Hijarah dan Perubahan

Hijrah Nabi Muhammad saw. merupakan momentum sejarah yang sangat penting dan menentukan bagi tegaknya peradaban Islam yang agung di muka bumi. Hijrah Rasulullah saw. dan para Sahabat membuka babak baru bagi perkembangan Islam di Kota Yatsrib (sekitar 447 km dari Makkah) yang kemudian berubah menjadi Madinatur Rasul atau Madinah al-Munawwarah setelah tegaknya Daulah Islam di sana.

 

Latar Belakang

Sesungguhnya risalah Islam yang dibawa dan didakwahkan oleh Rasulullah saw. wajib diterapkan secara kâffah (totalitas, menyeluruh). Agar syariah Islam dari berbagai aspek dapat diterapkan secara totalitas maka mutlak dibutuhkan wilayah penerapannya. Salah satu syarat penting tempat penerapan Islam adalah wilayah yang kekuasaan serta keamanannya secara mutlak ada di tangan kaum Muslim.

Setelah sekitar 13 tahun Rasulullah saw. berdakwah di Makkah, ternyata kota tersebut tidak memenuhi kriteria daerah yang diharapkan. Di antara sebabnya adalah karena penolakan serta penentangan dakwah yang sangat keras dari berbagai tokoh dan masyarakatnya. Karena itu Rasulullah saw. melakukan apa yang disebut dengan thalab an-nushrah. Beliau menawarkan Islam ke berbagai pimpinan kabilah yang memiliki kekuatan politik dan militer. Beliau meminta mereka melindungi dakwah Islam dan menjadikan wilayah mereka sebagai pusat peradaban Islam.

Berbagai kabilah yang memenuhi kriteria didatangi dan didakwahi oleh Rasulullah saw., seperti Bani Tsaqif, Bani Kindah, Bani Kilab, Bani Amir bin Sha’sha’ah dan Bani Hanifah. Namun, mereka menolak ajakan Rasulullah saw, mulai dari cara yang halus hingga cara-cara yang kasar. Berbagai upaya dan momentum dimanfaatkan oleh Rasulullah saw. tak terkecuali momentum musim haji. Saat haji Makkah banyak didatangi oleh tokoh-tokoh berpengaruh dari berbagai wilayah. Secercah harapan muncul setelah Rasulullah saw. mendakwahi 6 orang Suku Khazraj dari Yatsrib (Madinah) yang sedang menunaikan ibadah haji. Mereka kembali ke Yatsrib dan menceritakan keislaman mereka kepada kaumnya.

Musim haji tahun berikutnya, yakni tahun ke 12 kenabian, datanglah 12 orang laki-laki penduduk Yatsrib dan menyatakan sumpah setia (baiat) kepada Rasulullah saw. di ‘Aqabah (Mina) untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak berdusta dan tidak mengkhianati Rasulullah saw. Peristiwa ini dikenal dengan Baiat Aqabah Pertama. Ketika mereka kembali ke Yatsrib, Rasulullah saw. menugasi Sahabat Mush’ab bin Umair untuk menyertai mereka sekaligus membawa misi khusus, yakni membimbing orang-orang yang sudah masuk Islam dan mendakwahi tokoh-tokoh Yatsrib yang berpengaruh. Karena ajakan Mush’ab bin Umair inilah, tokoh yang sangat berpengaruh, yakni Saad bin Muadz dan Usaid bin Hudhair memeluk Islam.

Kemudian pada musim haji berikutnya (tahun ke 13 kenabian), sebanyak 75 penduduk Madinah yang sudah masuk Islam berkunjung ke Makkah. Nabi saw. menjumpai mereka di Aqabah, Mina. Di tempat itu mereka mengucapkan baiat. Isinya sama dengan baiat yang pertama, dengan penambahan isyarat jihad. Mereka berjanji akan membela Nabi saw. sebagaimana membela anak-istri mereka. Baiat ini dikenal dengan Baiat Aqabah II. Peristiwa inilah yang mendorong Rasulullah saw. semakin mantap menjadikan Yatsrib sebagai kota tujuan hijrah, yakni karena dukungan dan penerimaan terhadap dakwah Islam para penduduknya serta kesediaan daerah mereka dijadikan sebagai pusat peradaban Islam.

Rasulullah saw. meninggalkan rumah beliau untuk melakukan hijrah bersama Sahabat Abu Bakar Shiddiq pada malam tanggal 27 Shafar tahun 14 kenabian atau bertepatan pada 13 September 622 M. Setelah sebelumnya gelombang hijrah dilakukan para Sahabat. Setelah beliau tiba di Quba pada 8 Rabiul Awwal tahun 14 kenabian dan membangun masjid di sana, empat hari setelahnya, Rasulullah saw. tiba di Madinah dengan disambut gegap gempita oleh penduduk Madinah.

 

Titik Awal Penegakkan Daulah Islam

Sejak tiba di Madinah, Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat membangun masjid sebagai tempat shalat, berkumpul, bermusyawarah dan mengatur berbagai urusan kaum Muslim sekaligus memutuskan perkara yang ada di antara mereka. Beliau menjadikan Abu Bakar dan Umar sebagai dua orang pembantunya. Beliau bersabda, “Dua (orang) pembantuku di bumi adalah Abu Bakar dan Umar.”

