Peran Negara dan Swasta dalam Pengelolaan Tambang
Sebagai dampak dari liberalisasi di sektor pertambangan, sebagaimana yang tercermin dalam berbagai regulasi di sektor tersebut, sebagian besar sektor pertambangan di Indonesia dikelola oleh sektor swasta, baik lokal maupun asing. Pemerintah melalui BUMN dan BUMD juga terlibat dalam pengelolaan sektor ini, namun jumlahnya relatif kecil. Pada pertambangan migas, berdasarkan data Kementerian ESDM (2016), terdapat 69 kontraktor yang terlibat dalam kontrak pengelolaan migas di tanah air. Kontraktor-kontraktor tersebut sebagian besar merupakan investor asing, seperti Chevron, Mobil Cepu, Total E&P, Conocophillips, CNOOC, dan PetroChina. Pertamina, satu-satunya BUMN yang mengelola sektor migas, hanya berkontribusi 83 ribu atau 10 persen dari total produksi 831 ribu barel per hari. Kerjasama Pertamina dengan perusahaan-perusahaan swasta, seperti Golden Spike, Medco, PetroChina, dan Talisman juga menghasilkan produksi tambahan 22 ribu barrel per hari.
Pada pertambangan mineral dan batubara, selain dikelola oleh BUMN, peran perusahaan-perusahaan swasta khususnya investor asing juga cukup menonjol. Hal tersebut dapat dilihat pada komposisi produsen komoditas-komoditas tersebut, sebagaimana data berikut ini:1
- Batubara. Produsen batu bara nasional juga dikuasai oleh swasta. Pada tahun 2019, PT Bukit Asam, satu-satunya BUMN batubara, hanya memproduksi sekitar 28 juta atau 4,5 persen dari total produksi sebesar 616 juta ton. Sisanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta, seperti Kaltim Prima Coal (60,9 juta), Adaro Indonesia (51,6 juta), Kideco Jaya Agung (34,5), Berau Coal (32,3 juta) dan Arutmin Indonesia (26,4 juta).
- Tembaga. Produsen utama komoditas ini adalah PT Freeport Indonesia. Pada tahun 2018, pemerintah Indonesia melalui PT Inalum (sekarang Mind id) membeli 40 persen saham perusahaan asal Amerika Serikat ini, sehingga Pemerintah menguasai 51 persen saham perusahaan ini. Sisanya dipegang oleh Freeport McMoran Copper & Gold. Perusahaan lain yang melakukan penambangan tembaga, yaitu PT Amman di Nusa Tenggara Timur.
- Nikel. Dari total produk 1,15 juta ton tahun 2019, PT Antam, BUMN di sektor mineral, hanya memproduksi 120 ribu ton. Sisanya diproduksi oleh perusahaan-perusahaan swasta. Yang terbesar adalah Virtue Dragon Nickel Industry dengan produksi 745 ribu metrik ton. Sebanyak 80 persen saham perusahaan ini dipegang oleh Cina Nickel Resources. Kemudian, perusahaan nikel matte dikuasai oleh Vale Indonesia asal Kanada. Produksi nickel pig iron juga dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta, terutama dari Cina. Memang Pemerintah melarang ekspor bijih nikel agar diolah di dalam negeri, namun smelternya dikuasai asing. Dua produsen pengolahan nikel terbesar saat ini dimiliki investor asal Cina, yaitu IMIP yang mengontrol 50 persen dan Virtue Dragon 11 persen. Kemudian, Inco asal Kanada 22 persen. Antam hanya memproduksi 7 persen.
- Timah. PT Timah, perusahaan milik negara, merupakan produsen terbesar yang menggarap timah di Kepulauan Bangka, Belitung dan Singkep. Perusahaan lainnya adalah PT Koba Tin, yang beroperasi di Pulau Bangka. Sebanyak 75 persen saham perusahaan ini dipegang oleh Malaysia Smelting Corp dan sisanya oleh PT Tambang Timah. Kedua perusahaan ini juga terlibat dalam smelter timah.
- Emas. Produksi terbesar emas di Indonesia dilakukan oleh PT Freeport Indonesia. Produsen terbesar berikutnya adalah PT Antam, yang dengan produksi sebesar 45 ton, baik di Cibalung, Banten dan Pongkor. Antam juga terlibat dalam penambangan emas di Gosowong dan Toguraci, Maluku, dengan kepemilikan saham minoritas, masing-masing 25 persen dan 15 persen. Di Bogor, Jawa Barat, perusahaan ini menambang perak, dengan kepemilikan saham 65 persen. Produsen emas lainnya di antaranya adalah Agincourt Resources, Nusa Halmahera, dan Amman Mineral Nusa Tenggara.
