Ekonomi Indonesia Menuju Kehancuran?

Perekonomian Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi terus memburuk, Bahkan Sri Mulyani saat diangkat kembali menjadi menteri keuangan pada kabinet Jokowi mengatakan ekonomi Indonesia di ambang kehancuran.

Setelah rapat Nota Keuangan untuk membuat Rancangan APBN 2017, Sri Mulyani mengungkapkan soal beratnya kondisi ekonomi yang tercermin dari tekanan pada penerimaan pajak. Ironisnya, kebijakan yang dilakukan Pemerintah termasuk Sri Mulyani justru semakin mengokohkan cara-cara kapitalis dalam menyelesaikan problem ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam. Akibatnya, negara ini semakin hancur.

Di bawah ini beberapa indikator yang menunjukkan ekonomi Indonesia makin terpuruk.

 

  1. Pertumbuhan ekonomi gagal mencapai target.

Pada saat kampanye dan pada awal pemerintahannya, Jokowi menjanjikan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Faktanya, sampai tiga tahun menjalani pemerintahan, target tersebut belum tercapai juga. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat hanya sebesar 4,79%, terendah sejak enam tahun terakhir. Kemudian pada tahun 2016, pertumbuhan ekonomi sedikit meningkat menjadi 5,02%. Pada Tahun 2017 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang 2017. Tercatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2017 sebesar 5,07%. Capaian tersebut lebih rendah dari asumsi dasar dalam APBN yang ditetapkan sebesar 5,2%. Akibat pertumbuhan yang rendah ini, pengangguran dan kemiskinan masih tinggi.

Dari parameter pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun berkuasa, jelas Presiden Jokowi telah gagal mencapai target yang diharapkan. Kondisi kinerja Presiden Jokowi mengurus perekonomian makro tergolong buruk. Situasi perekonomian dunia yang tidak kondusif dan cenderung melemah, utamanya yang banyak bermitra dengan Indonesia, yakni Cina serta Amerika Serikat, menjadi kambing hitam dari target-target yang tidak tercapai.

 

  1. Angka pengangguran semakin tinggi.

Berdasarkan data BPS 2017, sebanyak 7,04 juta angkatan kerja tidak memiliki pekerjaan sama sekali. Bahkan kalau ditambah dengan pengangguran terselubung, ada 9,6 juta setengah pengangguran dan 26,12 juta tenaga kerja yang bekerja paruh waktu. Total pengangguran bisa mencapai 42 jutaan dari 128 juta angkatan kerja.

Ironisnya, Presiden Jokowi malah mempermudah masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA). Sebelum ada intruksi Presiden saja sudah terjadi lonjakan tenaga kerja asing. Pada akhir tahun 2017 terdapat 126 ribu orang tenaga kerja asing. Jumlah ini meningkat hampir 70% dibanding akhir 2016. Diduga kuat ini akibat lonjakan tenaga kerja dari Cina. Sejak 2015 banyak laporan tentang buruh Cina yang masuk dalam jumlah besar pada sejumlah proyek dengan dana investasi dari Cina. Para pengusaha Cina masuk membawa dana investasi sekaligus membawa pekerja mereka untuk mengerjakan proyeknya. Tidak hanya tenaga ahli yang mereka bawa. Bahkan tenaga kasar pun, seperti buruh dan tukang masak, mereka angkut. Karena itu kehadiran tenaga asing ini menunjukkan pemerintahan jokowi sangat pro asing dibandingkan rakyatnya sendiri.

 

  1. Angka kemiskinan tinggi.

Pemerintah mengklaim angka kemiskinan menurun. Alasannya, berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) pada Bulan September 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran perkapita perbulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen), yakni berkurang sebesar 1,19 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2017 yang sebesar 27,77 juta orang (10,64 persen). Standar batas garis kemiskinan yang ditetapkan Pemerintah sebesar Rp 387.100 perkapita perbulan. Bahkan Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengklaim bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini telah mengalami penurunan cukup signifikan selama dua tahun terakhir. Bahkan, klaimnya, tingkat kemiskinan Indonesia pada tahun ini yang terendah sepanjang sejarah Indonesia.

