Kepemilikan Tanah Bagi Perempuan

Perempuan, sebagaimana laki-laki, adalah korban penerapan Kapitalisme yang tidak pernah berpihak pada kepentingan rakyat. Jadi penyebab ‘kekerasan berlapis’ pada perempuan bukanlah bias patriarkis sebagaimana tuduhan para pegiat gender. Buktinya, dalam masalah pertanahan, aktivis gender sendiri berpendapat bahwa akses dan kontrol perempuan atas tanah terhalang kebijakan yang disusun Pemerintah.

 

Perempuan dan Konflik Agraria

Bagi-bagi sertifikat tanah yang dilakukan Presiden ketika sedang berkeliling Indonesia dianggap tidak menyelesaikan ketimpangan struktur penguasaan tanah1. Ketimpangan kepemilikan tanah bagi perempuan di Indonesia masih sangat tinggi. Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat, pada tahun 2019 hanya 24,2 persen bukti kepemilikan tanah yang mengatasnamakan perempuan.

Aktivis gender menilai keterikatan antara tanah dan perempuan amat erat. Perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Ada pula komunitas perempuan adat yang dianggap sebagai penjaga kearifan lokal yang memperlakukan tanah adat demi pelestarian alam.

Namun, harapan untuk mendapatkan hak kepemilikan tanah yang adil sesuai pandangan aktivis gender makin menipis seiring ditariknya RUU Pertanahan dari pembahasan prolegnas prioritas tahun 2020. Apalagi penerapan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja omnibus law dinilai lebih berpihak pada investor. UU itu telah mengubah banyak aturan terkait kepemilikan lahan, bangunan dan zonasi; juga membuka potensi lebih besar terhadap penggusuran paksa. Atas dalih pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Industri, Kawasan Pariwisata, dan Kawasan Lainnya sesuai Peraturan Presiden, maka penguasaan tanah akan terus menggusur keberadaan rakyat.

Penggusuran di perkotaan yang menyasar penataan pemukiman kumuh perkotaan turut menjadikan perempuan dan keluarganya kehilangan tempat tinggal. UU Cipta Kerja memberikan kemudahan pengadaan lahan di bawah 5 ha bagi investor dengan mengecualikan syarat konsultasi publik, kesesuaian ruang, pertimbangan teknis dan bahkan AMDAL. Padahal untuk wilayah perkotaan padat penduduk seperti Jakarta, luas 5 ha dapat ditinggali oleh ratusan kepala keluarga.2 Masalah ini berpotensi memperluas konflik agraria.

Pada saat konflik agraria terjadi, perempuan biasanya mengalami intimidasi dan kekerasan berlapis. Selama periode 2003-2019, Komnas Perempuan menerima pengaduan terkait konflik agraria dan tata ruang sebanyak 49 kasus. Penaklukan gerakan perlawanan pada kasus-kasus tersebut sering menyasar tubuh perempuan hingga terjadi kekerasan seksual seperti pelecehan hingga perkosaan.3

Di sisi lain, perampasan lahan akan menyebabkan masyarakat marjinal, termasuk perempuan, kian sulit mendapatkan lapangan pekerjaan. Kondisi seperti ini kerap mendorong mereka terpaksa menjadi buruh migran hanya untuk sekadar bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Padahal menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) menambah panjang kekerasan dan pelanggaran hak berlapis.

 

Solusi Palsu Kesetaraan Gender

Begitu banyak masalah yang menimpa perempuan terkait kepemilikan tanah. Para aktivis gender berharap pada perbaikan regulasi seperti UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), RUU Masyarakat Hukum Adat hingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Padahal dengan watak Kapitalisme yang kerap mengkhianati rakyat, akan sulit mendapatkan perlindungan hukum bagi rakyat yang berkonflik dengan negara. Kekuasaan yudikatif, yang menjadi muara terakhir untuk mendapatkan keadilan, tak lepas dari budaya koruptif dan manipulatif.

Solusi paripurna untuk menghentikan kekerasan berlapis pada perempuan adalah membuang ideologi feminisme pada benak perempuan dan para ‘pejuang’ kesetaraan gender. Filosofi feminis pada hakikatnya hanya mendorong perempuan mendefinisikan hak dan kewajiban sesuai dengan keinginan mereka sendiri; bukan berdasarkan apa yang terbaik bagi perempuan, laki-laki, anak-anak, dan masyarakat. Oleh sebab itu, solusi yang berpusat pada pandangan kesetaraan gender acap kali justru menimbulkan masalah lain.

