Lagi, Oligarki
Kuasa oligarki di negeri ini makin menjadi-jadi. Lihatlah pada kasus paling baru. Larangan ekspor batubara. Begitu mudahnya keputusan yang sesungguhnya merupakan titah Presiden, yang dibuat untuk memastikan kebutuhan batubara untuk pembangkit PLN terpenuhi, dibatalkan begitu saja oleh seorang menko. Untuk kepentingan siapa pembatalan itu dilakukan bila bukan buat oligarki, khususnya para pemilik perusahaan tambang batubara?
Sebelum ini, MK telah menyatakan bahwa UU Ciptaker atau UU Omnibus Law inkonsitusional secara formil, dan karenanya secara materiil tidak boleh digugat. Bila secara materiil tidak boleh digugat, mengapa tetap boleh berlaku? Hanya wajib dikoreksi selambatnya dua tahun. Lagi pula, mengapa tenggat untuk mengoreksi begitu lama, sedangkan saat menyusunnya saja hanya perlu beberapa bulan? Banyak pengamat menilai ini semua karena campur tangan para pemilik modal. Mereka tidak ingin keputusan-keputusan yang didasarkan pada UU Ciptaker seperti perpanjangan IUPK, khususnya pada perusahaan PKP2B, yang telah mendapat ketetapan royalti 0% itu batal.
Sebelumnya lagi, ada keputusan yang mengagetkan publik. Siapa saja yang hendak bepergian, tidak hanya dengan pesawat, tetapi juga kereta api bahkan kendaraan pribadi dalam jarak tertentu, wajib tes PCR. Ketika ketetapan itu dipertanyakan banyak pihak mengingat Covid-19 saat itu sudah jauh menurun dari sebelumnya, dijawab bahwa itu diperlukan untuk mendeteksi virus secara lebih akurat. Namun, setelah mendapat protes gencar dari publik, keputusan itu akhirnya dibatalkan. Bila benar ketetapan itu dibuat untuk alasan kesehatan publik, mengapa dibatalkan? Terkuaklah kemudian, ketentuan itu dibuat bukan untuk alasan kesehatan, tetapi demi kepentingan bisnis. Majalah Tempo edisi 30 Oktober 2021 mengungkap dengan sangat gamblang siapa saja pejabat dibalik bisnis tes Covid-19. Diungkap juga berapa banyak cuan yang sudah mereka dapat.
Atas semua peristiwa itu, Presiden diam seribu basa, termasuk dalam kasus pembatalan larang ekspor batubara. Padahal awalnya ia bersuara sangat keras. Atau baru ikut bereaksi kalau publik sudah ramai protes, seperti dalam kasus tes PCR dengan menetapkan semacam batas maksimal harga tes. Itu pun ternyata masih tetap lebih tinggi dari semestinya.
Apa yang bisa kita simpulkan dari semua itu? Betapa negeri ini memang sudah demikian erat dalam cengkeraman oligarki.
++++
Apa yang membuat oligarki tampak begitu sakti? Uang. Ini yang utama. Dengan kekuatan uang, mereka bisa membeli birokrasi guna mendapatkan lisensi, ijin atau hak istimewa dalam suatu bisnis, khususnya menyangkut pengelolaan sumberdaya alam seperti hutan dan barang tambang. Melalui bisnis itu, uang mereka makin tambah banyak. Lalu dengan uang yang makin banyak itu, mereka membeli politisi, elit pengurus partai, bahkan partainya sekalian, untuk meloloskan sejumlah regulasi yang mereka ingini. Dengan uang pula mereka membeli pejabat yang lebih tinggi hingga paling tinggi, juga aparat keamanan dan penegak hokum, agar secara hukum, politik dan keamanan mereka juga terlindungi.
Kuasa oligarki tentu sangat membahayakan negeri. Bila terus dibiarkan, negeri ini akan makin terpuruk ke jurang korporatokrasi. Dalam korporatokrasi, bukan rakyat yang berdaulat, seperti yang selama ini diteorikan, tetapi pemilik modallah yang berdaulat. Negara boleh saja tetap punya presiden, menteri, gubernur dan pejabat-pejabat lain. Juga masih ada aparat penegak hukum dan aparat keamanan. Namun, bukan para pejabat itu yang mengatur negara ini, melainkan para oligarki itulah yang mengatur semuanya. Bahkan para pejabat itu bisa duduk di kursinya pun atas kehendak oligarki. Ini bukan isapan jempol. Sudah terjadi. Ini hari mereka bisa menentukan siapa yang sebaiknya menjadi menteri atau dirjen atau pejabat lain, khususnya di kementerian ekonomi, dan siapa yang harus diganti. Pergantian direksi PT Aneka Tambang baru lalu harus dibaca dalam kerangka ini. Ada kekuatan besar oligarki hendak merebut tambang emas Blok Wabu yang sangat potensial di Irian melalui langkah ini.