Akan tetapi, jika dihitung berdasarkan standar Bank Dunia, dengan garis kemiskinan sebesar USD 1,9 perhari atau setara Rp 775.200 perbulan (kurs 13.600). maka angka kemiskinan bisa lebih dari dua kali lipat. Hal yang sama juga jika diukur dengan Standar Penduduk miskin yang digunakan BPJS untuk menentukan jumlah orang miskin ternyata jumlahnya tiga kali lipat. Berdasarkan Standar PBI, Pemerintah menetapkan jumlah penerima bantuan iuran program jaminan kesehatan nasional (JKN) pada tahun 2018 sebanyak 92,4 juta orang. Artinya, penduduk miskin yang berhak mendapat bantuan iuran sebanyak 92,4 juta orang.

 

  1. Rupiah kembali terpuruk.

Nilai tukar rupiah kembali terpuruk, sempat tercatat diperdagangkan pada level Rp 14.156 per USD. Kondisi ini pertama kalinya terjadi sejak Desember 2015. Padahal pada saat kampanye Jokowi menjanjikan nilai rupiah terhadap dolar berada pada kisaran Rp. 10.000.

Pemerinatah berdalih depresiasi nilai tukar bukan hanya menimpa Indonesia, mata uang di negara lain pun mengalami kondisi serupa. Jokowi menjelaskan, semua negara mengalami depresiasi karena beberapa faktor, salah satunya adalah trade war atau perang dagang antara Amerika dan Cina.

Pelemahan nilai rupiah sebenarnya karena kebijakan ekonomi Indonesia yang memicu terjadinya krisis moneter. Di antaranya: Pertama, defisit transaksi berjalan Tahun 2017 yang mencapai (-) Rp 242,09 triliun. Kedua, posisi utang luar negeri baik Pemerintah maupun swasta yang meningkat pesat. Utang Pemerintah bertambah Rp 1.205,9 (2014-2017) pada posisi kurs 14000/USD. Posisi utang luar negeri Pemerintah dan swasta sampai dengan akhir 2017 mencapai Rp 4.931,5 triliun (kurs 14000/USD). Ketiga, beban bunga utang dan utang yang jatuh tempo. Rata-rata bunga utang Pemerintah yang cukup besar mencapai Rp 191,2 triliun (tahun 2016), sebesar Rp 221,2 (tahun 2017) dan sebesar Rp 238,6 (tahun 2018). Adapun utang jatuh tempo 2018 mencapai Rp 400 triliun. Bahkan tidak menutup kemungkinan ada indikasi motif para pemain valuta asing di dalam oligarki pemerintahan yang memanfaatkan pelemahan kurs untuk kepentingan akumulasi kekayaan secara pribadi dan kelompoknya.

 

  1. Menumpuk utang, membebani APBN.

Menurut Fuad Bawazir, Sejak Sri Mulyani menjadi menteri keuangan era SBY tahun 2005, ia mendirikan Ditjen Pengelolaan Utang dan memperkenalkan SBN baik dalam mata uang asing (valas) maupun rupiah. Sejhak itu utang negara dalam bentuk SBN melesat dan seakan-akan tidak terkendali. Akibatnya, saldo SBN per 1 Juli 2017 adalah Rp 2979,5 atau 4,13 kali-nya pinjaman luar negeri jenis multilateral/bilateral yang hanya Rp 712 triliun. Hampir dapat dipastikan angka perbandingan tersebut akan terus menaik tajam karena utang SBN yang terus meningkat tajam, sementara utang luar negeri multilateral/bilateral relatif stagnan. Tegasnya, hanya dalam waktu 10 tahun (sejak Sri Mulyani jilid I/SBY sampai dengan Sri Mulyani Jilid II/Jokowi), utang SBN telah mendekati Rp 3000 triliun (sekarang telah melampaui). Padahal pinjaman luar negeri yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad hanya bersaldo Rp 721 triliun.

Utang yang menumpuk menyebabkan kondisi APBN 2017 tidak sehat karena ada defisit keseimbangan primer senilai Rp 111,4 triliun. Bahkan RAPBN 2018 sebenarnya lebih buruk lagi. Anggaran Belanja tersedot untuk membayar utang sebesar Rp 876,8 triliun, yaitu cicilan pokok utang sebesar Rp 629,2 triliun dan bunganya Rp 247,6 triliun. Defisit (minus) anggaran Rp 326 triliun. Hampir dipastikan ini akan ditutupi dengan menambah utang baru.

