Resep-resep Gagal Kapitalisme

Sistem ekonomi kapitalisme yang saat ini diterapkan di hampir seluruh negara dunia terus menuai badai kritik karena kelemahan-kelemahannya yang terus tersingkap. Mulai dari era klasik Karl Max sampai para pemikir ekonomi modern seperti Robert McChesney, Paul Krugman dan Joseph Stiglitz. Dari berbagai badai kritik terhadap sistem ekonomi kapitalisme ini masih banyak yang tetap memendam harapan bahwa kapitalisme ini dapat diperbaiki dan tetap berada dalam konsep untuk menghasilkan kesejahteraan nasional yang digagas Adam Smith sejak awal. Salah satu karya paling terkenal para ekonom modern yang masih berpandangan kapitalisme dapat dimodifikasi untuk menghasilkan kebaikan adalah Sebastian Dullien, Hansjِrg Herr dan Christian Kellermann dengan karya “Decent Capitalism.”1

Dalam asumsi versi “Decent Capitalism,” kapitalisme masih dapat diperbaiki sehingga ini dianggap sebagai rancang cetak biru perekonomian yang tidak terlalu rentan terhadap guncangan eksternal. Pada saat yang sama kapitalisme mampu mengkombinasikan pertumbuhan ekonomi dengan keadilan sosial dan keberlangsungan lingkungan hidup. Betulkah demikian?

 

  1. Solusi atas ketimpangan.

Organisasi nirlaba dari Inggris yang berfokus pada pembangunan, Oxfam2 merilis data Inequality Index dengan data dari berbagai belahan dunia pada tahun 2018. Penelitian Oxfam ini menunjukkan bahwa sejak pergantian abad, separuh penduduk termiskin di dunia hanya menerima 1% dari total peningkatan kekayaan global. Sebaliknya, 1% orang-orang terkaya telah menerima 50% dari peningkatan tersebut. Artinya, selama periode itu berulang dilakukan modifikasi untuk membenahi sistem kapitalisme. Namun nyatanya, ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan orang-orang miskin justru semakin kontras. Belum lagi jika data dikaitkan dengan kondisi terkini masa pandemik. Angka jurang ketimpangan kaya dan miskin semakin tereksploitasi di berbagai belahan dunia. Misalnya, angka pengangguran begitu melesat naik dan menempatkan orang-orang miskin lebih tidak memiliki kesempatan untuk survive. Di sisi lain kenaikan kekayaan para miliarder dunia begitu mengejutkan. Kekayaan 660 miliarder dunia meningkat 40% selama pandemik3. Ide “Decent Capitalism” yang ingin memutarbalikkan pemikiran distribusi pendapatan model kapitalisme lama yang berlaku sejak Perang Dunia jelas gagal. Solusi pajak progresif bagi para korporasi besar untuk meratakan distribusi pendapatan selalu berhasil dikalahkan oleh keteguhan para korporasi besar dalam memegang asas mendasar dari kapitalisme, yaitu “selfishness.” Daftar korporasi pengemplang pajak semakin tinggi. Modifikasi undang-undang di suatu negara untuk menghindarkan mereka dari pajak besar4 adalah bukti lain tentang kegagalan solusi kapitalisme dan modifikasinya untuk mengentaskan permasalahan ketimpangan dan tercapainya distribusi pendapatan yang adil.

