Kegagalan Amerika Dan Kembalinya Khilafah
Amerika Serikat (AS) telah lama merancang perang melawan terorisme dan radikalisme di dunia Islam. Hal ini menjadi kebijakan luar negerinya tatkala menginvasi Irak, Afghanistan, dan negeri muslim lainnya. Kondisi ini menyiratkan bahwa AS ingin tampil menjadi ‘penjaga dunia’ sekaligus memastikan dunia berada dalam kendalinya.
Perang melawan terorisme (war on terorrism-WOT) diikuti perang melawan radikalisme (war on radicalism-WOR) menjadi rancak baru. Kebetulan dunia pun menyambut. Apalagi Dunia Islam yang berada dalam ketiak AS.
Fikrah politik AS didasari oleh penyebaran ideologi Kapitalisme ke seluruh dunia. Adapun thariiqah-nya adalah penjajahan (imperialisme), yaitu pemaksaan dominasi politik, militer, budaya dan ekonomi atas bangsa-bangsa yang dikuasai untuk dieksploitasi. AS telah melakukan cara-cara baik hard power maupun soft power dalam menjalankan agenda politik luar negerinya.
Islam Hate Us
WOT dan WOR sesungguhnya perang melawan Islam meski diklaim perang melawan Islam radikal atau Islam garis keras. Kebencian AS dan Barat terhadap Islam sangat tampak dalam ucapan dan tindakan. Hal ini pernah disampaikan Donald Trump dalam wawancara bersama Anderson Cooper CNN Politics1.
“I think Islam hates us,” Trump told CNN’s Anderson Cooper, deploring the “tremendous hatred” that he said partly defined the religion. He maintained the war was against radical Islam, but said, “it’s very hard to define. It’s very hard to separate. Because you don’t know who’s who.”
Sebelumnya, pasca serangan WTC 11 September 2001, Gorge W. Bush kalap dan bersumpah membalas dendam. Tuduhan dialamatkan pada Al-Qaidah pimpinan Osmamah bin Laden. Genderang Global WOT ditabuh dan kebencian meningkat pada Islam dan umatnya.
AS melancarkan serangan militer besar-besaran ke Afganistan di bawah tajuk ”Operation Enduring Freedom” untuk memburu Osama bin Laden dan kelompoknya. Hasilnya, pada bulan Desember 2001 Afganistan berhasil jatuh ke tangan AS. Pasca memperoleh kemenangan atas Taliban, AS tak segera hengkang dari Afganistan.
Misi lain yang jauh lebih penting yaitu mencoba menanamkan demokrasi di negara itu dengan menggelar Pemilu dan pada tahun 2004. Hamid Karzai terpilih menjadi presiden. Ia kemudian digantikan Ashraf Ghani pada 2014.
Demokrasi murahan yang diekspor ke Dunia Islam sejatinya telah menjadi racun dan sampah. Kemuliaan sisa peradaban Islam pun terlupakan dan bahkan ditinggalkan. Demokrasi menjadi jalan hidup baru yang dipandang bisa sejalan dengan kepentingan Islam. Padahal demokrasi secara asasi berbeda dengan Islam. Tak hanya itu, demokrasi menjadi senjata paling mematikan AS. Atas nama penegakkan demokrasi dan HAM, AS mudah mengintervensi Dunia Islam. Karena itu sungguh mengherankan jika masih ada yang mengagungkan demokrasi. Apalagi menjadikan demokrasi sebagai bentuk perjuangan.
Hal yang sangat disayangkan terjadi di Dunia Islam tatkala pemimpinnya bekerjasama bahkan bermesraan dengan AS. Mereka menganggap AS sebagai dewa penolong. Tak jarang mereka bahkan tunduk dan merunduk menjalankan agenda AS. Mereka rela menindas rakyatnya. Mereka membuat banyak aturan yang pro kepada asing penjajah.
