Redup?
Aksi 212 adalah aksi yang sangat distingtif (khas). Pertama, inilah aksi dengan tone atau nada yang sangat jelas atau gamblang: Bela Islam, Bela al-Quran, Bela Ulama dan Habaib, dan terakhir Bela Bendera Tauhid. Tone ini pula yang telah menggerakkan berbagai lapisan masyarakat yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Mereka hadir di Monas sejak sebelum tengah malam dan tak beranjak hingga acara usai di tengah hari. Kedua, inilah cermin nyata dari persaudaraan atau ukhuwah islamiyah. Jutaan umat dari berbagai ormas, kelompok, jamaah, gerakan, juga partai politik tumplek bleg menyatu di Monas dengan semangat untuk bela Islam, bela al-Quran, bela ulama/habaib dan bela bendera Tauhid.
Pernah begitu menggelagar, Aksi 212 kini tampak redup. Namun, benarkah spirit umat juga meredup?
++++
Jika Aksi 212 kini tampak redup, ini bisa dipahami karena: Pertama, peristiwa yang dulu menjadi pemicunya, yakni kasus penistaan al-Quran oleh Ahok dan pembakaran bendera Tauhid, sudah lama berlalu. Ini yang membuat seolah Aksi 212 kini tidak lagi relevan. Kedua, ada represivisme yang luar biasa dari rezim. Lihatlah, aksi yang sudah berulang terbukti berjalan dengan tertib, tahun ini dihalang-halangi untuk tidak diadakan. Peserta yang sudah hadir pun dihalau begitu rupa seolah gerombolan penjahat yang hendak membuat onar. HRS, penggerak utama Aksi 212, dengan berbagai dalil dikerangkeng di penjara.
Represivisme rezim terhadap Aksi 212 melengkapi represivisme yang sudah dilakukan sebelumnya. Atas nama pemberantasan radikalisme, siapapun—apalagi ASN, TNI dan Polri—tidak boleh menampakkan dukungannya pada ide, simbol, kegiatan, narasi dan tokoh yang dianggap radikal. Bukan hanya dirinya, istri atau suaminya juga tidak boleh. Padahal apa yang disebut radikal, meski tidak pernah disebut secara gamblang, makin tampak bentuknya, yakni semua yang berbau Islam yang sejati, Islam yang sesungguhnya, atau Islam kaaffah. Seolah ingin dikatakan, “Anda boleh Islam, tetapi yang ringan-ringan saja, yang tipis-tipis saja. Jangan terlalu dalam. Jangan terlalu pekat. Jangan terlalu berat. Apalagi mau kaffah dalam syariah lalu menjunjung ide khilafah. Bila seperti itu, Anda adalah radikal.”
Spirit perjuangan memang sebagiannya ada tampak di permukaan. Sebagiannya lagi tersembunyi dalam ruang kesadaran dan tekad baja di dalam dada. Represivisme rezim, sekuat apapun, hanya bisa memadamkan yang di permukaan. Tidak akan bisa melenyapkan yang ada di dalam dada. Sejarah membuktikan.
Kurang represif apa pemerintahan Orde Baru dulu terhadap gerakan atau dakwah Islam. Jilbab dilarang. Sanlat atau pesantren kilat dilarang. Ceramah-ceramah kritis, apalagi yang menyinggung tentang pentingnya penegakan syariah, dilarang. Ketika itu, ada juga semacam operasi intelijen dengan nama macam-macam seperti Komando Jihad dan lainnya. Tujuannya tak lain adalah untuk mendiskreditkan Islam dan memenjarakan tokoh umat yang kritis.
Apakah dengan begitu spirit atau semangat umat redup? Tidak. Terbukti, jilbab jalan terus malah kini makin populer. Kajian Islam marak di mana-mana; di kampus, di kampung, di kantor-kantor, bahkan juga di hotel-hotel, satu keadaan yang tak terbayangkan sebelumnya. Halal style menjadi gaya hidup yang makin digandrungi. Gairah ibadah membuncah di mana-mana. Jamaah haji dan umrah terus bertambah. Daftar tunggu haji makin memanjang. Gaung kebangkitan Islam juga makin nyaring diteriakkan, menjadi kekuatan perlawanan, yang akhirnya menumbangkan rezim yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun, justru saat rezim itu hendak mendekat pada Islam.