Dari pemaparan di atas tampak bahwa sektor pertambangan Indonesia belum dikelola secara optimal oleh negara. Posisi negara lewat BUMN disejajarkan dengan para investor swasta domestik dan asing. Kiprah BUMN pun kurang agresif dibandingkan sektor swasta. Konsekuensinya, kontribusi sektor pertambangan terhadap penerimaan negara lebih banyak berasal dari penerimaan perpajakan. Sebaliknya, para investor swasta menikmati untung besar, apalagi jika harga di pasar global naik tinggi. Pada tahun 2020, misalnya, penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Sumber Daya Alam sebesar Rp 97 triliun, terdiri dari pendapatan SDA Migas senilai Rp 69,1 triliun, dan SDA Non Migas 28 triliun. Khusus untuk Minerba nilainya sebesar Rp 21,2 triliun. Potensi pendapatan tersebut berpeluang mengecil, sebab pada UU Cipta Kerja, royalti untuk pertambangan batubara dihapuskan. Padahal, jika sektor pertambangan tersebut dikelola oleh negara, termasuk dengan menghasilkan produk turunan yang bernilai tambah tinggi, maka pendapatan negara akan jauh lebih besar.
Perspektif Islam
Islam menetapkan bahwa sejumlah sumber daya alam tidak bisa dimiliki oleh individu. Kepemilikannya adalah milik seluruh umat. Negara menjadi pengelolanya untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Kalaupun ada individu atau perusahaan yang terlibat dalam pencarian, produksi atau distribusinya, maka ia hanya dibayar sesuai dengan kerjanya, yang diistilahkan dengan service contract; bukan dengan pola konsesi ataupun bagi hasil yang seakan-akan kontraktor menjadi bagian dari pemilik. Pasalnya, hak kepemilikan umum tersebut tidak bisa dialihkan kepada siapapun.
Pembahasan mengenai barang tambang sejatinya telah diulas oleh para fuqaha pada masa lampau. Mereka berpendapat bawah penguasaan individu atas barang-barang tambang yang melimpah dan menguasai hajat hidup orang banyak merupakan milik publik dan tidak boleh dikuasai oleh individu. Imam Ibnu Qudamah, misalnya, telah merinci masalah ini. Beliau berpendapat bahwa barang tambang yang tampak (zhâhir) seperti garam, air, sulfur, ter, batubara, minyak bumi, celak, yakut dan semisalnya merupakan milik umum; tidak boleh dapat dimiliki secara privat dan dikuasakan kepada siapapun meskipun tanahnya dihidupkan oleh orang tertentu. Seseorang juga dilarang untuk menguasainya dengan mengabaikan kaum Muslim lainnya karena akan membahayakan dan menyusahkan mereka.
Kemudian, lanjut beliau, barang-barang itu terkait dengan kepentingan umum umat Islam, sehingga tidak boleh dihidupkan oleh pihak tertentu (untuk dikuasai), ataupun pemerintah menguasakan barang itu kepada pihak tertentu. Beliau mencontohkan, jika aliran air dan jalan-jalan umat Islam, yang merupakan ciptaan Allah SWT yang sangat melimpah dan dibutuhkan, dimiliki oleh pihak tertentu maka ia akan berkuasa untuk melarang penggunaannya. Beliau mengutip pernyataan Ibn ‘Aqil:
Barang-barang tersebut merupakan barang milik Allah Yang Mahamulia dan keberadaannya sangat dibutuhkan. Jika ia dimiliki seseorang, lalu menguasainya, maka akan menyulitkan manusia. Jika ia mengambil kompensasi (darinya) maka akan membuatnya mahal sehingga ia telah keluar dari ketetapan Allah SWT untuk menjadikannya sebagai milik umum kepada pihak-pihak yang membutuhkan tanpa adanya ketidaknyamanan. Ini adalah pendapat mazhab Syafii dan saya tidak mengetahui ada yang menyelisihinya.2
Kemudian, Ibnu Qudamah melanjutkan:
Adapun pertambangan bathinah, yakni yang tidak dapat dijangkau kecuali dengan suatu tindakan tertentu dan proses pemurnian, seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah, kristal dan pirus, maka jika ia di permukaan maka tidak boleh dikelola (dihidupkan). Adapun jika ia tidak tampak lalu digali oleh seseorang dan menampakkannya maka ia tidak boleh memilikinya berdasarkan pendapat paling menonjol (zhahir) dari mazhab (Hanbali) dan mazhab Syafii. 3
Hal senada dikemukakan di dalam kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, bahwa barang-barang tambang tambang yang depositnya melimpah tidak boleh dikuasai secara eksklusif baik oleh pemerintah maupun rakyat tertentu. Penulis mengutip pendapat Imam Syafii yang berkata:
Semua barang yang tampak seperti minyak, sulfur, copper sulfate dan lainnya tidak boleh dikuasai oleh seseorang tanpa melibatkan orang lain. Penguasa tidak boleh melarang barang tersebut untuk digunakan selain dirinya atau khusus untuk orang tertentu karena ia tampak seperti air dan padang gembalaan.