 

  1. Solusi atas krisis.

Tahun 2008 akan senantiasa diingat sebagai kasus kebangkrutan terbesar di Amerika Serikat yang mengungkapkan seberapa besar pasar keuangan bergantung kepada aset ‘busuk’—yang disebut hipotek subprime dan turunannya. Krisis ini terjadi karena industri hipotek memberikan dana kepada para peminjam yang sebenarnya tidak mampu membayar. Terjadilah peningkatan kebangkrutan yang memicu ambruknya sejumlah lembaga peminjaman. Bagi dunia, hal ini pertanda kematian tentang pertumbuhan yang dijanjikan kapitalisme. Penelitian, seminar dan diskusi publik digelar demi merumuskan ‘American Rescue Plan’. Hal ini sangat bertolak belakang dengan ideologi kapitalisme, yaitu bantuan dana negara sebesar US$700 miliar dikeluarkan untuk membeli saham dan aset perusahaan dan bank yang sedang tercekik hutang yang terkait pasar kredit properti. ‘Keharaman’ campur tangan negara dalam kapitalisme sudah tidak terbukti. Dua ekonom Korea Kap-Young Jeong dan Euysung Kim5 langsung merespon dengan segera mengusulkan ada jalan ekonomi baru dan tidak terlibat lebih dalam lagi dengan sistem kapitalisme Barat yang nyata kerusakannya dan telah membunuh dirinya sendiri dengan mengambil dana publik (adanya campur tangan negara).

Decent Capitalism”menyodorkan gagasan untuk melakukan restrukturisasi sistem keuangan global. Cara berpikir pendek perbankan dan lembaga keuangan harus diperbaiki dan menghindari sebab-sebab krisis 2008. Namun, pada kenyataannya, perbaikan seperti apapun akan sulit jika kita juga bandingkan sistem keuangan global dengan sistem moneter. Fiat money yang tidak ada back-up logam mulia adalah suatu gelembung sejak lahir. Gelembung ini semakin membesar ketika sistem keuangan mengizinkan uang dijadikan komoditi untuk digelembungkan dalam lembaran-lembaran saham dan bentuk derivatifnya. Hal ini jelas sangat sulit dibendung jika melibatkan ketamakan manusia.

Jauh-jauh hari Hyman Minsky, Robert Shiller, Joseph Stiglitz dan Nouriel Roubini sudah mengingatkan akan bencana gelembung ini. Sekali lagi solusi kapitalisme dan hasil modifikasinya tetap gagal. Keinginan para kapitalis untuk menggelembungkan kekayaan mereka tidak dapat dibendung dan akan senantiasa mengulang-ulang krisis.6

 

  1. Solusi atas kebijakan energi.

Asas kebebasan kepemilikan dalam sistem kapitalisme telah nyata membuat sektor energi adalah sektor yang amat rawan krisis. Harga energi yang kerap terlampau tinggi untuk diakses masyarakat miskin dunia bahkan bagi masyarakat yang berada di kawasan sumber energi tersebut melahirkan fakta menyakitkan.7 Selain tidak bisa diakses oleh semua orang, energi dalam sistem kapitalisme juga kerap menjadi tempat pertumpahan darah antara masyarakat pribumi dan pemerintah setempat/pengelola swasta dalam penguasaan akses energi. Ada istilah-istilah yang terkenal seperti ‘negara yang memiliki sumberdaya alam seperti minyak belum tentu menjadi masyarakat yang sejahtera dan damai’ atau ‘di mana minyak berada di situlah neraka berada’. Setidaknya itu adalah ungkapan-ungkapan yang masyhur di Amerika Latin dan Karibia.

Sejarah panjang ratusan tahun kasus perang saudara melibatkan sumberdaya alam di wilayah tersebut. Perang Pasifik tahun 1879–1883, yang terjadi di Bolivia, Chili, dan Peru, dipicu oleh perselisihan untuk menguasai gurun yang kaya nitrat di Atacama. Perang Chaco 1932–35 antara Bolivia dan Paraguay terjadi karena memperebutkan wilayah yang diyakini memiliki cadangan minyak yang signifikan. Dalam beberapa dekade terakhir, Bolivia, Meksiko, dan Peru yang kaya minyak menderita akibat konflik kekerasan. Di Amazon Ekuador, eksploitasi minyak telah berulang menyebabkan bentrokan antara orang pribumi dan pemerintah.8

Ketergantungan sistem kapitalisme terhadap akses energi yang ditambah dengan persaingan penguasaannya menjadikan akses energi sebagai medan perang yang setiap saat bisa pecah layaknya invasi AS ke Irak, Afganistan dan berbagai belahan dunia lainnya. Belum lagi jika kita urai dampak kerusakan lingkungan atas eksploitasi energi fosil oleh kapitalisme.