Sebelumnya, Orde Lama juga mencoba membunuh kekuatan politik Islam dengan memaksa bubar Masyumi. Pada saat yang sama membiarkan hidup PKI. Sejumlah tokoh kritis seperti Buya Hamka, M. Natsir dan lainnya dipenjara, tanpa jelas apa salahnya. Soekarno bilang tidak anti agama, tetapi bersikeras hendak membuat ideologi bastar hasil campuran antara nasionalisme, komunisme dan agama (nasakom). Agama seperti apa yang mau berdampingan dengan komunisme? Pastilah agama menurut mau dia. Sedihnya, ada saja ulama yang mau diajak mengikuti langkahnya. Di eranya, PKI berjaya. Berjuta pengikutnya. Di Senayan mereka unjuk kekuatan massa. Entah apa yang bakal terjadi andai sejarah terus berpihak kepada mereka. Namun, begitulah, rezim durjana tak akan bertahan selamanya. Akhirnya, rezim yang berkuasa sejak negeri ini merdeka tumbang dengan penuh nista. PKI pun binasa, meski mungkin masih ada anak keturunan yang setia pada ideologinya.
Di Turki lebih dahsyat lagi. Islam dihabisi. Sekularisme diangkat tinggi-tinggi. Azan diganti dengan bahasa Turki. Al-Quran dilarang dikaji dan dipelajari. Hukum syariah diganti dengan hukum jahili. Pakaian islami Muslimah dipaksa ganti dengan rok mini.
Sesaat tampak berhasil. Islam redup di bumi yang ratusan tahun menjadi pusat kekuatan Islam dunia. Berganti dengan wajah sekular Barat. Mesti tradisi sontak dipaksa berganti dengan yang tidak islami, ternyata Islam tidak benar-benar mati. Islam tetap ada di dada, juga di dalam sejarah yang tak bisa dihapus begitu saja. Bagaimana bisa menghilangkan jejak ratusan tahun peradaban yang telah terpatri dalam bangunan, buku, tradisi, seni, juga dalam nafas dan derap hidup manusia di sana?
Perlahan tapi pasti, Islam muncul kembali. Turki seperti hendak kembali pada jatidiri yang sudah lama tersembunyi. Seperti di negeri ini, kajian Islam dan al Quran bergairah kembali. Jilbab yang puluhan tahun seolah menjadi pakian haram kini menjadi trendi. Masjid Aya Sophia kembali berfungsi. Rasanya hanya soal waktu untuk tegak kembali Khilafah yang sudah sangat lama dinanti.
++++
Begitulah. Spirit bela Islam, bela al-Quran, bela bendera Tauhid pun sesungguhnya tidak pernah bisa dipadamkan. Dia justru akan semakin menggumpal tatkala tekanan makin besar. Ibarat balon, ditekan di sini, melendung di sana. Inilah spirit yang muncul dari energi tauhid. Ia kemudian tumbuh dan berkembang. Tentu karena pemahaman yang mendalam terhadap syariah sebagai pemecah problem kehidupan. Ini pula inti dari perjuangan Baginda Rasulullah dan para Sahabat, para khalifah sesudahnya, dilanjutkan para ulama di masa lalu, kini dan mendatang.
Oleh karena itu penting untuk terus memelihara spirit ini. Sesungguhnya tidak akan ada kemuliaan kecuali dengan Islam, dengan al-Quran, dengan spirit tauhid. Tidak akan pernah Islam tegak kecuali terus diperjuangkan dengan istiqamah, menantang setiap ancaman, tantangan, hambatan, gangguan dan rintangan dari manapun datangnya.
Rezim? Sekarang saja tampak perkasa. Membuat para pendukungnya jumawa. Menindas siapa saja yang tidak dia suka meski jelas itu tokoh agama dan para pejuang syariah yang mulia. Tak peduli mereka. Yang penting bisa terus berkuasa, lama, dan makin kaya.
Namun, yakinlah, itu tidak akan selamanya. Rezim sekuat apapun di dunia pasti akan menemui ajalnya. Bila bukan sekarang, nanti akan tiba waktunya, seperti para pendahulunya. Sebaliknya, perjuangan Islam akan makin menyala dan akan terus makin menyala, hingga tiba di ujung cita-cita, memuliakan para pejuangnya dan menistakan para penentangnya. [Muhammad Ismail Yusanto]
0 Comments