahun 2020. Faktanya kemudian, Afghanistan belum juga damai. Penelitian Action on Armed Violence menunjukkan pada tahun 2020 ada lebih banyak warga Afghanistan yang terbunuh oleh alat peledak dibandingkan negara mana pun di dunia.
Selama pendudukan AS, Amnesty International dan Human Rights Watch mendokumentasikan peran aktor internasional dalam mendukung mujahidin menjadi penjahat perang dan pelaku kekerasan seksual. Intervensi AS di Afghanistan mengakibatkan konflik dan kemiskinan yang berkontribusi pada pernikahan di bawah umur dan meningkatkan perdagangan narkoba yang selanjutnya melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga.
Hingga kini, Afghanistan di bawah kepemimpinan sekular Barat banyak menyimpan persoalan. Dua dekade berlalu, namun Afghanistan justru menjadi negara paling buruk ke dua untuk perempuan. Laporan PBB tahun 2018 menemukan korban perkosaan para pria di pemerintahan disalahkan. Budaya imunitas membuat para laki-laki pelaku terlindungi oleh pemerintahan. Perhatian akan tindakan kriminal terhadap perempuan sangat minim. Bahkan pemerintah tidak bisa melindungi para korban. Data Global Database on Violence against Women tahun 2016 menyebutkan 51% perempuan mengalami kekerasan fisik dan atau seksual dari pasangan intim sepanjang hidupnya. Sebanyak 46% perempuan mengalaminya dalam satu tahun terakhir. Human Right Watch tahun 2012 memperkirakan 70 hingga 80 persen pernikahan paksa dan 87 persen wanita menghadapi setidaknya satu bentuk kekerasan dalam hidup mereka.
Unicef memperkirakan 3,7 juta anak putus sekolah di Afghanistan, 60% di antaranya adalah perempuan. Berdasarkan laporan UNESCO, setelah 20 tahun pendudukan Barat, lebih dari 80% wanita masih buta huruf di negara ini.
Afghanistan menjadi satu-satunya negara di Asia dengan angka kematian anak yang sangat tinggi. Angka kematian ibu memang menurun, namun pada tahun 2017 UNICEF memperkirakan ada 7.700 kematian ibu di Afghanistan. Pada tahun yang sama, PBB mendokumentasikan 3.438 kematian warga sipil akibat serangan militer.
Melihat kondisi buruk tersebut, maka klaim Afghanistan mengalami kemajuan di bawah kontrol Barat adalah omong-kosong. Bahkan sejatinya keburukan juga terjadi di Barat meski dalam bentuk yang berbeda. Negara-negara Barat tidak lebih aman dari Afghanistan. European Agency for Fundamental Rights(FRA) pada tahun 2014 melaporkan bahwa sepertiga perempuan di Uni Eropa telah mengalami kekerasan fisik dan atau seksual sejak usia 15 tahun,. Sebanyak 75% perempuan profesional atau yang berada pada posisi top managemen telah mengalami pelecehan seksual. Demikian halnya Amerika Serikat (AS). National Statistic Domestic Violence mencatat satu dari lima perempuan 5 perempuan dan satu dari tujuh pria di Amerika Serikat telah diperkosa dalam hidup mereka. Setengahnya dilakukan oleh orang yang dikenal. Satu dari empat perempuan mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangannya.
Survei tahun 2012 oleh Biro Statistik Australia menemukan bahwa 5,3% wanita telah mengalami beberapa bentuk kekerasan dalam 12 bulan terakhir, dan 40,8% telah mengalami beberapa bentuk kekerasan sejak usia 15 tahun. Sebagian besar kasus kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh seseorang yang dia kenal.
Nyatalah bahwa Barat tidak mampu melindungi perempuan. Barat hanya memberikan harapan palsu. Perempuan Muslim tentunya harus menyadari kegagalan Barat ini.
Khilafah Islam Memuliakan Perempuan
Islam memuliakan perempuan dengan memberikan perlindungan atas kehormatan dan keselamatan jiwanya. Setiap tindakan pelecehan, eksploitasi, kekerasan fisik maupun seksual merupakan kejahatan serius yang dihukum berat. Islam menjadikan perempuan dalam tanggung jawab suami, ayah, kerabat laki-laki, atau negara. Namun, Islam membolehkan perempuan bekerja dalam berbagai bidang sesuai dengan tuntunan syariah. Islam juga memberikan kesempatan kepada perempuan untuk mencari berbagai ilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan.
Islam memang melarang perempuan menjadi penguasa, namun tidak lantas mengabaikan urusan perempuan. Islam mewajibkan laki-laki sebagai pemimpin untuk juga mengurusi perempuan sebagai bagian dari rakyat yang dia pimpin. Islam bahkan mempelopori pemberian hak-hak politik kepada perempuan, seperti hak untuk memilih penguasa, hak untuk menjadi wakil rakyat dan menasihati penguasa.
Islam menjadikan perempuan sebagai istri, ibu dan penerus generasi sesuai dengan kodrat yang diberikan Allah kepada dirinya. Meskipun demikian Islam tidak menjadikan perempuan lebih rendah derajatnya dibandingkan laki-laki. Islam menentukan kemuliaan seseorang ada pada ketakwaannya kepada Allah SWT.
Penghormatan dan pemenuhan hak-hak perempuan hanya akan terwujud secara nyata dalam wadah negara yang menerapkan Islam secara kaffah, yaitu Khilafah Islamiyah. Negara Barat yang sekular tidak akan pernah bisa menjadi harapan, karena aturan hidup yang dibuat berdasarkan akal manusia yang lemah dan sarat dengan kepentingan pribadi atau golongan dan berpotensi terjadi konflik. Allahlah Zat Yang Mahatahu aturan terbaik yang mengatur laki-laki dan perempuan dalam kehidupan yang harmoni. Dengan dengan demikian Khilafah akan mampu menjadi negara yang memuliakan perempuan. Oleh karena itu hanya Khilafah Islamiyahlah yang layak menjadi harapan bagi semua perempuan, baik di Afghanistan, maupun di negeri Muslim lainnya.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. []
0 Comments