Lebih lanjut disebutkan:
Barang-barang tersebut tidak boleh dikhususkan untuk orang tertentu dan dilarang dari kaum Muslim karena akan menyulitkan mereka dan menghalangi mereka mendapatkan kebaikan-kebaikan dari yang tampak tersebut. Hal ini berdasarkan sikap Nabi saw. yang memberikan barang tambang garam kepada Abyad bin Hammal di Ma’rib Yaman. Lalu dikatakan kepada beliau bahwa ia seperti air yang mengalir. Kemudian beliau memerintahkan untuk dikembalikan. Dengan demikian Rasulullah saw. menyamakan garam yang banyak itu seperti saluran-saluran air dan jalan-jalan kaum Muslim.4
Secara lebih rinci, Abdul Qadim Zallum, di dalam Kitab al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, menyebutkan bahwa barang-barang tambang merupakan bagian dari barang milik umum. Barang milik umum sendiri terdiri dari tiga bagian, yaitu:
- Fasilitas umum yang menjadi hajat hidup yang vital bagi masyarakat, seperti air, api (tambang yang menghasilkan api), dan padang rumput (hutan); juga alat dan infrastruktur untuk memanfaatkan ketiga hal tersebut, seperti alat pengeboran air, saluran air; Pembangkit Listrik.
- Objek yang secara natural menghalangi penguasaan individu yang terdiri dari Jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan umum, masjid; dan infrastruktur yang terletak di jalan umum, seperti kereta api, trem, tiang listrik, saluran dan pipa air.
- Barang tambang yang depositnya besar, baik yang ditambang terbuka (seperti garam, batubara) ataupun tertutup (seperti. migas, emas, dan besi) dan peralatan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi dapat dikategorikan milik umum atau milik negara.5
Oleh karena itu, di dalam Khilafah Islam, sektor pertambangan menjadi salah satu pos penerimaan Baitul Mal, yang masuk ke dalam sub pos penerimaan kepemilikan umum. Harta-harta tersebut dikelola oleh negara yang kemudian didistribusikan untuk dinikmati hasilnya oleh rakyat. Pos milik umum ini dikhususkan dari penerimaan milik negara, seperti fai, kharaj, dan jizyah, serta penerimaan sedekah (zakat). Sebab distribusinya hanya dikhususkan untuk rakyat secara langsung baik, termasuk dalam bentuk pembanguan sarana umum. Dengan demikian pendapatan tersebut tidak dapat digunakan untuk membangun kantor pemerintahan, yang manfaatnya khusus untuk kalangan tertentu saja.
Alhasil, pengelolaan tambang dalam Khilafah Islam, selain dikelola sesuai syariah, hasilnya akan dinikmati lebih besar oleh rakyat. Tidak seperti dalam sistem kapitalisme di negara ini: selain bertentangan dengan syariah, hasil tambang lebih banyak dinikmati para pemodal swasta, termasuk asing, sementara rakyat lebih banyak menerima mudaratnya.
WalLahu a’lam bish ash-shawwab. [Muis]
Catatan kaki:
1 Kementerian ESDM, Laporan Kinerja 2019 Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM. https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-laporan-kinerja-kementerian-esdm-2019.pdf. Diakses 21 September 2020; USGS, USGS Minerals Yearbook 2016: The Mineral Industry of Indonesia in 2016. https://www.usgs.gov/media/files/mineral-industry-indonesia-2016-pdf. Diakses 15 September 2020; Indocement, Investor Relation Presentation, 2019 Result. http://www.indocement.co.id/v5/IndocementContent/Presentation/2020/03.%20Maret/Indocement_Conference_Call_2019_20200320.pdf. Diakses 27 September 2020.
2 Ibnu Qudamah al-Maqdisy, al-Mughny )Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1968), 421/V.
3 Ibid., 422/V
4 Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawy, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Beirut: Dar Fikr, tt), 216/XV.
5 Abdul Qadim Zallum, al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (Beirut: Dar al-Ummah, 2004), 65.
0 Comments