Monopoli “Sarang Laba-laba”

Globalisasi adalah penyatuan (integrasi) dan penundukan perekonomian lokal ke dalam perekonomian dunia. Caranya dengan memaksakan penerapan format korporasi ke dalam struktur perekonomian dunia serta menjadikan ekspor setiap negara ditujukan untuk pasar dunia.

Konsekwensinya adalah penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa. Jadi pasar dan perekonomian dunia bukanlah perekonomian tertutup atau terproteksi, melainkan perekonomian terbuka, atau apa yang disebut dengan pasar yang terbuka terhadap segala kekuatan ekonomi.

Slogan nasionalisme yang selalu dipropagandakan oleh orang-orang bodoh menjadi tidak ada artinya. Anehnya, mereka tidak sedikitpun berupaya menolak gagasan globalisasi. Dunia berubah menjadi satu wajah di bawah kendali Kapitalisme global.

Seperti sarang laba-laba yang menyelimuti bumi, negara-bangsa dijadikan sebagai cantolan-cantolannya. Meski tiap-tiap negara memiliki “garis batas” nasionalis, seluruh kekayaannya dikuasi oleh kapitalis global dalam wujud jaringan perusahaan-perusahaan raksasa melalui undang-undang pesanan di negara-negara tersebut.

Celakanya, negara-negara Dunia Ketiga justru mengundang para investor dan bangga dengan kedatangan investor yang banyak. Perusahaan multinasional dengan leluasa menjalankan bisnis. Mereka menghisap kekayaan terutama negeri-negeri Muslim yang kaya-raya. Mereka makin untung. Rakyat makin buntung.

Globalisasi artinya adalah satu dunia untuk satu atau beberapa perusahaan. Berikut kenyataan yang menggambarkan satu perusahaan menguasai dunia seperti Unilever yang menjamah setiap jengkal permukaan bumi.

Gambar 1. Unilever menguasai dunia
Gambar 1 merupakan kenyataan satu, yakni Unilever, yang menjamah setiap jengkal permukaan bumi. PT Unilever merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang manufaktur, pemasaran dan distribusi. Selain Unilever, berbagai bidang bisnis dunia mulai dari keuangan, energi, konstruksi, pariwisata hotel dan restoran juga hanya dikuasai oleh satu atau beberapa perusahaan raksasa saja.

Ketika perusahaan raksasa melindas masyarakat dunia dengan kecepatan tinggi maka hasilnya sudah bisa ditebak, yakni ketimpan ekonomi yang semakin menganga. Mudah kita menemukan manusia super kaya yang kekayaannya melampaui kekayaan beberapa negara. Misalnya, kekayaan Bill Gates setara dengan akumulasi PDB negara Senegal, Republik Kongo, Zimbabwe, Madagaskar, Niger, Guinea, Togo, Sierra Leone, Malawi dan Lesotho[4].

Di sisi lain ada 600 juta orang yang mengalami kemiskinan absolut yang tersebar di 36 negara di Sub- Afrika Sahara, Asia Timur dan Pasifik, Negara Arab dan Asia Selatan[5].

Di Indonesia, Sri Mulyani menyebut kekayaan 4 orang terkaya Indonesia sama dengan kekayaan 100 juta penduduk.

Kesenjangan pendapatan bukan saja terjadi di negara-negara berkembang atau negara Dunia Ketiga. Kesenjangan pendapatan bahkan lebih parah di negara yang menjadi tempat angin globalisasi ditiupkan, yakni Amerika Serikat. Di AS kesenjangan semakin terasa saat ini; 10 persen teratas menguasai asset lebih dari 9 kali lipat pendapatan 90 persen. Jika 10% pada bagian atas tersebut dirinci maka gap kaya-miskin semakin terlihat; 1% orang terkaya berpenghasilan 39 kali lebih banyak daripada 90 persen masyarakat bawah[6].

Kesenjangan lebih mengerikan jika kita membandingkan kelompok yang berada pada level 0,1 persen teratas. Hasilnya, orang Amerika pada level ini menghasilkan 196 kali dibandingkan 90 persen terbawah.