Keinginan memiliki lahan atas nama perempuan agar mereka bebas mengolah dan mengelolanya, ataupun memilih menjadi TKW yang dianggap sebagai solusi untuk mendapatkan penghasilan, berangkat dari pemahaman ‘hanya perempuan yang mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.’ Sikap keras kepala semacam itu justru membebani mereka dengan tugas-tugas laki-laki. Padahal menjadi pencari nafkah, sering menempatkan perempuan dalam tekanan, karena terpaksa ‘menyeimbangkan’ posisi tersebut dengan peran vital mereka sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Parahnya, saat mereka ‘mengambil-alih’ peran nafkah, secara tidak langsung mereka telah mengikis tanggung jawab laki-laki atas keluarganya.

 

Islam Memberi Keadilan pada Perempuan

Sebagaimana sekularisme, Feminisme lahir dari ketidakadilan yang menimpa perempuan Barat. Hak-hak dasar sebagai manusia tidak diberikan oleh gereja, bahkan negara modern. Akibatnya, hingga hari ini perempuan yang hidup dalam sistem sekular kapitalistik tidak mendapat pemenuhan hak politik, ekonomi, dan hukum secara proporsional.

Semua kezaliman itu tidak pernah terjadi dalam sistem Islam yang mendasarkan pemenuhan hak dan kewajiban manusia telah diatur secara harmonis dan selalu sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Demikian pula dalam hukum kepemilikan. Tak akan ada kebebasan kepemilikan bagi pemilik akses terkuat, sekalipun dia penguasa atau sekadar investor. Negara tidak boleh semena-mena mengambil milik rakyat tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i.

Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu. Individu bebas memiliki properti, termasuk tanah, bila sebab-sebab kepemilikannya sesuai ketentuan syariah. Demikian pula bagi perempuan, berlaku kepemilikannya atas tanah yang mereka peroleh sesuai ketentuan syariah tanpa perlu menuntut pengakuan secara formil. Perempuan memperoleh hak milik tanah sesuai dalam konsep kepemilikan dengan beragam cara, seperti membeli, pewarisan, hibah, hadiah atau pembukaan lahan baru (ihya’ al-mawat, menghidupkan tanah mati).

Namun, yang perlu diluruskan adalah pandangan aktivis gender yang menganggap perempuan harus merdeka secara finansial. Pemikiran tersebut terjadi karena tradisi perempuan Barat tidak diberi perlindungan dan dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Konsep tersebut tidak dikenal dalam Islam. Syariah Islam mengutamakan perlindungan atas peran utama seorang perempuan, yakni menjadi ibu generasi dan pengurus rumah tangga.

Agar tugas penting tersebut mampu dilakukan dengan baik, perempuan tidak pernah diberi beban menjadi ‘perempuan kepala keluarga’ yang menanggung nafkahnya sendiri, anak, orangtua, bahkan anggota keluarga lainnya. Laki-laki adalah penjaga dan pencari nafkah bagi keluarga (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 34).

Inilah hak istimewa atas nafkah yang diberikan Islam bagi perempuan, tanpa menghilangkan hak untuk bekerja jika mereka menginginkannya. Nafkah selalu disediakan suami atau kerabat laki-laki yang berkewajiban secara finansial memelihara anggota perempuan dari beban mencari nafkah. Khilafah Islamiyah, sebagai penerap syariah kaffah, menjamin pelaksanaan kewajiban itu hingga perempuan benar-benar menikmati kebebasan finansial. Jika seorang perempuan tidak memiliki kerabat laki-laki yang mendukung dia, negara berkewajiban menyediakan nafkah bagi dirinya.

Perempuan tidak akan dibiarkan menderita kesulitan keuangan, sebagaimana warga negara lainnya. Khilafah bertugas menjamin biaya hidup dari orang yang tidak memiliki uang, tidak memiliki pekerjaan dan tidak ada keluarga yang bertanggung jawab atas pemeliharaan keuangannya. Negara juga bertanggung jawab untuk memberikan tempat tinggal dan memelihara orang-orang tidak mampu dan cacat. Dengan itu tak akan ada rakyat yang tak memiliki pekerjaan dan pemukiman.

Semua konsep di atas bukanlah khayalan sebagaimana utopia para aktivis gender yang menginginkan kesetaraan dan keadilan penuh demi mendapatkan kebahagiaan. Cukuplah melaksanakan hukum Islam. Hukum Allah SWT ini sungguh riil untuk diterapkan sebagai jawaban atas semua masalah yang menimpa manusia, termasuk perempuan. [Pratma Julia Sunjandari]

Catatan Kaki:

1 https://www.voaindonesia.com/a/kepemilikan-tanah-di-indonesia-belum-adil-gender-/4620109.html

2 https://bantuanhukum.or.id/ringkasan-eksekutif-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-obsesi-pembangunan-yang-merampas-ruang-dan-mengorbankan-pekerja/

3 https://nasional.sindonews.com/read/176434/15/tuntaskan-konflik-agraria-cegah-kekerasan-terhadap-perempuan-1601021383?showpage=all

0 Comments

Leave a Comment

twelve + thirteen =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password