Persiapan Menerima Perkataan Yang Berat (4)
رَّبُّ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ فَٱتَّخِذۡهُ وَكِيلٗا ٩ وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَٱهۡجُرۡهُمۡ هَجۡرٗا جَمِيلٗا ١٠
(Dialah) Tuhan timur dan barat. Tidak ada tuhan selain Dia. Karena itu jadikanlah Dia sebagai Pelindung. Bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik. (QS al-Muzzammil [73] 9-10)
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
رَّبُّ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٩
(Dialah) Tuhan timur dan barat. Tidak ada tuhan selain Dia.
Terdapat perbedaan dalam membaca kata رَبّ pada ayat ini. Hamzah, al-Kisa’i, Abu Bakar, dan Ibnu ‘Amir membaca kata ini dengan harakat jarr رَبِّ, berkedudukan sebagai sifat kata رَبِّكَ pada ayat sebelumnya atau sebagai badal (pengganti), atau sebagai bayân (penjelas).1
Ulama lainnya, seperti penduduk al-Haramain, Ibnu Muhaishin, Mujahid, Abu ‘Amr, Ibnu Abi Ishaq, dan Hafsh, membaca kata itu dengan rafa‘.2 Kedudukannya sebagai mubtada’ dan khabar-nya adalah kalimat لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ (Tiada Tuhan [yang berhak disembah] melainkan Dia). Bisa juga berkedudukan sebagai khabar dari mubtada’ yang dihilangkan (mahdzûf), yakni هُوَ رَّبُّ ٱلۡمَشۡرِقِ (Dialah Tuhan Masyriq).3
Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, kedua qirâ‘ah tersebut merupakan qirâ‘ah yan ma’ruuf. Karena itu bacaan mana saja dari keduanya yang dipilih adalah benar. Maknanya, “Tuhan yang memiliki timur dan barat serta apa saja dari alam semesta ini yang berada di antara keduanya.”4
Al-Harari juga berkata, “Dialah Tuhan timur dan barat, Pencipta dan Pemilik keduanya serta segala sesuatu di antara keduanya.”5
Dari segi bahasa, kata رَبّ rabb mempunyai banyak arti, antara lain pendidik dan pemelihara. Anak tiri yang berada dalam pemeliharaan dan didikan seorang suami dinamai (رَبِيْب) rabîb. Kata ini juga berarti pemilik.
Arti-arti di atas dan arti-arti lainnya yang belum disinggung di sini pada akhirnya bermuara pada suatu makna, yaitu: Rabb adalah yang memiliki atau diserahi segala urusan berkenaan dengan seseorang atau sesuatu lainnya yang memerlukan perbaikan, pengelolaan, pengembangan, dan sebagainya.
Disebutkan dalam ayat ini bahwa Allah SWT adalah رَّبُّ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ. Menurut Ibnu Katsir, ayat ini bermakna: “الْمَالِكُ الْمُتَصَرِّفُ فِي الْمَشَارِقِ وَالْمَغَارِبِ “ (Dialah Yang Memiliki, Pengatur semua yang ada di Masyriq dan yang di Magrib).6
Menurut Muhammad Ali ash-Shabuni, makna ayat ini adalah Dia adalah Pencipta Yang Mahamulia lagi Mahatinggi, Yang bertindak mengurus semua urusan makhluk. Dialah Pemilik belahan timur dan barat dunia.7
Menurut Al-Qurthubi, siapa saja yang mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan timur dan barar, maka dia akan terputus dengan amalnya dan mengharap kepada-Nya.8
Selanjutnya Allah SWT menegaskan tentang ketiadaan al-Ulûhiyyah selain-Nya.9 Dialah satu-satunya Ilâh atau sesembahan yang haq. Dalam ayat ini disebutkan: لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ (Tidak tidak ada Tuhan [yang layak disembah] kecuali Dia).