Adapun kesenjangan pendapatan diseluruh dunia, menurut publikasi yayasan amal asal Inggris, Oxfam (2020), 1% orang terkaya di dunia memiliki lebih dari dua kali lipat kekayaan 99% manusia lainnya[7].

Jadi investasi asing yang dibawa oleh perusahaan multinasional tersebut tidak membawa apa-apa selain menyisakan malapetaka bagi umat manusia dan kerusakan lingkungan. Tidak ada yang tersisa selain dari nasionalisme usang, pemimpin oportunis dan nganggur dari mengurus rakyatnya, nasib rakyat yang semakin merana serta potret kehidupan dunia yang semakin liar.

 

Instrumen Kapitalis Menjadi Kartel Global

Untuk menjalankan ide globalisasi tersebut, Amerika menebar sejumlah jejaring beracun sebagai instrumen untuk menguasai dunia dan menciptakan kartel global yakni deregulasi, multinasional corporation, bank dan pasar modal, pemaksanaan demokratisasi.

 

  1. Deregulasi.

Perdagangan bebas merupakan salah satu asas ekonomi pasar dan salah satu landasan globalisasi. Oleh karena itu tidak boleh ada intervensi siapapun terhadap pasar, termasuk intervensi negara, dalam bentuk regulasi yang dianggap menimbulkan distorsi terhadap pasar.

Deregulasi merupakan pandangan yang menganggap bahwa negara adalah lembaga yang tugasnya hanya melaksanakan kegiatan diplomasi, yang semuanya bergerak untuk melayani kepentingan sektor swasta dan pasar.

Jika pemerintah hendak menjalankan suatu usaha bisnis, maka dia wajib diperlakukan sama dengan lembaga mana pun yang lain. Akibatnya, terjadi swastanisasi besar-basaran dengan alasan kurang efisiennya sektor publik, produktivitasnya yang rendah, dan kinerja pengelolanya yang payah.

Hingga kini proses swastanisasi berjalan makin massif. Di Indonesia, misalnya, melalui berbagai UU yang semuanya beraroma liberal seperti UU PMA, UU Minerba dan yang mutakhir adalah UU Omnibuslaw. Miris dan penuh kontradiksi. Di satu sisi regulasi dipandang berbahaya terhadap ekonomi. Di sisi lain negara membuat regulasi untuk kepentingan korporasi.

 

  1. Multinasional corporation.

Multinasional corporation merupakan perusahaan raksasa bisnis yang menguasai ekonomi global secara nyata. Kini terdapat ribuan perusahaan raksasa di dunia yang mendominasi sebagian besar perekonomian dunia. Tahun 2021, Forbes The Global 2000 merilis peringkat internasional perusahaan publik terbesar, terkuat dan paling berharga di Dunia. Secara regional, perusahaan Amerika Serikat terbanyak dalam daftar, mencapai 590. Diikuti Cina sebanyak 350. Kemudian Jepang 215, Inggris 66 dan Korea Selatan dengan 62 perusahaan[8].

Pemerintah masing-masing negara menjadi kaki tangan yang bertugas membantu perusahaan-perusahaan ini untuk menembus dan menguasai perekonomian internasional baik dengan diplomasi maupun melalui jalan perang. Maraknya perang pada abad-20 dengan korban jutaan manusia tidak lain karena kerakusan Kapitalisme yang ingin menguasai kekayaan dunia. Mesin-mesin perang digerakkan oleh negara dengan sponsor dari multinasional corporation.

Menurut Forbes The Global 2000 pendapatan total perusahaan 2021 menyumbang pendapatan USD 39,8 triliun, laba USD 2,5 triliun, aset USD 223,4 triliun, dan kapitalisasi pasar USD 79,7 triliun[8].

Meski dua tahun ke belakang masyarakat dunia dihantui pandemi Covid-19, yang membawa pada kelesuan perekonomian, perusahaan raksasa tetap mampu meraih untung fantastis. Bahkan menjadikan musibah pandemi sebagai peluang bisnis untuk meraup keuntungan besar tanpa peduli dengan nasib miliyaran manusia. Di Indonesia, misalnya, ketika masyarakat kesulitan sebatas untuk bertahan hidup, oligarkhi justru menjadikan Polymerase Chain Reaction (PCR) sebagai kesempatan bisnis dengan keuntungan besar. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) keuntungannya mencapai Rp 10 Triliun lebih.