Sekelumit masalah energi ini tentu membutuhkan solusi. Tawaran “Decent Capitalism” berupaya melakukan modifikasi ketergantungan energi dengan blueprint paradigma pertumbuhan baru yang kembali mengacu pada The Green New Deal (GND) yang pernah dicetuskan Franklin D. Roosevelt dalam merespon the Great Depression. Tawaran ini diajukan kembali pada 2019 dalam Kongres ke-116 AS yang diprakarsai Alexandria Ocasio-Cortez dan Ed Markey, namun gagal total. Kebijakan untuk berhenti dari energi fosil ini tidak dianggap dalam Kongres itu. Akibatnya, apa yang menjadi blueprint “Decent Capitalism” dengan mengangkat GND untuk solusi baru kapitalisme atas energi adalah solusi semu yang tidak sesuai fakta. Pasalnya, ketamakan sistem kapitalisme sejatinya tidak akan pernah mempedulikan lingkungan dan akan menyeret semua ke lubang hitam mereka.9

 

  1. Solusi atas sistem moneter dan keuangan global.

Lebih dari 20 tahun lalu, ketika sebagian besar negara Uni Eropa bersepakat untuk Maastricht Treaty dan menggunakan mata uang tunggal Euro, dunia mengalami antusiasme tinggi. Seolah ini adalah harapan baru dari kerusakan sistem moneter kapitalisme. Untuk beberapa tahun pada usia awalnya memang Euro berkinerja cukup cantik. Daya belinya menguat sampai usianya yang ketujuh. Namun, tahun berikutnya ternyata muncul buruk wajah aslinya seperti mata uang kertas lainnya. Euro terus kehilangan daya belinya. Kinerja yang sesungguhnya dapat dilihat pada daya belinya terhadap emas yang terus merosot.

Sejak lahir Euro memang cacat. Daripada proyek ekonomi, mata uang ini lebih merupakan proyek politik. Euro diciptakan atas pandangan yang terlalu menyederhanakan masalah-masalah ekonomi terkait uang kertas.10 Kegagalan mata uang Euro ini begitu cepat tersingkap ketika terjadi jurang performa ekonomi yang sangat mencolok di antara negara-negara Uni Eropa. Keperkasaan ekonomi negara-negara Eropa Barat seperti Jerman, Prancis, Belgia, Swiss dll tidak bisa diimbangi oleh negara-negara Eropa Selatan seperti Yunani. Hal inilah yang menyebabkan gejala runtuhnya mata uang Euro yang tinggal menunggu waktu untuk hancur berpuing-puing. Pasalnya, syarat ideal penggunaan Euro adalah bahwa negara-negara ini harus memastikan inflasi di bawah 1,5 persen, defisit anggaran di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), rasio utang terhadap PDB kurang dari 60 persen11. Untuk memenuhi kriteria, banyak negara Uni Eropa harus mengadopsi reformasi anggaran yang ketat. Dalam praktiknya, standar-standar ketentuan ekonomi itu mustahil diterapkan oleh negara seperti Yunani dan beberapa negara Uni Eropa lainnya yang lemah secara ekonomi. Hasilnya, krisis pun melanda dan analisis Joseph Stiglitz mewakili logika akal sehat tentang ini. Solusi lainnya dari hasil modifikasi sistem kapitalisme terhadap sistem moneter inipun telah gagal dan akan tetap berada dijurang gelap hasil jebakan uang kertas.