AS turut campur dalam proyek deradikalisasi, war on terorrism dan war on radicalism di Dunia Islam. AS mendukung penuh perang ini dari sisi pelatihan, persenjataan dan dana. Datasemen khusus yang dibentuk sering melukai umat Islam. Banyak Muslim yang masih ‘terduga’ sudah ditembak mati tanpa diadili. Sebagai pendekatan yang lembut, deradikalisasi dijajakan sebagai jalan keluar mengatasi ragam teror. Hasilnya adalah tuduhan yang tendensius kepada Islam dan umatnya. Justru agenda ini menebar kebencian dan stigma negatif pada syariah Islam dan Khilafah.
Ucapan dan tindakan pemimpin AS terkait kebijakan polugri di Dunia Islam jelas menunjukkan sebuah kebencian kepada Islam dan umatnya. Mereka hanya menggunakan istilah lain seperti ‘radikal Islam’, ‘Islam teroris’, ’kelompok garis keras’, dan lainnya sebagai kamuflase. Kebencian itu tampaknya turun-temurun dan menjadikan Islam sebagai common enemy. Upaya itu juga sebagai bentuk penghambatan gelora umat Islam yang mengingkan hidup diatur syariah Islam dalam naungan Khilafah.
Kegagalan AS
Kejumawaan AS dalam Global WOT dan turunannya Global WOR tak lantas mendapatkan pujian. Bahkan ini mendapat kritikan tajam setelah melihat hasilnya bertahun-tahun. Kegagalan ini menkonfirmasi beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, invasi AS ke Afganistan dan Dunia Islam lainnya pasca serangan WTC tak memiliki dampak signifikan. Justru membunuh banyak orang yang dituduh teroris. Hal itu juga tidak membuat aman bagi warga AS sebelum adanya peristiwa WTC. Sebaliknya, mereka tambah risau dan diliputi ketakutan berlebih. Kondisi ini juga memunculkan rasa keingintahuan mendalam bagi sebagian warga yang mempertanyakan: ‘apakah Islam mengajarkan terorisme dan membunuhi orang tak berdosa?’
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Human Rights Watch pada Juli 2002 menuturkan 57 persen warga keturunan Arab-Amerika pernah mengalami diskriminasi sejak teror 11 September berlangsung. Sebanyak 48 persen dari warga Arab-Amerika juga meyakini bahwa kehidupan mereka menjadi lebih buruk sejak serangan 9/11.2
Kedua, AS malah menumbuhkan kebencian dan kelompok teroris baru. AS tak sedang sungguh-sungguh memerangi yang mereka sebut terorisme dan radikal Islam. Yang dilakukan AS sesungguhnya penjajahan gaya baru melalui intervensi militer dan politik. Pasukan AS pun menjadi tumbal dari sikap gegabah pemimpinnya. Irak, Afganistan dan negeri muslim lainnya menjadi kuburan masal tentara AS. Ini sangat traumatis dan memunculkan ketakutan besar pasca ditugaskan di wilayah konflik.
Ivo H. Daalder dan James M. Lindsay dari Brookings Institute berpendapat bahwa kebijakan Perang Melawan Terorisme sejak pemerintahan Bush mengandung kesalahan fatal. Tak jarang, kebijakan tersebut justru merusak keadaan, misalnya menyerang dan mendestabilisasi negara negara (Afganistan, Iraq, Suriah, Pakistan) yang akhirnya menyediakan pra-kondisi untuk berkembangnya kelompok-kelompok teroris.
Ketiga, penarikan pasukan AS dari Afganistan baru-baru ini menjadi tanda kegagalan menaklukkan Afganistan. Mungkin AS merasa digdaya dengan perlengkapan militer, dana yang besar, dan penguasaan teknologi. Sayangnya, tatkala menghadapi Taliban mereka keok karena tak menguasai medan. Ditambah lagi jiwa ‘ghazi’ dalam tubuh rakyat Afganistan tak serta bias dicabut oleh AS.
Keempat, ideologi Kapitalisme yang menjadi tumpuan AS sangat lemah. Ideologi Kapitalisme jelas menyalahi fitrah manusia, tidak memuaskan akal dan tidak menenteramkan jiwa. Wajar jika saat ini ragam kebijakan yang muncul dari Kapitalisme menjadikan hidup penuh keruwetan. Aturan-aturan yang dibuat pun membelenggu.