Sebelum ini saja oligarki sudah demikian berpengaruh terhadap lahirnya peraturan perundang-undang dan kebijakan di negeri ini. Contohnya, sesaat setelah penandatanganan UU Omnibus Law oleh Presiden Jokowi pada 2 November 2020 lalu, Pemerintah memberikan perpanjangan usaha kepada PT Arutmin Indonesia yang 1 November 2020 itu habis masa kontraknya. Dengan perpanjangan ini, mereka mendapat Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan luasan 57.107 hektar (setara 3 kali luas kota Bandung). Sama dengan sebelumnya.
Bukan hanya perpanjangan, pemilik PKP2B melalui UU Omnibus juga mendapatkan tambahan keistimewaan. Dalam Penambahan Pasal 128 A dalam UU Omnibus Cipta Kerja, dinyatakan bahwa bagi pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara dapat diberi perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara, yakni berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).
Kini menjadi sangat jelas, bahwa semua proses dan kelit kelindan lahirnya UU Minerba dan UU Omnibus Cipta Kerja, tak lain adalah demi memuluskan kepentingan oligarki pemilik modal. Termasuk mengapa semua dibuat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ternyata karena ada perusahaan yang bakal segera habis masa kontraknya.
Jelaslah, dalam korporatokrasi rakyat hanya dijadikan alat legitimasi untuk nafsu serakah (greedy) mereka, para oligarki. Keadilan ekonomi, politik dan hukum serta keadilan sosial makin jauh dari nyata.
++++
Jadi apa yang harus kita lakukan? Pertama, harus segera menghentikan penguasaan SDA oleh korporasi, Di situlah sumber kekuatan finansial mereka. Tentu saja ini tidak mudah. Mereka pasti tidak akan membiarkan hal terjadi. Ini hari ketika ada putusan yang bakal merugikan mereka saja, seperti larangan ekspor batubara, juga kemungkinan pembatalan UU Ciptaker, mereka langsung bergerak. Oleh karena itu diperlukan figur pemimpin yang kuat, yang tidak mudah ditundukkan oleh oligarki.
Kedua, di atas semua, negeri ini harus diatur dengan aturan yang baik, yang datang dari Tuhan Yang Mahabaik. Itulah Allah SWT. Penerapan syariah secara kaaffah akan memastikan negara ini diatur secara benar, termasuk dalam pengelolaan SDA. Dengan cara itu, sumberdaya ekonomi yang melimpah di negeri ini akan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, bukan kenikmatan korporat seperti yang terjadi selama ini.
Jika bukan syariah Islam, kita pasti akan tetap terus dicengkeram kapitalisme. Di lingkungan seperti itulah oligarki akan tumbuh subur. Jika ada penerapan syariah, tetapi tidak kaaffah, pasti juga tidak bisa menyentuh hal-hal substansial dalam pengelolaan sumberdaya alam. Padahal di situlah salah satu pangkal tumbuh kuatnya oligarki. Oleh karena itu, jika kita ingin mengentaskan negeri ini dari cengkeraman oligarki, maka harus dikeringkan kolam bagi tumbuh besarnya oligarki, yakni sistem Kapitalisme. Satu-satunya penantang tangguh Kapitalisme tak lain adalah Islam.
Tentu saja kuasa oligarki tak akan berdiam diri. Merasa terancam oleh kebangkitan umat di negeri ini, mereka lantas mencoba menaklukkan para tokoh dan organisasinya melalui tangan birokrasi. Organisasinya dibubarkan. Tokoh-tokohnya dipenjarakan. Namun, itu tak akan menghentikan laju perlawanan. Masih ada kekuatan umat. Umat yang sadar, tentu saja. Oleh karena itu, penyadaran mutlak harus dilakukan secara sungguh-sungguh. Insya Allah akan tiba saatnya, umat yang sadar tadi, didukung oleh mereka yang memiliki kekuatan dan pengaruh, akan menggerakan perubahan ke arah Islam. Insya Allah. [H. Muhammad Ismail Yusanto]
0 Comments