Persatuan Asia Tenggara Di Bawah Khilafah: Visi Politik Sultan Aceh (3)
Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1265 H (9 Februari 1849 M), Sultan Manshur Syah menulis dua pucuk surat sekaligus dalam bahasa Melayu yang beraksara Arab. Yang satu dialamatkan kepada “Paduka Srî Sultân ‘Abd al-Majîd Khân ibn al-Marhûm Sultân Ma%mûd Khân Johan Berdaulat Zhillullâh fî al-‘آlam” (atau Sultan Abdülmecid I, k. 1839-1861), yang berkedudukan di “negeri Rûm Qusthanthîn bandar dâr al-ma’mûr wa al-masyhuriyyah”.1 Satu surat lagi ditujukan ke “Paduka Srî Sultân Republîk Peransîs” (yakni Presiden Prancis Napoleon III, k. 1848-1870) di “negeri Pari(s) maqam dâr al-ma’mûr wa al-masyhuriyyah.”2
Pembukaan surat Sultan Manshur Syah yang ditujukan baik ke Sultan Abdülmecid I maupun Napoleon III mempunyai nada yang serupa. Sultan Aceh ini sama-sama menggelari kuasa Khilafah Utsmaniyah dan Republik Prancis sebagai “takhta kerajaan daripada emas qudrati yang sepuluh mutu lagi yang bertahkta raqna mutu manikam daripada intan dikarang dan berumbai2kan mutiara dan zabarjad yang telah terseradi”.
Walau menggangap Utsmaniyah dan Prancis sebagai dua kekuatan yang bisa diharapkan, Sultan Manshur Syah tetap lebih condong kepada Khilafah Utsmaniyah. Jika Sultan Manshur Syah menggambarkan “Sultân Republîk” Napoleon III sebagai penguasa yang setara dengan ungkapan “sahabat hamba lagi syaudara hamba”; maka terhadap Sultan Abdülmecid I, penguasa Aceh ini memposisikan dirinya sebagai “anaq amas (anak emas) Duli Hadarat daripada zaman dahulu hingga zaman sekarang”, atau dengan model relasi patron-client.
Setelah menyampaikan kalimat pembuka dan perkenalan diri, dilanjut sanjungan kepada sang penerima surat. Dalam suratnya yang berbahasa Melayu Sultan Manshur Syah langsung menyudahi pembukaannya dengan menulis, “maka tiadalah patik perpanjangkan kalam melainkan seqadar patik mengadukan hal dengan ihwal yang maksud sahaja, amin.”
Nada yang sangat berbeda akan kita jumpai jika kita mengamati surat Sultan Manshur Syah yang dikirim pada tahun berikutnya, yang bertanggal 13 Jumâd al-Awal 1266 H (27 Maret 1850 M).3 Kali ini, surat yang ditulis mengguna-kan bahasa Arab fushhâ dengan gaya dan pilihan kata-kata yang sangat indah. Tatkala surat berba-hasa Arab ini dikirim, utusan Sultan Manshur Syah yang dikirim sebelumnya dengan membawa surat berbahasa Melayu, Muhammad Ghauts, masih berada di Hijaz untuk menunggu kepastian dari gubernur Utsmaniyah di sana, Mehmed Hasib Pasya.4 Mendapati utusannya belum kembali ke Aceh, kita bisa merasakan betapa gundahnya Sultan Manshur Syah yang suratnya tak berbalas. Wajarlah kalau ia mengirim surat sekali lagi. Jika surat berbahasa Melayunya tidak “diperpanjangkan kalam melainkan seqadar patik mengadukan hal dengan ihwal yang maksud sahaja”, maka dalam suratnya yang berbahasa Arab Sultan Manshur Syah memberikan penda-huluan dengan doa-doa yang menyentuh hati:
Ya Allah, sungguh hati kami masih sejujurnya memanjatkan doa yang tulus, dan ucapan kami baik dalam kesendirian maupun di depan orang masih saja menuturkan serta memohon dengan kata-kata yang penuh kerendahan dan dengan hati yang luluh, sambil merentangkan tangan kerendahan dan ketergantungan. Semoga Engkau menolong kami dengan menganugerahkan kepada kepala daulah yang Diberkahi Kesultanan Utsmaniyah tambahan ketinggian dan kekokohan. Semoga pula Engkau mewujudkan bagi kami berbagai harapan kami kepadanya dalam meninggikan kalimatullah yang luhur, dalam menegakkan fondasi-fondasi agama serta dalam menghancurkan berbagai tipudaya orang-orang kafir yang tiada bertuhan. Itu karena ia adalah negara yang catatannya bersih dari kezaliman dan ketidakadilan dan selamat dari tekanan mata pena maupun mata pedang.
