Softpower Amerika

Power adalah konsep penting dalam hubungan internasional. Power suatu negara akan menentukan bentuk relasinya dalam interaksi internasional. Negara yang tidak memiliki power tidak dapat atau sulit untuk dapat mewujudkan tujuan dan kepentingannya. Dengan begitu power memberikan dampak pada aktor untuk mengendalikan nasib mereka (Barnett, 2005: 45).

Morgenthau mendefinisikan power sebagai: kualitas yang mengendalikan aktor atas perasaan dan tindakan dari aktor lain (de Mesquita, 2003: 223).

Menurut Henderson, power adalah sebuah kapasitas dari aktor untuk mempengaruhi dan atau memaksa pihak lain sehingga dapat memberikan kendali atas pihak tersebut (Henderson, 1998: 99).

Barnett dan Duvall mendefinisikan power sebagai sebuah pengendalian aktor terhadap aktor lainnya untuk melakukan apa yang aktor lain tersebut tidak dapat lakukan (Barnett dan Duvall, 2005: 39)

Dari sini jelas bahwa power adalah atribut negara untuk mengontrol dan mempengaruhi negara lain untuk memenuhi kepentingannya di dunia internasional (Dugis, 2015).

Henderson menyebut ada tiga faktor yang menjadi sumber power: Pertama, faktor fisik; meliputi letak geografis, populasi, agrikultur, sumber minyak, letak bahan tambang strategis. Kedua, faktor ekonomi; meliputi Gross National Product (GNP), kapabilitas industri dan teknologi modern. Ketiga, faktor politik; meliputi kepemimpinan, aliansi dan langkah-langkah taktis dalam stabilitas negara (Henderson, 1998: 103-8).

Henderson membagi power menjadi dua: hard power dan soft power. Hard power adalah kapabilitas negara untuk memaksakan keinginannya terhadap pihak lain melalui intimidasi militer dan atau politik. Soft power adalah kapasitas untuk mempengaruhi aktor lain untuk melakukan suatu hal dengan berbagai pengaruh; ideologi, budaya, prestise atau kesuksesan. (Henderson, 1998: 100).

Menurut Nye, baik hard power maupun soft power memiliki peran yang sama pentingnya (Nye, 1990: 167)

Dalam diskursus politik modern, konsep soft power dipopulerkan dalam ranah akademik oleh Joseph Nye dalam bukunya, Bound to Lead: The Changing Nature of American Power (1990). Kemudian konsep ini diperkuat setelah muncul buku lanjutannya, Soft Power: The Means to Success in World Politics (2004). Elaborasi lebih jauh terhadap konsep ini terangkum dalam buku lainnya, The Power to Lead (2008).

Menurut Nye, soft power adalah the power of attraction, kekuatan daya tarik atau kekuatan untuk mengambil hati bukan dengan kekerasan, bukan dengan militer dan bukan dengan sanksi ekonomi ataupun bantuan ekonomi.

Menurut Gramsci, Soft Power diartikan layaknya seperti hegemoni, yaitu sebuah upaya yang halus melalui ajakan secara simpatik. Soft Power berbeda dengan Hard Power yang kerap dijalankan melalui instrumen kekerasan. Soft Power ini, meskipun dijalankan dengan cara yang halus (seperti kebudayaan, gaya hidup ataupun ekonomi), karena sifatnya yang mempengaruhi pikiran, jiwa maupun tubuh tanpa pemaksaan, maka dapat lebih ampuh mempengaruhi objek agar bertindak sesuai dengan yang diinginkan oleh subjek tanpa adanya unsur keterpaksaan.

Penggunaan Soft Power saat ini dianggap signifikan bahkan lebih penting jika dibandingkan dengan bentuk Hard Power. Itulah alasannya mengapa banyak negara di dunia berusaha menyebarkan pengaruh mereka melalui media soft power, semisal budaya seperti, film, lagu-lagu, pusat seni (Goethe Institut, CCF, British Council, Erasmus Huis), gaya hidup, media massa (VOA, DW, CNN, dan BBC), hingga pendidikan (Jepang dalam program Monbukagakusho, Uni Eropa melalui Erasmus Mundus, hingga Amerika dengan Aminef).