Kata « لَآ» merupakan nâfiyyah li al-jins (yang menafikan bagi semua jenis) kata yang disebutkan sesudahnya. Artinya, tidak ada satu pun tuhan. Kemudian disebutkan kata « إِلَّا » yang berguna li al-istitsnâ‘ (untuk menunjukkan perkecualian.10
Struktur kalimat yang demikian memberikan faedah al-qashr (pembatasan). Dengan demikian ayat ini membatasi bahwa Tuhan yang layak dan berhak disembah hanya satu, Dialah Allah SWT. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Tidak layak bagi seseorang menyembah Tuhan selain Allah yang merupakan Tuhan timur dan barat.” 11
Hal senada diungkapkan oleh Abdurrahman as-Sa’di.”12
Kemudian disebutkan:
فَٱتَّخِذۡهُ وَكِيلٗا ٩
Karena itu jadikanlah Dia sebagai Pelindung.
Huruf al-fâ‘ di awal adalah al-fâshihah.13 Sebabnya, huruf tersebut menjelaskan tentang jawâb al-syarth yang dihilangkan. Diperkirakan kalimat lengkapnya adalah: “إن عرفت ذلك“ (Jika kamu telah mengetahui tentang hal itu)14 maka jadikalan Dia sebagai Al-Wakîl.
Secara bahasa, kata tersebut merupakan shifah musyabbahah yang menunjukkan makna permanen dari kata « وكَلَ – يَكِل» (mempercayakan, mewakilkan, menyerahkan, atau menitipkan). Kata « وَكِيْل» yang merupakan bentuk « فعيلٌ» bermakna al-maf’ûl, yakni موكول إليه (yang diserahkan atau dipasrahkan kepadanya).15
Penjelasan serupa juga dikemukakan oleh para mufassir tentang ayat ini. Tentang makna ayat ini, Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Dalam urusan-urusan yang Dia perintahkan kepada kamu dan serahkan segala sesuatu kepada-Nya.”16 Penjelasan serupa juga disampaikan Wahbah az-Zuhaili, dan lain-lain.17
Ats-Tsa’alabi mengatakan bahwa al-wakîl adalah pelaksana urusan yang diserahkan kepadanya).18 Al-Qurthubi dan asy-Syaukani juga memaknai wakîl sebagai yang mengerjakan urusan-urusanmu).19
Menurut Syihabuddin al-Alusi, yang dimaksud dengan orang yang menjadikan Allah SWT sebagai Wakîl adalah bersandar kepada-Nya dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya.20
Menurut Ibnu ‘Asyur, kata «الْوَكِيلُ » adalah yang diserahi terhadap urusan-urusan), yakni diserahkan kepada pengaturan atau pengelolaannya. Termasuk penyerahan urusan yang paling penting adalah urusan al-intishâr (kemenangan) kepada yang diserahi urusan.
Sesungguhnya Nabi saw., ketika perkataan orang-orang musyrik sampai kepada beliau, beliau merasa sedih. Itu menjadi sebab beliau berselimut. Kemudian Allah SWT memerintahkan untuk tidak bersandar kecuali kepada-Nya. Inilah jaminan kemenangan. Oleh karena itu kemudian disebutkan: وَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُوْلُوْنَ (dan bersabarlah terhadap apa yang mereka katakan).21
Perintah untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT disampaikan setelah perintah untuk berzikir kepada-Nya dalam ayat sebelumnya. Menurut Ibnu Katsir, dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan untuk mengesakan-Nya dalam bertawakal sebagaimana sebagaimana mengesakan-Nya dalam beribadah. ‘dan ambillah Dia sebagai Pelindung.”22 Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya (Lihat: QS Hud [11]: 123; QS al-Fatihah [1]: 5; juga ayat-ayat lainnya yang mengandung perintah mengesakan Allah dalam beribadah dan taat, serta berserah diri hanya kepada-Nya).23
Menurut Nizhamuddin al-Naisaburi, di sini terdapat dalil bahwa orang yang tidak menyerahkan semua urusannya kepada Tuhannya berarti dia belum ridha terhadap Uluhiyyah Allah dan tidak pula mengakui Rububiyyah-Nya.24 Penjelasan serupa juga dikemukakan Wahbah az-Zuhaili. 25
Di sini juga terdapat hiburan kepada Nabi Muhammad saw. bahwa Allah SWT sendiri yang akan menangani sendiri kejelekan orang-orang kafir dan para musuh agama. Kemudian Allah memerintahkan Nabi saw agar bersabar menghadapi gangguan.26
Kemudian Allah SWT berfirman:
وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ ١٠
Bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan.
