Semau Gue
Kepada publik, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal September lalu menyampaikan ada 70,3% dari penyelenggara negara, sebagian besarnya pejabat di tingkat kementerian, selama setahun terakhir di masa pandemi harta kekayaannya naik. Presiden Jokowi disebut naik Rp 8,898 miliar sehingga hartanya menjadi Rp 63,616 miliar. Menkomarinves, Luhut B Pandjaitan, naik Rp 67,747 miliar sehingga menjadi Rp 745,188 miliar. Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, meski harta tolalnya tidak sebanyak menteri lain, ia mengalami prosentase kenaikan paling besar. Lebih dari Rp 10 miliar sehingga hartanya menjadi Rp 11,158 miliar. Naik hampir 1000 persen. Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono disebut mengalami kenaikan paling besar, lebih dari Rp 481,530 miliar, sehingga hartanya menjadi Rp 2,428 triliun.
KPK menyebut 95 persen penyelenggara negara itu tak menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dengan akurat. Artinya, bila harta kekayaan para pejabat itu dilaporkan dengan benar, sangat boleh jadi kenaikannya lebih besar dari yang disebut tadi.
Hanya saja, LHKPN yang dilansir oleh KPK itu tidaklah memiliki signifikansi apa-apa dalam konteks usaha pemberantasan korupsi. Mengapa? Karena sejak beberapa tahun lalu, ketentuan tentang pembuktian terbalik telah dihapus dari UU Tipikor sehingga KPK tidak bisa lagi melakukan tindakan yang disebut dengan pembuktian terbalik itu. Para pejabat itulah yang harus membuktikan darimana (kenaikan) harta segitu banyaknya itu didapat.
++++
Pembuktian terbalik sesungguhnya sejak lama telah dipraktikkan oleh para pemimpin Islam pada masa lalu. Khalifah Umar bin al-Khaththab, misalnya, melakukan penghitungan kekayaan seseorang pada awal jabatannya sebagai pejabat negara, kemudian menghitung ulang di akhir jabatan. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, Umar memerintahkan agar menyerahkan kelebihan itu kepada Baitul Mal. Atau membagi dua kekayaan itu, separuh untuk negara dan sisanya untuk yang bersangkutan. Muhammad bin Maslamah ditugasi Khalifah Umar membagi dua kekayaan penguasa Bahrain, Abu Hurairah: penguasa Mesir, Amr bin Ash: penguasa Kufah, Saad bin Abi Waqqash. Melalui langkah itu, Umar telah menunjukkan cara efektif dalam pemberantasan korupsi.
Upaya pembuktian terbalik tidaklah sulit dilakukan bila semua sistem mendukung. Namun, aneh sekali, bagaimana bisa ketentuan penting itu oleh DPR justru dihapus dari UU Tipikor. Teorinya, karena dibuat oleh wakil rakyat, aturan yang dihasilkan mestilah mengikuti kemauan rakyat. Dalam pemberantasan korupsi, misalnya, dibuat aturan yang efektif, agar sesuai kemauan rakyat, korupsi benar-benar bisa diberantas. Namun, alih-alih aturan pemberantasan korupsi diperkuat, yang terjadi justru makin hari makin lemah. Setelah sebelumya ketentuan tentang pembuktian terbalik dihapus, melalui revisi UU KPK, penyadapan dan penggeledahan harus dilakukan dengan lebih dulu mendapatkan ijin dari Dewan Pengawas. Ketentuan ini membuat KPK tidak bisa lagi bergerak cepat seperti sebelumnya.
Wakil rakyat sekarang tampaknya hanya namanya saja. Faktanya, mereka lebih tepat disebut wakil partai. Mereka bekerja mengikuti kemauan (pimpinan) partai. Hampir semua pimpinan partai adalah bagian rezim. Praktis kini mereka yang disebut wakil rakyat itu justru bekerja demi kepentingan rezim.
Lihatlah, demi kepentingan rezim, jikalau belum ada aturan maka dibuatlah aturan. Kalau ada aturan yang menghalangi kepentingan rezim itu, maka aturan tersebut diubah, bahkan dihilangkan. Contohnya banyak. Demi kepentingan pemilik PKP2B yang menguasai lebih dari 300 ribu hektar lahan batubara dengan nilai cadangan lebih dari Rp 13 ribu triliun, UU Minerba lama diganti dengan UU Minerba baru yang memberikan jaminan perpanjangan kepada pemegang PKP2B, yang dalam ketentuan lama semua konsesi itu setelah habis ijinnya semestinya harus dikembalikan kepada negara untuk dikelola oleh BUMN atau BUMD.