 

  1. Bank dan Pasar Modal.

Bank merupakan penyokong perusahaan, terutama perusahaan raksasa, dan merupakan sekutu perusahaan untuk menguasai perekonomian negara-negara lemah. Bank sebenarnya juga suatu perusahaan. Bahkan perusahaan terbesar dunia saat ini adalah sektor perbankan, yakni Industrial and Commercial Bank of China (ICBC).

Selain perbankan, pasar modal juga menjadi alat kriminal para investor raksasa untuk meraup keuntungan besar tanpa usaha nyata dan tanpa investasi yang riil. Kegiatan perekonomiannya adalah sektor ekonomi non-riil. Ia bertumpu pada kompetisi tidak-seimbang yang mirip dengan perjudian undian dan penipuan.

Pasar-pasar modal ini sangat penting untuk mengglobalkan perekonomian regional. Pembukaan pasar modal dan surat berharga sudah menjadi persyaratan bagi bantuan luar negeri terutama yang berasal dari IMF. Melalui pasar modal yang sudah terbuka maka investor raksasa dunia dengan mudah mengakuisisi perusahaan lokal.

Akibat sistem perbankan dan pasar modal yang ringkih, dunia selalu dihantui oleh berbagai penyakit ekonomi seperti inflasi, resesi dan depresi ekonomi secara berulang.

 

  1. Pemaksaan Demokratisasi.

Pemaksaan ini terjadi tatkala negara-negara Barat mensyaratkan penerimaan demokrasi terhadap negara-negara di dunia, baik secara total maupun tidak sebagai syarat mendasar untuk memasuki era globalisasi. Ide-ide tersebut antara lain adalah sekularismne, ekstremisme dan radikalisme beragama, kesepahaman/perdamaian antarbangsa, moderasi beragama, HAM, kesetaraan jender, kerukunan umat beragama, pluralisme, perubahan kurikulum pendidikan hingga pesantren, dan sebagainya.

Semua ide ini tak lain adalah nilai dan gaya hidup peradaban Barat yang dianggap sebagai budaya/kultur luhur yang dipandang lebih unggul daripada semua ideologi dan peradaban lain. Pemikiran tersebut tampak jelas dipropagandakan oleh para penguasa di banyak negara-negara lemah, seperti Dunia Islam. Misalnya, Kementerian Agama Republik Indonesia memprioritaskan program-program terkait pengarusutamaan moderasi beragama. Untuk mensukseskan program ini tahun 2021, Pemerintah menggelontorkan anggaran Rp 400 Miliar. Tahun 2022 anggarannya meningkat delapan kali lipat menjadi Rp 3,2 Triliun.

Dalam rangka menanamkan demokratisasi, Amerika berupaya menyelesaikan masalah-masalah separatisme dan melakukan campur tangan untuk memecah-belah sebuah negara menjadi dua negara atau lebih jika memungkinkan, seperti yang sudah terjadi di Bosnia, Irak, Sudan, Afganistan, dan lain-lain. Dalam waktu dekat sangat mungkin akan segera muncul negara Papua sebagai negara baru, setelah sebelumnya berhasil mengeluarkan Timor Timur dari Indonesia.

Tujuannya adalah untuk membuat kekacauan nasional, pertentangan antarsuku dan kelumpuhan kawasan, yang semuanya merupakan alasan-alasan kuat bagi AS untuk intervensi. Pada saat yang sama memaksakan ide Demokrasi-Kapitalis Amerika sebagai suatu kekuatan yang tak dapat ditolak lagi. Globalisasi akhimya dianggap sebagai kereta api cepat untuk memasuki masa-masa mendatang. Siapa saja yang tidak menaikinya, dia akan terisolasi, terpinggirkan, atau akan menjadi hina-dina dan mengalami kehancuran.

