No Perfect Crime

Tidak ada kejahatan yang sempurna. Slogan sederhana ini sangat diyakini oleh polisi negara manapun di seluruh dunia. Tentu saja termasuk Indonesia. Karena itu mereka sangat yakin setiap kejahatan pasti bisa diungkap. Sebabnya, serapat apapun sebuah kejahatan ditutupi, pasti meninggalkan jejak atau petunjuk. Mungkin saja pelaku kejahatan bisa membuat alibi dengan sangat rapi, tetapi ia tidak bisa mengatur semua-mua. Ia tidak bisa mengatur angin, cahaya, debu, darah, dan lainnya. Ia juga tidak selalu bisa mengatur kaitan logis satu peristiwa dengan peristiwa yang lain sehingga kejanggalan akan tampak di sana-sini.

Begitu pula untuk kasus Ferdy Sambo. Ketika ia menyatakan kematian Brigadir J terjadi karena peristiwa saling tembak, menyusul pelecehan yang dilakukan oleh yang bersangkutan terhadap istrinya, sejumlah kejanggalan tampak begitu nyata. Di antaranya, yang sangat sederhana, mengapa tidak ada police line yang biasa dilakukan guna mengamankan tempat kejadian perkara (TKP). Mengapa rekaman CCTV dihilangkan? Jika tidak ada sesuatu yang hendak disembunyikan, pasti rekaman itu akan dibiarkan tetap ada. Kejanggalan paling mencolok tentu saja adalah pada apa yang terlihat di jenazah Brigadir J. Jika benar karena luka tembak, mengapa di sana ditemukan luka sayat dan dua jarinya putus, termasuk ditemukan luka sayatan pada bibir, hidung dan sekitar kelopak mata. Lalu mengapa pula keluarga dihalang-halangi untuk melihat jenazah Brigadir J. Bukankah malah semestinya keluarga dipersilakan untuk melihat jenazah itu sebelum dikuburkan? Jika bukan karena ada sesuatu yang hendak ditutup-tutupi, mengapa keluarga sampai begitu rupa dilarang melihat jenazah Brigadir J? Tentu masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan lain. Akhirnya, memang terbukti Ferdy Sambo berdusta.

++++

 

Bukan hanya kasus pembunuhan Brigadir J di kompleks rumah dinas pejabat tinggi Kepolisian, di kawasan Duren Tiga yang mengundang banyak tanya karena banyaknya kejanggalan, kasus pembunuhan 6 anggota laskar FPI pengawal Habib Rizieq beberapa waktu lalu juga sama. Ternyata ada banyak kesamaan keanehan kasus Duren Tiga dengan kasus KM 50.

Pertama, bangunan cerita awal. Dalam peristiwa penembakan Laskar FPI, awalnya diceritakan bahwa para pengawal itu dikatakan melawan petugas dan kepemilikan senjata api. Kasus pembunuhannya baru diusut belakangan. Dalam kasus penembakan Brigadir J pun begitu. Awalnya dikatakan adanya tindak pelecehan seksual, bahkan cerita ini sudah disidik, padahal senyatanya adalah kasus pembunuhan.

Kedua, ada jeda yang cukup lama antara waktu terjadinya peristiwa dan pengungkapan ke publik. Dalam peristiwa penembakan 6 Laskar FPI, pengusutan kasus pembunuhannya delay cukup lama. Sudah begitu, akhirnya pun pelaku penembakan bebas semua. Dalam kasus tewasnya Brigadir J, Polri baru mengumumkan kasus ini ke publik tiga hari pasca peristiwa.

Ketiga, sama dengan kasus Duren Tiga, jika benar terjadi peristiwa tembak-menembak yang katanya dilakukan oleh 6 orang Laskar FPI dalam Kasus KM 50, mengapa satu pihak menembak berkali-kali, tetapi tidak ada yang kena, sementara pihak lain menembak berkali-kali nyaris semua kena?

Keempat, dalam Kasus Duren Tiga, Brigadir J memiliki luka lain yang bukan tembakan. Enam Laskar FPI dalam Kasus Km 50 juga memiliki luka lain yang bukan karena tembakan. Banyak orang menduga bahwa Brigadir J dan Laskar FPI itu sama-sama mengalami penyiksaan sebelum ‘tertembak’.

Kelima, saat terjadi peristiwa KM 50, CCTV katanya mati atau rusak. Dalam kasus Duren Tiga, CCTV tidak rusak, tetapi dirusak, dan diambil rekamannnya.

Keenam, terkait handphone. Hingga kini tidak diketahui di mana handphone milik 6 Laskar FPI yang tewas ditembak. Demikian juga handphone Brigadir J. Tak jelas dimana keberadaannya.