Kata « اصْبِرْ » merupakan fi’l al-amr (kata perintah) dari kata « الصَّبْرُ». Secara bahasa, kata tersebut berarti الإمساك في ضيق (menahan diri pada kesempitan). Kata tersebut juga berarti menahan diri terhadap sesuatu yang diharuskan oleh akal dan syariah atau keduanya. Demikian menurut Ar-Raghib al-Asfahani.27
Adapun yang dimaksud dengan مَا يَقُوْلُوْنَ (apa yang mereka katakan) dalam ayat ini adalah gangguan, cacian dan olok-olokan.28 Menurut al-Khazin, itu adalah ucapan yang mendustakan Rasulullah saw. dan menyakiti beliau.29
Menurut al-Harari, perkataan Quraisy yang tidak ada baiknya, berupa khurafat dan halusinasi terhadap hak Allah SWT dengan mengatakan Dia memiliki sekutu, istri dan anak; juga hak Rasulullah saw. dengan menyebut beliau sebagai penyihir, penyair, paranormal, dan orang gila; serta hak al-Quran dengan menyebutnya sebagai dongeng orang-orang terdahulu dan lain-lain.30
Dengan demikian ayat ini memerintahkan Rasulullah saw. untuk bersabar dalam menghadapi berbagai ucapan dan perkataan mereka menyakitkan. Muhammad Ali ash-Shabuni berkata, “Bersabarlah kamu atas gangguan orang-orang bodoh yang mendustakan, yang membuat tuduhan terhadapmu bahwa engkau adalah penyihir, penyair, dan orang gila. Sebabnya, Allah SWT menjadi Penolongmu atas mereka.”31
Ibnu ‘Adil berkata, “Janganlah berkeluh-kesah terhadap ucapan mereka dan jangan berhenti mengajak mereka. Serahkan urusannya kepada-Ku, karena sesungguhnya Aku adalah Wakîl (penjaga dan pengatur urusan) bagimu. Aku mengurus kemaslahatan urusanmu yang lebih baik daripada pengurusanmu atas urusanmu sendiri.”32
Menurut al-Biqa’i, firman Allah SWT ini mengisyaratkan agungnya kesabaran. Hal ini ditandai dengan penggunaan huruf ‘alâ yang menunjukkan makna di atas. Allah SWT berfirman: عَلى مَا (terhadap apa). Urusannya diringankan yang diisyaratkan bahwa mereka tidak bisa sampai pada selain perkataan. Selain itu juga dibesarkan dengan perbuatan mereka yang dilakukan secara terus-menerus yang ditandai dengan penggunaan al-fi’l al-mudhâri’: يَقُولُونَ (mereka berkata).33
Kemudian Allah SWT berfirman:
وَٱهۡجُرۡهُمۡ هَجۡرٗا جَمِيلٗا ١٠
Tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik.
Huruf al-wâwu di sini merupakan ’athf yang menghubungkan dengan kalimat sebelumnya, yakni « اصْبِرْ » (bersabarlah). Setelah diperintahkan untuk bersabar terhadap perkataan menyakitkan dari mereka, Allah SWT memerintahkan untuk meninggalkan mereka.
Kata « اهْجُرْ» merupakan fi’l al-amr dari kata « اَلْهَجْر». Kata tersebut merupakan lawan atau kebalikan dari kata « الْوَصْلِ» (bersambung).34 Dalam kalimat: هَجَرَ الشيءَ يَهْجُره هَجْرَا, berarti: meninggalkan dan menelantarkan serta berpaling darinya.35
Dalam ayat ini, kata « هَجْرًا» berkedudukan sebagai maf’ûl muthlaq. Adapun « جَمِيْلاً» menjadi sifatnya.36 Dengan demikian ayat ini memerintahkan Rasulullah saw. untuk meninggalkan mereka dengan cara yang baik.