 

Penutup

Peradaban Barat dengan sistem kapitalisme telah membawa banyak penderitaan dan bencana kemanusiaan yang disebabkan oleh sistem yang mereka jalankan. Mereka disilaukan dengan cahaya semu kapitalisme yang kian redup dan memandang bahwa sistem ini adalah tidak tergantikan, walau beragam kerusakannya dapat dengan mudah ditemukan. Berbagai macam analisis ilmiah yang menunjukkan kerusakan sistem kapitalisme dan modifikasinya tetap tidak membuat mereka bergeming. Orang-orang ini adalah golongan yang telah disebut Allah SWT dalam firman-Nya:

لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ

Mereka memiliki kalbu (akal), tetapi tidak mampu memahami. Mereka memiliki mata, tetapi tidak melihat. Mereka memiliki telinga, tetapi tidak mendengar (QS al-A’raf [7]:179).

 

Karena itu siapa saja yang mampu memahami persoalan ini secara komprehensif disertai landasan keimanan, sesungguhnya akan mampu mengambil sikap untuk meninggalkan sesuatu yang rusak ini dan hanya beralih pada sistem hakiki yang diturunkan oleh Zat Yang Mahatahu dalam jalan sistem ekonomi Islam. Seandainya seluruh manusia mau melihat persoalan ini secara jernih dan murni, sekalipun mereka tidak memeluk Islam, mereka akan mendapati kehebatan sistem ekonomi Islam yang mampu mendatangkan kehidupan yang aman dan makmur.

Hal ini terhambat karena kelompok penguasa yang mengontrol urusan masyarakat. Mereka yang menetapkan keputusan-keputusan publik ini masih enggan berpaling dari sistem rusak kapitalisme, dan menghambat kehadiran sistem Islam yang akan membawa kemakmuran bagi peradaban.

Semoga Allah SWT segera mengganti mereka yang menghambat tertegaknya sistem ini dan mendatangkan mereka yang bersegera menuju sistem mulia ini.

WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Indra Fajar Alamsyah; Kandidat Ph.D Ekonomi, International Islamic University Malaysia]

 

Catatan kaki:

1 Dullien, S., Herr, H.,& Kellermann, C. (2011). Decent Capitalism: A Blueprint for Reforming Our Economies. London: Pluto Press.

2 https://www.oxfam.org/en/tags/inequality-index

3 https://inequality.org/great-divide/updates-billionaire-pandemic/

4 Morgan, J. (2021). A critique of the Laffer theorem’s macro-narrative consequences for corporate tax avoidance from a Global Wealth Chain perspective. Globalizations. 18:2, hlm. 174-194

5 Jeong, K-Y., & Kim, E. (2010). The Global Financial Crisis: New Implications and Perspectives for Emerging Economies. Global Economic Review: Perspectives on East Asian Economies and Industries. 39:1, hlm.1-13

6 Joyeux, R., & Milunovich, G. (2015). Speculative bubbles, financial crises and convergence in global real estate investment trusts. Applied Economics. 47:27, hlm. 2878-2898.

7 Altvater, E. (2009). The Plagues of Capitalism – Energy crisis, climate collapse, hunger and financial instabilities. [Online]. http://www.europe-solidaire.org/spip.php?article12913

8 Ross, M. (2014). Conflict and Natural Resources: Is the Latin American and Caribbean Region Different from the Rest of the World?. [Chapter 4]. In Conflict and Natural Resources. Los Angeles: University of California Press.

9 Wilson, J., & Bayَn, M. (2016). Black hole capitalism, City: , analysis of urban trends, culture, theory, policy, action, 20:3, hlm. 350-367

10 Stiglitz, J. (2016). The Euro: How a Common Currency Threatens the Future of Europe. New York, NY, USA: W.W. Norton.

11 Cohen, B. J. (2012). The future of the euro: Let’s get real. Review of International Political Economy. 19:4, hlm. 689-700.

0 Comments

Leave a Comment

thirteen − 5 =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password