 

  1. Kesenjangan kaya-miskin makin lebar.

Kebijakan Tax Amnesty yang dijalankan rezim Jokowi semakin menambah ketidakadilan ekonomi. Ketimpangan semakin parah karena rakyat terus dipaksa bayar pajak melalui PPN dan PPh antara 5%-25%. Para pengusaha kecil dan menengah, tidak peduli untung atau rugi, dikenai pajak final sebesar 1% dari omzet atau peredaran bruto. Sebaliknya, mereka para kapitalis yang ngemplang pajak baik yang tercantum namanya di Panama Paper maupun 500 investor asing yang sudah ngemplang pajak selama 10 tahun dengan program Tax Amnesty, hanya dikenai kewajiban membayar pajak 2%- 4% saja.

Kondisi ketimpangan ekonomi tersebut secara tidak sengaja terkonfirmasi semakin jelas setelah berjalan periode I. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Ken Dwijugeasteadi mengemukakan, jumlah harta yang dilaporkan (deklarasi) dalam program pengampunan pajak (tax amnesty) pada periode I mencapai Rp 4.500 triliun. Dana tebusan yang diraih dari tax amnesty sebesar Rp 97,2 triliun. Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA) dari Rp 97 triliun uang tebusan periode satu, dua pertiganya disumbang oleh 9.200-an wajib pajak atau hanya 2,5 persen (dari jumlah wajib pajak yang ikut tax amnesty). Dia juga menjelaskan lebih rinci Rp 15 triliun uang tebusan dibayar oleh 32 wajib pajak, atau 15,5 persen dari total uang tebusan tax amnesty pada periode pertama.

Tax amnesty juga mengungkap ada 103 wajib pajak pajak yang membayar tebusan di atas Rp 50 miliar porsinya 20 persen dari total tebusan. Bahkan ada 839 wajib pajak yang membayar uang tebusan di atas Rp 100 miliar dengan mencapai 36 persen dari total uang tebusan. Artinya, bila ada wajib pajak yang membayar uang tebusan Rp 100 milliar, maka angka tersebut hanya dua persen sampai empat persen dari harta yang dilaporkan. Yang lebih mencengangkan, jumlah simpanan WNI superkaya di luar negeri diperkirakan minimal Rp 4.000 triliun. Ternyata ini hampir sebanding dengan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2, yaitu uang kartal, uang kuasi dan surat berharga ) di Indonesia yang sebesar Rp 4.561 triliun perakhir Maret 2016. Padahal jumlah WNI yang menyimpan uang di luar hanya sekitar 6.519 atau hanya 0,000026 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 255 juta. Inilah ketimpangan yang luar biasa.

Fakta ketimpangan ini juga selaras dengan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Menurut data LPS hingga Juni 2016, data tersebut membagi simpanan dalam 7 rentang nominal yakni: simpanan di bawah Rp 100 juta; simpanan Rp 100–200 juta; Rp 200–500 juta; Rp 500 juta–1 miliar; Rp 1–2 miliar; Rp 2–5 miliar; dan di atas Rp 5 miliar. WNI yang memiliki rekening dengan nominal simpanan di atas Rp 5 miliar hanya sebanyak 78.177 rekening atau 0,04 persen dari total rekening simpanan di industri perbankan Indonesia yang sebanyak 175.904.630 rekening. Namun demikian, nilai simpanan segelintir pemilik rekening itu mencapai Rp 2.115 triliun atau 46,48 persen total simpanan di perbankan nasional yang mencapai Rp 4.550,91 triliun.

Ketimpangan juga tergambar dalam kepemilikan lahan konsesi hutan, Berdasarkan data hasil riset World Bank 304 perusahaan besar di Indonesia menguasai 26 juta hektar konsesi hutan, sementara 23,7 juta petani Indonesia memiliki luas tanah lebih kecil, yaitu 21,5 juta hektar lahan.

 

  1. Defisit transaksi berjalan dan ketergantungan impor.

Semakin maraknya impor berbagai barang maka defisit transaksi berjalan semakin besar. Tahun 2017 defisit transaksi berjalan mencapai (-) Rp 242,09 triliun. Angka ini sangat besar dalam kapasitas ekonomi Indonesia saat ini. Itulah yang menyebabkan risiko besar dalam nilai tukar yang akan menciptakan efek berganda dari defisit transaksi berjalan itu sendiri.