Menurut Ibnu Katsir, dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk bersabar terhadap ucapan orang-orang yang mendustakannya dari kalangan orang-orang yang kurang akalnya dari kaumnya, dan hendaklah dia menjauhi mereka dengan cara yang baik, yaitu dengan cara yang tidak tercela.37
Hal serupa juga diterangkan al-Baidhawi38 dan Al-Khazin.39
Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan meninggalkan dengan baik adalah meninggalkan karena Allah SWT. Ini sebagaimana diperintahkan dalam ayat lain (QS al-An’am [6]: 68).40
Menurut al-Harari, ini merupakan penegasan terhadap perintah untuk bersabar.41 Ketika Allah SWT memerintahkan Rasulullah saw. untuk shalat secara khusus dan berzikir secara umum, yang semuanya memberikan kemampuan kuat bagi seorang hamba untuk memikul beban dan mengerjakan tugas-tugas berat, Allah SWT memerintahkan beliau untuk bersabar atas perkataan para penentang yang mencela beliau dan mencela risalah yang beliau dibawa serta diperintahkan untuk terus menjalankan perintah-Nya yang tidak dapat ditahan dan dihadang oleh siapapun. Allah SWT juga memerintahkan beliau untuk meninggalkan mereka dengan cara baik.”42
Menurut beberapa mufassir, ayat yang memerintahkan Rasulullah saw untuk bersabar terhadap ucapan mereka dan meninggalkan mereka itu telah di-naskh oleh ayat-ayat perang. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Qurthubi, al-Khazin, al-Sam’ani, dan lain-lain.43
Namun, menurut ulama lainnya, ayat ini bisa digunakan dengan izin Allah SWT sehingga tidak di-naskh. Menurut Fakhruddin ar-Razi, ini yang lebih tepat.44 Tampaknya, pendapat ini lebih dapat diterima. Sebabnya, untuk mengatakan bahwa sebuah ayat di-naskh harus ada dalil yang menunjukkan dan memberitakan.
WalLâh a’lam bi al-shawwâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 378; Ibnu ‘Adil, al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, vol. 19 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 19980, 467; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30 (Beirut: Dar Thawq al-Najah, 2001), 353. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 189; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur`ân wa Bayânuhu, vol. 10 (Damaskus: Dar al-Yamamah, 1995), 261; Abu Ja’far Ahmad al-Nahhas, I`râb al-Qur`ân, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1421 H), 39
2 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 45. Lihat juga al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 353
3 al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 378. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 189; Abu Bilal, al-Mujtabâ min Musykil I’râb al-Qur‘ân, vol. 4, 1380/; al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 4 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 1381; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10, 261; Abu Ja’far Ahmad al-Nahhas, I‘râb al-Qur‘ân, vol. 5, 39
4 Lihat al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 689
5 al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 353
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar Thayyibah, 1999), 255
7 al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 442
8 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19, 45
9 Lihat al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 353
10 Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 135.
11 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 689
12 al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm al-Mannân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 893
13 al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 4 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 394; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10, 261
14 Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10, 261. Lihat juga al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 353
15 Lihat al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, tt), 882; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 119
16 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 689
17 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 190
18 al-Tsa’alabi, al-Jawâhir al-Hisân fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiyy, 19980, 503
19 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19, 45; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 381
20 al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 119
21 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr , vol. 29 (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984), 267
22 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 255
23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 255
24 Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâib al-Qur‘ân wa Raghâib al-Furqân, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 19960, 380
25 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 195; Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâib al-Qur‘ân wa Raghâib al-Furqân, vol. 6, 380
26 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 195
27 al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, tt), 474
28 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19, 45; Ibnu ‘Adil, al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, vol. 19, 469
29 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 358
30 al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 353. Lihat al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1998), 557
31 al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 443
32 Ibnu ‘Adil, al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, vol. 19, 469. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an, vol. 19, 45
33 Lihat al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islamiy, tt), 18
34 Zainuddin al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999), 324; Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 5, 250; al-Zabidi, Tâj al-‘Ariûs, vol. 14 (tt: Dar al-Hidayah, tt), 396
35 al-Zabidi, Tâj al-‘Ariûs, vol. 14 (tt: Dar al-Hidayah, tt), 396
36 al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 4, 394
37 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 256
38 al-Baidhawi,Anwâal-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiyy, 1998), 338. Lihat juga
39 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 358
40 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 689; Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâib al-Qur‘ân wa Raghâib al-Furqân, vol. 6, 380; Abu Ja’far Ahmad al-Nahhas, I‘râb al-Qur‘ân, vol. 5, 39
41 al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 353
42 al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm al-Mannân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 893
43 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19, 45; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 358; al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 6 (Riyadh; Dar al-Wathan, 19970, 80
44 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 689
0 Comments