Sebelumnya lagi, ketika Pemerintah hendak membubarkan HTI, karena dirasa bila menggunakan UU Ormas yang lama bakal sulit dan butuh waktu lama, maka dibuatlah Perppu Ormas, mengubah ketentuan mengenai pembubaran Ormas yang semula mesti dilakukan melalui putusan Pengadilan dengan pemberian kewenangan kepada Menkumham untuk mencabut status BHP Ormas. Ketika ada ketentuan dalam UU Tipikor, yakni pasal pembuktian terbalik, yang dinilai membahayakan diri mereka, ketentuan itu dengan enteng dihapus begitu saja meski ketentuan itu sesungguhnya sangat baik bagi usaha pemberantasan korupsi yang makin menjadi-jadi di negeri ini.
Kita sebut apa itu semua bila bukan semau gue? Apalagi jika nanti benar maksimal jabatan presiden melalui Sidang Tahunan MPR diubah menjadi 3 periode, lengkaplah kesemauguean itu.
Keadaan ini tentu sangat berbahaya. Kekuasaan yang semestinya digerakkan mengikuti hukum, berubah menjadi kekuasaanlah yang mengendalikan hukum. Hukum mengikuti kemauan penguasa. Bila itu dibiarkan, maka kekuasaan akan berjalan tanpa kendali, karena yang semestinya mengendalikan, yakni hukum, telah dikendalikan oleh penguasa. Penguasa telah menjadi hukum itu sendiri. Akibatnya, kekuasaan akan berjalan secara otoriter, semena-mena dan zalim. Tak akan ada lagi keadilan hukum, keadilan politik, keadilan ekonomi dan sosial. Hukum akan menjadi alat kezaliman seperti hari ini terjadi. Tidak ada lagi kesamaan di muka hukum (equality before the law). Orang bisa semau-maunya dipidana. Sebaliknya, orang lain yang melakukan hal serupa, hanya karena dekat dengan penguasa, dibiarkan saja. Ekonomi hanya untuk pemilik modal atau yang dekat dengan penguasa. Ketimpangan ekonomi akan makin menjadi-jadi, kesejahteraan rakyat tinggallah mimpi.
Nilai-nilai kebaikan dan kebenaran pasti akan semakin luntur. Negara akhirnya dikendalikan oleh kuasa modal. Mereka yang bermodal itulah yang mengatur negara. Yang benar adalah yang kuat. Kuat secara ekonomi dan secara politik.
++++
Jelaslah, keadaan ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Harus ada perlawanan semesta dari seluruh rakyat guna menghentikan sistem sekular yang makin liberal dan makin radikal ini. Bila tidak, semua itu bakal menghancurkan bangsa dan negara.
Lalu apa gantinya? Tidak ada lain, ya sistem Islam. Islamlah satu-satunya yang bisa menghentikan politik semau gue dan menghindarkan dari hegemoni oligarki politik dan oligarki pemilik modal yang dengan kekuatannya bisa semau-maunya membuat hukum demi kepentingan mereka.
Dalam Islam, hukum disusun berdasar ketentuan syariah. Ddalil-dalilnya sudah sangat jelas, yakni al Quran, as-Sunnah, Ijmak Shahabat dan Qiyas. Dengan ini tidak mungkin bagi siapapun membuat atau mengubah ketentuan hukum semau mereka. Yang halal tidak bisa diubah menjadi haram. Begitu pun sebaliknya. Dengan itu hukum benar-benar bisa berdiri kokoh. Di atas hukum yang kokoh ini, berdiri pilar-pilar kekuasaan. Kekuasaan dalam Islam memang ditegakkan untuk melaksanakan syariah secara kaffah.
Dengan syariah, pemimpin mengatur masyarakat dan negara dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam pengelolaan ladang batubara, misalnya, menurut syariah ladang itu milik rakyat. Karena itu tambang tersebut harus dikelola oleh negara. Hasilnya harus digunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Tidak bisa diubah menjadi, misalnya, milik perusahaan seperti yang terjadi pada UU Minerba.
Juga tidak mungkin dibuat aturan yang membebaskan pejabat dengan kebijakan yang diambil dari kemungkinan jeratan hukum sebagaimana terjadi pada Perppu Covid-19. Dalam sistem Islam, siapapun yang bersalah harus dihukum. Tidak ada satu pun orang yang terbukti telah melakukan kejahatan boleh bebas tanpa dikenai ‘uqubat atau sanksi hukum. Dalam soal kesamaan di muka hukum, Nabi saw. memberikan teladan sangat nyata. Sabdanya, “Andai Fatimah anak perempuan Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya…” [H. Muhammad Ismail Yusanto]
0 Comments