 

Posisi Soft Power Amerika Serikat

Sebagai negara super power, Amerika Serikat memaksimalkan segala potensi yang dia miliki untuk dapat mempertahan posisinya sebagai negara hegemon. Pasca kemenangannya pada Perang Dunia Kedua, dan kemampuannya mempertahankan posisinya sebagai negara adidaya pada masa Perang Dingin, Amerika Serikat senantiasa mengedepankan hard power dalam upayanya mendominasi dunia. Bahkan pasca Uni Sovyet runtuh, Amerika Serikat masih mengedepankan hard power dalam politik internasionalnya. Buktinya, Amerika Serikat menggunakan hard power dalam Perang Teluk 1991. Dengan perang ini, Amerika Serikat menunjukkan kepada dunia tentang superioritas militer konvensionalnya yang luar biasa. Begitu juga ketika terjadi krisis di Somalia, Haiti dan Balkan yang mendorong pengerahan kekuatan militer Amerika Serikat. Antara 1989-1999 AS melakukan 48 intervensi militer secara terbuka. Sebelumnya, pada masa Perang Dingin, terjadi 16 intervensi militer.

Namun demikian, penggunaan soft power pun seiring dilakukan mendampingi hard powernya Amerika Serikat. Demokrasi, kebudayaan dan nilai-nilai merupakan salah satu perangkat dari soft power yang kadang dalam praktiknya, Amerika Serikat memaksakan nilai-nilai tersebut melalui jalur hard power. Irak dan Afganistan merupakan contoh terbaik terkait hal ini.

Nye mengemukakan bahwa soft power Amerika Serikat ialah the ability to affect others to obtain the outcomes one wants through attraction rather than coercion or paymet (kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk memperoleh hasil yang diinginkan melalui proses pengambilan daya tarik dan tidak melalui pemaksaan atau tekanan ekonomi).

Dengan definisi seperti ini, Amerika Serikat merupakan negara yang hampir berhasil menggunakan soft power dalam kebijakan-kebijakan luar negerinya, terutama ketika Perang Dingin dengan Uni Soviet.

Masalah kritis yang dihadapi Amerika Serikat pada akhir Perang Dingin, menurut Nye, bukanlah bagaimana mengontrol sumberdaya militer yang menjadi barometer tradisional kekuatan global; tetapi bagaimana mengontrol suasana politik, terutama lewat proses mempengaruhi orang lain. Ketika penggunaan kekuasaan lebih menitikberatkan pada kekuatan fisik seperti militer sudah tidak lagi relevan, maka pilihan yang terbaik bagi Amerika Serikat ialah bagaimana membuat agenda politik dunia yang menjadikan negara lain dapat mengikuti keinginan Amerika Serikat; tidak dalam bentuk koersif, tetapi persuasif. Dengan soft power Amerika Serikat, akhirnya negara-negara lain ingin ‘mengikuti’ bukan karena kekuatan militer dan penekanan ekonominya, tetapi karena daya tarik nilai, budaya dan kepercayaannya. Ini yang kemudian dituangkan oleh Nye sebagai The Paradox of American Power.

Nye berpendapat bahwa meskipun soft power, atau kekuatan kooperatif, bukanlah barang baru, nyatanya AS telah menggunakan soft power ini selama Perang Dingin melalui perannya dalam menciptakan institusi internasional, mendorong pertukaran budaya dan akademik, dan diplomasi publik. Namun demikian, dalam catatan Nye, pemanfaatan soft power Amerika selama Perang Dingin memang selalu dibayangi oleh ketergantungannya yang terus menerus pada hard power.

 

Bentuk Soft Power Amerika Serikat

Proses penyebaran Soft Power Amerika Serikat sendiri sangat terkait dengan jargon yang selama ini dikumandangkan, yakni menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, Demokrasi, Kebebasan dan Keterbukaan. Beragam bentuk Soft Power yang dijalankan Amerika Serikat adalah dalam kerangka nilai-nilai tersebut.

Mantan Menteri Luar Negeri AS Colin Powell, misalnya, menyebutkan bahwa proses pertukaran budaya melalui program beasiswa belajar merupakan aset yang besar bagi negerinya. Dengan itu para alumni beasiswa belajar di Amerika Serikat menjadi “diplomat Amerika Serikat di luar negeri”. Hal ini menciptakan arus Amerikanisasi ke seluruh dunia. Dengan itu pula Amerika Serikat bisa mudah diterima dan Visi Global Amerika dapat tercapai.

Kedutaan Amerika Serikat menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan Soft Power Amerika Serikat di suatu negara. Kedutaan mengemas berbagai program yang mengemban nilai-nilai yang ingin disebarluarkan di suatu negara. Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, contohnya, mengadakan berbagai program yang merupakan bagian dari perangkat diplomasi publik Amerika Serikat. Ada sembilan program diplomasi publik utama di Kedutaan Besar Amerika Serikat, yaitu program Muslim Outreach, program pertukaran pelajar, presentasi budaya, @america, Media Sosial, Program Informasi, American Corners, Pusat Sumber Informasi, dan Kantor Bahasa Inggris Daerah.