Setelah membuka suratnya dengan doa panjang bernada tulus, Sultan Manshur Syah melanjutkan:
Saya mempersembahkan semua (doa-doa) itu kepada Hadarat Sultan yang Agung dan Khaqan yang besar; Pewaris Khilafah, Kesultanan dan Kerajaan; Sultan orang-orang Arab, ‘Ajam, dan Turki; Pembela panji-panji keagamaan; Penghancur orang-orang yang keras kepala terhadap Agama Muhammad; Pembela Iman dan Islam; Pembentang hamparan kedamaian dan keamanan: [elevatio] –Hadarat yang Berbahagia Tuan kami Sultan ‘Abd al-Majid Khan–. Semoga Allah mengekalkan kerajaan dan kesultanannya dan menjadikan segenap penjuru dunia sebagai kerajaan dan wilayahnya. Semoga panji keadilannya yang bertebaran kekal abadi sampai Hari Kebangkitan, amin, dengan (perantara) kehormatan Thâhâ al-Amîn (Nabi Muhammad). Semoga Allah menyampaikan selawat dan salam ke atas beliau, keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya.
Sultan Manshur Syah mengerti benar hakikat kedudukan kepala negara Utsmaniyah, bahwa mereka adalah “pewaris Khilafah, Kesultanan, dan Kerajaan” (wâris al-khilâfah wa as-sulthanah wa al-mulk).
Sebagaimana yang diterangkan Ibn Khaldûn dalam Muqaddimah, jabatan Khalifah merupakan pengganti Nabi Muhammad saw. dalam mempertahankan agama dan mengatur urusan dunia. Lembaganya disebut Khilafah.5
Kepemimpinan Khilafah ini terus dipegang oleh umat Islam sampai diwariskan kepada Bani Utsmaniyah tatkala Khalifah ‘Abbasiyah, al-Mutawakkil ‘Alallâh III, menyerahkan jabatan tersebut kepada sultan ke-9 dari Bani Utsmaniyah, Selim I (k. 1512-1520).6
Dalam penyanjungannya terhadap sang Khalifah Utsmaniyah pada masanya, setelah menulis kalimat “pembentang harapan dan keamanan” (bâsithu bassâth al-amni wa al-amân), Sultan Manshur Syah mengosongkan baris selanjutnya. Tulisan yang harusnya tertulis setelah kalimat tersebut malah ia tinggikan (elevation) di atas kepala surat: “Hadarat yang Berbahagia Tuan kami Sultan Abdülmecid Khan” (Hadhrat as-sa’âdah maulânâ as-Sultân ‘Abd al-Majîd Khân). Praktik meninggikan suatu nama secara vertikal dengan meninggalkan ruang kosong di tempat yang seharusnya dalam rangka penghormatan ini disebut elevatio, dan mulai ditradisikan di kalangan pejabat Utsmaniyah sejak masa Sultan Süleyman I Kanuni (k. 1520-1566).7
Tidak berhenti di elevatio, Sultan Manshur Syah juga mengekspresikan rasa hormat dan ketundukkannya kepada Khilafah Utsmaniyah dengan pilihan penempatan posisi cap sikeureung (“cap sembilan”, cap resmi sultan-sultan Aceh). Dalam surat berbahasa Melayu yang dia kirim tahun 1265 H/1849 M, Sultan Aceh ini menempatkan cap sikeureung-nya di margin kiri atas surat. Hal ini tidak lazim dalam tradisi diplomatik kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara. Biasanya, sultan-sultan Asia Tenggara menempatkan cap resminya di margin kanan atas surat (superior) ketimbang margin kiri surat (inferior); sebagai simbol bahwa sang pengirim lebih tinggi kedudukannya dibandingkan sang penerima surat. Sejauh ini belum pernah ditemui cap sikeureung dari sultan Aceh yang dibubuhi di margin kiri atas surat selain dari cap sikeureung dalam surat Sultan Manshur Syah kepada Sultan Abdülmecid I.8 Bahkan dalam surat berbahasa Arab yang dikirim di tahun berikutnya, cap sikeureung Sultan Manshur Syah dibubuhi pada margin kiri bawah surat. Hal ini menunjukkan keinginan yang sangat-sangat-sangat dalam dari sang sultan agar ia diakui sebagai bawahan dan pelayan dari Khilafah Utsmaniyah.