 

Khilafah Islamiyah Rumah Bersama Dunia

Kapitalisme Global sebenarnya sudah gagal dan terbukti mendatangkan musibah terhadap dunia. Kepercayaan pada Kapitalisme Global juga sudah sangat memudar di berbagai tempat. Namun, tanpa ada satu alternatif yang secara nyata menggantikan, diperkirakan konsep ini akan terus bertahan atau berganti wajah.

Perlu diingat bahwa Globalisasi merupakan rupa manis hasil transformasi dari imperialisme/kolonialisme, namun esensinya sama, yakni penjajahan. Jika mata dunia hari ini sudah terbuka akan kebobrokan globalisasi, sangat mungkin negara kapitalisme akan menawarkan resep baru yang lebih manis sebagai pengganti globalisasi. Oleh karena itu tidak sepantasnya manusia khususnya kaum Muslim dunia terkecoh berkali-kali. Resep peradaban apapun yang ditawarkan Barat niscaya adalah racun bermerek madu.

Satu-satunya konsep sahih yang sepadan dengan Kapitalis Global adalah Islam dengan sistem pemerintahan Khilafah. Khilafah bukanlah sistem pemerintahan diktator maupun demokrasi yang sudah terbukti sama-sama rusak dan berbahaya. Tidak ada sistem kehidupan lain yang secara nyata akan mampu menghapus dan menggantikan eksistensi Kapitalisme global selain dari Khilafah Islamiyah.

Jika Kapitalis Global merupakan konsep kehidupan yang sistem aturan hukumnya berasal dari manusia maka Khilafah Islam hanya menjalankan aturan hukum yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Aturannya tidak berasal dari manusia baik suara mayoritas, suara pemodal ataupun hawa nafsu Khalifah. Jika Kapitalisme itu merupakan ideologi yang berasal dari mahkluk bumi untuk menjajah sesama, Khilafah Islamiyah merupakan konsep bernegara yang berasal dari Rabb untuk mensejahterkan semua manusia. Perbandingan keduanya seperti langit dan bumi.

WalLâhu a’lam. [Dr. Erwin Permana]

 

Referensi:

[1] Jackson, I., & Xidias, J. (2017). The end of history and the last man. In The End of History and the Last Man. https://doi.org/10.4324/9781912282135

[2] Wilkinson, D. (1995). From Mesopotamia through Carroll Quigley to Bill Clinton: World Historical Systems, the Civilizationist, and the President. Journal of World-Systems Research. https://doi.org/10.5195/jwsr.1995.59

[3] Khatib, A. Al. (1998). Sebab-sebab Kegoncangan Pasar Modal. Pustaka Thariqul Izzah.

[4] Apinino, R. (2015). Harta Bill Gates Setara Kekayaan 10 Negara. https://www.liputan6.com/bisnis/read/2157387/harta-bill-gates-setara-kekayaan-10-negara

[5] Nations, U. (2021). Global Multidimensional Poverty Index 2021; Unmasking disparities by ethnicity, caste and gender.

[6] Saez, E., & Zucman, G. (2021). Trends in Us Income and Wealth Inequality: Revising after the Revisionists. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.3709611

[7] Oxfam. (2021). The Inequality Virus Bringing together a world torn apart by coronavirus through a fair, just and sustainable economy.

[8] ANDREA MURPHY, ELIZA HAVERSTOCK, ANTOINE GARA, C. H. A. N. V. (2021). How The World’s Biggest Public Companies Endured The Pandemic.

[9] Kent, J. P. and N. O. (2020). The Global Divide on Homosexuality Persists But increasing acceptance in many countries over past two decades.

[10] Globalisation: Anthony Giddens. (2020). In Understanding Business Environments. https://doi.org/10.4324/9780203992265-8

[11] Stiglitz, J. E. (2003). Globalization, technology, and Asian development. Asian Development Review, 20(2). https://doi.org/10.7916/D8JD56MK

[12] Hertz, N. (2005). The Debt Threat: How Debt is Destroying the Developing World. Democracy Now!

[13] Ohmae, K. (2008). The Next Global Stage-Challenges and Opportunities in our Borderless World. NHRD Network Journal, 2(1). https://doi.org/10.1177/0974173920080125

 


0 Comments

Leave a Comment

thirteen − 4 =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password