Polugri AS yang didasarkan pada hegemoni dan intervensi malah menjadikan umat Islam antipati. Umat Islam pun akhirnya tahu, mereka hanya baik di depan secara wajah. Sebaliknya, tindakan yang mereka perankan malah menyakiti umat Islam. Kondisi ini juga diperparah dengan antek-antek AS yang berasal dari kalangan umat Islam.
Kelima, kedok AS sudah terbongkar sejak awal saat mereka memerangi ideologi Islam. Demikian seperti yang pernah diucapkan pimpinan dan pejabat AS.
Presiden AS, George W Bush, 6/10/2005, menyamakan perang melawan terorisme saat ini dengan perang melawan komunisme. Bagi dia, ideologi pembunuh Islam radikal adalah tantangan terbesar dari abad baru kita.
Mantan Deputi Menhan AS, Paul Wolfowitz, ‘’Saat ini, kita sedang bertempur melawan teror-perang yang akan kita menangkan. Perang yang lebih besar yang kita hadapi adalah perang pemikiran. Jelas suatu tantangan, tetapi juga harus kita menangkan.’‘ (Bridging the Dangerous Gap between the West and the Muslim world, U.S. Defense: 2002).
Donald Rumsfeld, mantan Menhan AS, ‘‘Jika tentara AS keluar dari Irak segera, Irak akan menjadi surga bagi teroris dan menjadi basis penyebaran Negara adidaya Islam yang akan mengancam dunia….Irak akan menjadi basis negara Khilafah yang baru yang akan meluas ke Timur Te-ngah…” (Washingtonpost.com, 5 Desember 2005).
Khatimah
AS berupaya memadamkan cahaya Allah di Dunia Islam. Sekuat apapun tak akan pernah bisa. Sebaliknya, umat Islam memiliki momentum kuat untuk kembali pada Islam kaaffah. Gairah ini hendaknya diikuti umat Islam dengan beberapa hal.
Pertama, umat kembali menanamkan akidah Islam yang kuat. Tidak hanya dalam keyakinan, tetapi diwujudkan dalam peraturan kehidupan. Akidah inilah yang mendasari perjuangan dan konsekuensi kembali pada syariah Islam.
Kedua, umat menajamkan kembali pemikiran politik Islam; mengkaji manuver musuh-musuh Islam agar tidak terjebak dalam genderang permainannya. Umat pun harus senantiasa waspada untuk tidak mudah dipecah-belah. Ukhuwah Islamiyah inilah yang menjadikan umat kuat dan tahu siapa musuh sebenarnya.
Ketiga, umat Islam mampu mengambil pelajaran penting dari setiap peristiwa politik seperti: penarikan pasukan AS dari Afganistan; manuver AS di Indonesia dengan menguasai SDA dan hegemoni politiknya; dan sikap dualisme AS terhadap Palestina. Peristiwa itu kian menyiratkan AS dengan polugrinya hanya memalingkan umat sementara, tetapi tidak selamanya.
Keempat, umat harus memahami bahwa masa depan Dunia Islam berada dalam kekuasaan Islam. Bukan berada dalam cengkeraman kekuasaan Kapitalisme ataupun Sosialisme-komunisme. Umat Islam memiliki ‘izzah dengan penegakkan Khilafah yang telah dijanjikan Allah dan merupakan kabar gembira dari Rasulullah saw.
Oleh karena itu, upaya penyadaran umat tak boleh berhenti di sini. Umat pun harus cepat-cepat menyambut seruan penegakkan kembali Khilafah Islamiyah. Hanya dengan itulah, darah, harta dan jiwa umat terlindungi. Bahkan Islam akan mewujudkan keberkahan dan menjadi rahmatan lil ‘alamin. [Hanif Kristianto ; (Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data)]
Catatan kaki
1 https://edition.cnn.com/2016/03/09/politics/donald-trump-islam-hates-us/index.html
2 https://www.hrw.org/reports/2002/usahate/usa1102-04.htm#P318_50248
0 Comments