Selain beasiswa belajar ke Amerika Serikat, Soft Power Amerika Serikat dalam dunia pendidikan diwujudkan dengan mendirikan perpustakaan di beberapa Universitas di berbagai negara. Adanya American Corners, di beberapa Universitas, dinyatakan sebagai usaha untuk memperbaiki citra Amerika Serikat. American Corners ini merupakan salah satu program dari Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat yang diresmikan sudah lebih dari 15 tahun lalu. American Corners sendiri sudah memiliki 480 cabang di 70 negara, termasuk di Indonesia. Tujuan dasar dari American Corners adalah untuk memberikan informasi mengenai Amerika Serikat kepada dunia pada umumnya. American Corners memberikan akses informasi melalui buku, video, koleksi DVD, internet, dan melaui program lokal bagi masyarakat umum. American Corners berfungsi sebagai pusat informasi mengenai Amerika Serikat yang mencakup informasi, program-program, budaya, sejarah, peristiwa terkini dan pemerintah Amerika Serikat (U.S Embassy & Consulates in Indonesia: American Corners Indonesia, https://id.usembassy.gov/education-culture/american-corners-indonesia/).

Acara budaya, program pertukaran, penyiaran, atau pengajaran bahasa suatu negara dan mempromosikan studi budaya dan masyarakat Amerika Serikat kentara merupakan alat soft power-nya. Namun, aktivitas tersebut tidak menghasilkan soft power secara langsung. Itu adalah dalam rangka mempromosikan pemahaman, memelihara citra positif dan menyebarkan mitos yang mendukung negara Amerika Serikat.

Pemberian bantuan kemanusiaan adalah cara lain untuk mengekspresikan kemurahan hati dan memproyeksikan soft power suatu negara. Bantuan kemanusiaan dapat diberikan tidak hanya melalui aktor masyarakat sipil/LSM/NGO yang menggunakan sumberdaya ekonomi. Kadang bantuan kemanusiaan itu dilakukan oleh pasukan militer. Salah satu motif utama di balik keterlibatan beberapa negara industri maju dalam operasi pemeliharaan perdamaian PBB, misalnya, dan dalam memediasi negosiasi perdamaian, adalah untuk membangun citra mereka sebagai anggota masyarakat internasional yang bertanggung jawab, cinta damai dan murah hati. Ini akan meningkatkan soft power mereka. Hal ini seperti yang dilakukan Amerika Serikat ketika melakukan operasi bantuan yang diberikan oleh Angkatan Laut AS setelah tsunami 2004 di Aceh Indonesia. Dengan bantuan ini, citra Amerika Serikat meningkat, dikenal sebagai negara yang baik; memperbaiki citra yang mengalami kerusakan besar dalam karena Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak pada tahun-tahun sebelumnya.

 

Penutup

Penggunaan soft power Amerika Serikat hanyalah pilihan saja bagi negara adidaya tersebut untuk tetap mempertahankan hegemoninya di dunia internasional. Nyatanya, soft power adalah pilihan, dan kadang dilakukan bersamaan dengan hard power yang selama ini melekat erat dengan identitas Amerika Serikat sebagai negara cowboy.

Kelihaian Amerika Serikat dalam menjalani aktivitas politiknya dalam skala global semestinya diperhatikan dengan serius oleh umat Islam. Tentu agar umat Islam tidak tertipu dengan cara-cara yang seolah-olah baik (soft), padahal di dalamnya tetap mengandung racun peradaban nilai-nilai kapitalisme Barat yang rusak dan merusak.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Budi Mulyana]

 

Referensi:

Barnett, Michael and Raymon Duvall. 2005. “Power in International Politics” International Organization, Vol. 59, No. 1: pp. 39-75.

de Mesquita, Bruce Bueno. 2003. Principles of International Politics, People’s Power, Preferences, and Perception. QC Press, pp. 222-286.

Henderson, Conway W. 1998. International Relations, Conflict ad Cooperation at the Turn of the 21st Century, McGraw-Hill International Editions, [Chapter 4]

Nye, Joseph S. 1990. “Soft Power” Foreign Policy, No. 80; pp. 153-171.

U.S Embassy & Consulates in Indonesia: American Corners Indonesia, https://id.usembassy.gov/education-culture/american-corners-indonesia/,


0 Comments

Leave a Comment

ten + 14 =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password