Ironisnya, impor juga terjadi pada barang yang justru di dalam negeri produksinya mencukupi, bahkan pada saat panen melimpah, seperti impor bawang, impor gula bahkan impor garam. Kondisi ini jelas membahayakan dan menghancurkan ekonomi para petani dengan politik dumping. Harga produk dari Luar Negeri lebih murah. Akibatnya, para mafia rente impor dengan berbagai upaya meminta kran impor terus dibuka bahkan diperbesar kuotanya. Padahal dalam jangka panjang ini jelas sangat membahayakan. Pasalnya, dengan politik dumping, seperti kasus bawang putih dan lain lain, mereka membanjiri dulu Indonesia dengan produk impor yang lebih murah dari harga produk petani lokal. Lalu setelah petani kita mati, di situlah mereka mulai mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mendikte harga barang sekehendaknya.

 

  1. Pembangunan infrastruktur untuk kepentingan para kapitalis.

Sejak menjabat tahun 2014, Presiden Joko Widodo memang gencar membangun infrastruktur dengan mengalokasikan anggaran negara yang besar. Tahun ini dana untuk proyek infrastruktur mencapai Rp 401 triliun atau 19% dari total belanja negara dalam APBN-P 2017 sebesar Rp 2.133 triliun. Nilainya secara nominal naik dari rencana awal sebesar Rp 387 triliun. Beban aneka proyek infrastruktur yang menyedot anggaran besar tidak diimbangi dengan penerimaan negara yang melimpah. Kondisi ini dapat memperlebar defisit anggaran hingga di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir tahun ini. Ini melampaui ambang maksimal yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara.

Ironisnya, pembangunan infrastruktur ini bukan untuk kepentingan rakyat. Dalam kasus pembangunan kereta api cepat Bandung-Jakarta, misalnya, proyek tersebut jelas tidak urgen karena sudah ada jalan tol, sudah tersedia jalan kereta api. Bahkan Ignatius Johan—Menteri Perhubungan saat itu—menolak proyek tersebut dan memberikan solusi dengan membangun double track. Biayanya sangat murah dan bisa memperlancar arus transportasi Jakarta-Bandung. Namun, solusi itu ditolak oleh Jokowi. Pasalnya, yang diincar oleh para kapitalis adalah puluhan ribu hektar tanah PT Perkebunan (PTPN) yang akan dijadikan area bisnis dan komplek perumahan atau kota baru untuk kepentingan para kapitalis.

Begitu juga proyek infrastruktur pembangunan pelabuhan, bandara, jalan tol bahkan bendungan. Semuanya tidak memiliki dampak signifikan terhadap rakyat. Sebaliknya, rakyat bahkan hanya jadi korban.

 

  1. Pencabutan berbagai subsidi menyengsarakan rakyat.

Rezim Jokowi–JK terus berupaya menuntaskan program liberalisasi ekonomi dengan kebijakan penghapusan subsidi di berbagai sektor yang masih tersisa. Tahun 2017 Pemerintah melakukan pencabutan subsidi listrik bagi 18,8 juta pelanggan listrik 900 VA dari total 22,9 juta pelangggan. Akibatnya, kenaikan tarif dasar listrik mencapai sekitar 150%. Dari harga Rp 605 tahun 2016 menjadi Rp 1.467,28 per kwh.

Selain pengurangan subsidi listrik, subsidi migas yang masih tersisa juga akan dikurangi. Untuk solar, Pemerintah akan memangkas subsidi dari Rp 1.000/liter menjadi Rp 500/liter. Pemangkasan subsidi untuk LPG ukuran 3 kg berkisar antara Rp 15 triliun–Rp 16 triliun. Di bidang pertanian, tahun 2017 Pemerintah menghapuskan subsidi benih. Rencananya, Pemerintah juga akan menghapuskan subsidi pupupk pada tahun 2018.

Pencabutan berbagai subsidi mengakibatkan tingkat inflasi meningkat, daya beli masyarakat melemah dan beberapa perusahaan kecil dan menengah gulung tikar. Akibat lanjutannya, penganguran dan rakyat miskin terus bertambah.

 

Penutup

Itulah beberapa kebijakan rezim Jokowi–JK yang semakin kapitalistik dalam pembangunan ekonomi. Akibatnya, negara ini semakin terpuruk dan terjajah secara ekonomi dan politik.

Untuk menghentikan semua ini tidak ada jalan lain kecuali dengan menghentikan rezim kapitalis ini. Gantinya adalah pemimpin amanah yang menjalankan syariah Islam secara kâffah, termasuk di dalamnya sistem ekonomi Islam. [MAN/LM]

 

0 Comments

Leave a Comment

18 − 10 =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password