Ketujuh, tersangka atau calon tersangka tidak bisa ditanyai karena sudah meninggal dunia. Jika benar karena pelecehan seksual, sebagai tersangka atau calon tersangka, Brigadir J sudah meninggal. Pun begitu, jika benar mereka melawan petugas, 6 Laskar FPI juga tidak bisa ditanya karena sudah meninggal sehingga akhirnya kasusnya dihentikan.

Kedelapan, penjelasan kronologis yang disampaikan oleh pihak Kepolisian ke publik di bagian awal, dalam kasus Duren Tiga, juga Kasus KM 50, berubah-ubah dan terkesan ada yang ditutup-tutupi. Bedanya, dalam Kasus Duren Tiga, setelah muncul pengakuan Brigadir E, keterangan pihak Kepolisian mulai stabil.

Kesembilan, dalam kedua kasus, sama-sama keluarga sempat tak boleh lihat jenazah. Terlihat sekali ada fakta dalam jenazah Brigadir J maupun 6 Laskar FPI yang berusaha disembunyikan

Kesepuluh, terungkap bahwa ternyata kedua kasus ini melibatkan Ferdy Sambo. Dalam kasus Duren Tiga, akhirnya ia mengaku sebagai pelaku utama yang merencanakan pembunuhan Brigadir J, sedangkan dalam kasus KM 50, ia juga pernah ikut menginvestigasi kasus KM 50. Mengingat ada begitu banyak kesamaan, apakah ia pula yang menjadi sutradara pembunuhan 6 Laskar FPI? AlLaahu’alam. Tidak ada yang tahu persis, kecuali Ferdy Sambo sendiri, dan tentu saja Allah SWT.

++++

 

Prinsip no perfect crime ditunjukkan juga oleh al-Quran, persisnya dalam kisah Nabi Yusuf. Ketika Nabi Yusuf dimasukkan ke dalam sumur, sebagaimana diceritakan di dalam QS Yusuf, saudara-saudaranya yang bersekongkol melakukan kejahatan terhadap Nabi Yusuf itu, berusaha membuat skenario bohong sebagai alibi guna menutupi kejahatan mereka itu. Dikatakan kepada ayahanda mereka, Nabi Ya’qub, bahwa Nabi Yusuf telah dimakan serigala. Sebagai buktinya, mereka membawa baju Nabi Yusuf yang sudah dilumuri darah palsu.

Sampai di situ, kejanggalan tampak nyata. Jika benar Nabi Yusuf dimakan serigala, bagaimana bisa bajunya bisa dibawa, sedangkan tubuhnya tidak? Apa iya, sebelum memakan tubuh Nabi Yusuf, serigala melepas dulu bajunya lebih dulu, seperti ketika orang hendak makan pisang? Lalu ketika darah yang ada di baju dicium, nyatalah bahwa itu bukan darah manusia, karena darah domba beda baunya dengan darah manusia. Menyadari keganjilan itu, sebagaimana disebut dalam QS Yusuf ayat 18, ayahanda mereka hanya bisa mengatakan fa shabr[un] jamiil (maka sabar itulah yang lebih baik).

Kasus Duren Tiga dan KM 50 penuh misteri, yang mungkin tidak akan pernah terungkap seutuhnya. Namun, menilik banyaknya petunjuk, mestinya aparat bisa mengusutnya secara tuntas hingga terungkap peristiwa dan pelaku sesungguhnya. Apalagi dimensi Kasus Duren Tiga tidaklah semata kasus domestik, berupa pelecehan seksual atau bahkan perselingkuhan, tetapi juga berdimensi publik, mengingat Ferdy Sambo adalah juga Kepala Satgassus Merah Putih yang memiliki kewenangan luar biasa dalam penanganan kasus-kasus Narkoba, judi online dan lain-lainnya, yang konon melibatkan uang dalam jumlah yang sangat besar. Bukan tidak mungkin pembunuhan Brigadir J terkait juga dengan sepak terjang Ferdy Sambo sebagai Kasatgassus.

Namun, jika akhirnya Kasus Duren Tiga, sama dengan Kasus KM 50, tidak terungkap tuntas, yakinlah keadilan akan selalu mencari jalannya sendiri. Jika tidak ada kejahatan yang sempurna (no perfect crime), begitu pula tidak ada skenario menutupi kejahatan yang sempurna pula (no perfect scenario).

Kisah-kisah yang banyak diceritakan di dalam al-Quran mengandung ibrah bagi orang yang berpikir. Kisah tidak sempurnanya skenario dalam cerita Nabi Yusuf semestinya memberi pelajaran untuk jangan sekali-kali melakukan kejahatan. Sebabnya, cepat atau lambat pasti akan terungkap. Jika tidak di sini, pasti di sana. Di akhirat nanti. Yakin. Pasti. [H.M. Ismail Yusanto]

 

 

0 Comments

Leave a Comment

4 × 4 =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password