Mengingat Nostalgia yang Tak Terlupa
“Syahdan,” tulis Sultan Manshur Syah dalam surat yang berbahasa Melayu, “patik beri ma’lûm lah ke bawah qadam tapak kaki kawuh Duli Hadarat adapun karena tentangan patik yang di negeri Aceh sungguhlah anaq amas Duli Hadarat daripada zaman dahulu hingga zaman sekarang.” Sultan Manshur Syah mengakui, bahwa ia “tiadalah menaruh lupa dan lalai akan Duli Hadarat daripada tiap2 kutika dan masa, pada siang dan malam, pada pagi dan petang.”9
Tentu penting bagi Aceh untuk memperbarui kembali pernyataan tunduknya kepada Khilafah Utsmaniyah. Menurut Peacock, selama rentang abad ke-17 dan ke-18 tidak ada arsip-arsip di Istanbul yang mencatat relasi politis Khilafah Utsmaniyah dengan kekuasaan-kekuasaan yang ada di Asia Tenggara. Amat kontras dengan arsip-arsip Utsmaniyah yang ditulis pada abad ke-16 dan ke-19 yang mencatat banyaknya relasi mesra antara dua entitas tersebut.10
Pada kurun masa itu, Khilafah Utsmaniyah tidaklah sekuat pada masa Sultan Süleyman I Kanuni. Banyak kebobrokan yang terjadi dalam internal negara tersebut. “Nasib buruk telah menyerahkan negara ke tangan orang-orang tercela. Pejabat kami adalah penjahat yang berkeliaran di jalan Istanbul,” sesal Sultan Mustafa III menjelang wafatnya di tahun 1774, “Tiada yang bisa kita lakukan kecuali memohon ampun kepada Allah.”11
Dalam masa yang sama Aceh juga mengalami pergolakan internal. Para pendahulu Sultan Manshur Syah terlalu sibuk berebut takhta sehingga mereka lupa untuk senantiasa memperbarui janji setia mereka kepada Khilafah Utsmaniyah. Ketika Sultan Manshur Syah berkuasa dan menghadapi ancaman ekspansi Belanda yang membabi buta, ia segera tersadarkan oleh masukan para ulèëbalang-nya (Melayu: hulubalang):
Patik berpikirlah dengan segala hulubalang dan orang besar2 yang dalam negeri Aceh pasal hal itu. Berkatalah segala hulubalang kepada patik, “Adapun sekarang ini karena kita hendak berlawan perang dengan orang Belanda, karena Belanda itu adalah (punya) kapal perang, karena (kita) kurang daripadanya (kapal perang), dan lagipula karena kita ini di bawah perintah Sultan Rûm, sekarang barang2 hal pekerjaan wajiblah tuanku kirimkan suatu surat kepada penghulu kita Sultan Rûm dan hendaklah kita minta tolong bantu padanya lagi serta dengan kita minta kapal perang barang berapa yang memadai serta (di) dalamnya orang Turki.”12
[Bersambung]. [Nicko Pandawa]
Catatan kaki:
1 BOA. فrade Hariciye Evraki (ف.HR), 66/3208 (6)
2 Ministère des Affaires Etrangeres (M.A.E), Mémoires et Documents, Hollande 152, f.161. Disajikan utuh dalam Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia, penerjemah Masri Maris, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, 2011), 189-191
3 BOA. ف.HR, 73/3511 (2)
4 فsmail Hakki Kadi, An Old Ally Revisited: Diplomatic Interactions Between the Ottoman Empire and the Sultanate of Aceh in the Face of Dutch Colonial Expansion, The International History Review, (2020), 4
5 Ibn Khaldun, Muqaddimah, penerjemah Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 234
6 Halil Inalcik, The Ottoman Empire: The Classical Age 1300-1600, (London: Phoenix, 1994), 33-4
7 Annabel Teh Gallop, Elevatio in Malay Diplomatics, Annales Islamologiques 41 (2007), 44
8 فsmail Hakk Kad, A.C.S Peacock, dan Annabel Teh Gallop, ‘Writing History’, dalam R. Michael Feener, dkk (eds). Mapping The Acehnese Past, 165
9 BOA. ف.HR, 66/3208 (6)
10 A.C.S. Peacock, The Economic Relationship between the Ottoman Empire and Southeast Asia in the Seventeenth Century, dalam A.C.S. Peacock dan Annabel Teh Gallop (eds), From Anatolia to Aceh: Ottomans, Turks, and Southeast Asia, (Oxford: Oxford University Press, 2015), 63
11 قükrü Hanioًlu, A Brief History of the Late Ottoman Empire, (New Jersey: Princeton University Press, 2008), 6
12 BOA. ف.HR, 66/3208 (6)
0 Comments