Kaum Muslim senantiasa berkumpul di sekitar beliau dan merujuk semua persoalan kepada beliau.

Rasulullah saw. juga mengadakan perjanjian dengan Yahudi dari Bani Dhamrah, Bani Mudlij, Kafir Quraisy, Penduduk Ailah, Jarba dan Adzrah. Di antara tujuannya, agar tidak ada yang menghalangi orang yang menunaikan ibadah haji dan agar tidak ada provokasi pada saat bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab).

Posisi Rasulullah saw. sebagai seorang kepala negara sangat tampak ketika beliau mengangkat para wali (kepala daerah setingkat provinsi). Rasulullah saw. mengangkat ‘Uttab bin Usayd menjadi wali di Makkah, Badzan bin Sasan menjadi wali Yaman dan Shana’a, Utsman bin Abil al-’Ash menjadi wali di Thaif. Berikutnya ‘Ala’ bin al-Hadhrami menjadi wali di Bahrain, ‘Amr bin al-Ash menjadi wali di Oman, Abu Sufyan bin Harb menjadi wali di Najran, Amr bin Said bin al-Ash menjadi wali di Wadi al-Quro, Yazid bin Abiy Sufyan menjadi wali di Tayma, Tsumamah bin ‘Atsal menjadi wali di Yamamah, Farwah bin Musayk menjadi wali di Murad, Zabid dan Madhij serta Abi Rabi’ah al-Makhzumi menjadi wali di Yaman.

Selain mengangkat wali, untuk membantu mengurus berbagai urusan kaum Muslim, Rasulullah saw. juga mengangkat amil (kepala daerah setingkat bupati atau walikota). Rasulullah saw. mengangkat Syahr al-Hamdani menjadi amil di Yaman, Abu Musa al-‘Asy’ari menjadi amil di Zabid dan ‘Adn, Al-Harits bin ‘Abd al-Muthallib menjadi amil sebagian Makkah, Abi Syaibah menjadi amil di Thaif, ‘Amr bin Hazm al-Anshari, menjadi amil di Najran, Qays bin Malik al-Arhabi menjadi amil di Bani Hamdan, Ibn Mandah menjadi amil Hajar, Sawad bin al-Ghaziyah menjadi amil di Khaibar, Ziyad bin Labib menjadi amil di Hadhramaut dan Muadz bin Jabal menjadi amil di Janad.

Dalam bidang hukum, Rasulullah saw. mengangkat qâdhi (hakim) untuk memutuskan perkara hukum di tengah masyarakat. Beliau mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai qâdhi di Yaman, Abdullah bin Naufal sebagai qâdhi di Madinah, Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari sebagai qâdhi di Yaman (Utara dan Selatan). Rasulullah saw. juga secara langsung menjatuhkan sanksi/hukuman kepada orang yang melanggar hukum Islam.

Bukan hanya dalam bidang pemerintahan dan hukum, Rasulullah saw. juga sangat memperhatikan berbagai fungsi administrasi. Beliau mengangkat para sekretaris untuk mengatur kepentingan masyarakat. Di antaranya Ali bin Abi Thalib bertugas menulis perjanjian, Muaiqib bin Abi Fathimah mengurusi cincin beliau (menjadi stempel negara) dan sebagai penulis ghanîmah, Hudzaifah menjadi pencatat hasil pendapatan dari Tanah Hijaz, Zubair bin Awam menjadi petugas pencatat zakat, Mughirah bin Syu’bah menjadi pencatat hutang dan transaksi muamalah, Surahbil bin Hisan menjadi penulis kepada raja-raja.

Beliau pun mengangkat beberapa komandan ekspedisi dan mengirimkan mereka ke luar Madinah.

Jadi, sejak tiba di Madinah, beliau telah mendirikan Daulah Islam. Negara tersebut dijadikan pusat pembangunan masyarakat yang berdiri di atas pondasi yang kokoh dan pusat persiapan kekuatan yang cukup untuk melindungi negara dan menyebarkan dakwah. Setelah seluruh persoalan stabil dan terkontrol, beliau mulai menghilangkan rintangan-rintangan fisik yang menghadang di tengah jalan penyebaran Islam. Dengan demikian beliau berkedudukan sebagai kepala negara, qâdhi dan panglima militer. Beliau memelihara berbagai urusan kaum Muslim dan menyelesaikan perselisihan-perselisihan di antara mereka.

 

Perubahan Total

Hijrah yang dilakukan setelah 13 tahun dakwah di Kota Makkah itu telah mengubah kaum Muhajirin yang tertindas (mustadh’afin) menjadi warga masyarakat di Kota Madinah selain kaum Anshar. Bahkan mereka menjadi pelopor perubahan dunia di masa berikutnya.

Hijrah itu juga telah mengubah keadaan kaum musyrik penyembah berhala dari kalangan suku Aus dan Khazraj di Kota Madinah menjadi orang-orang Mukmin yang telah menolong dan melindungi perjuangan Nabi Muhammad saw. Lebih dari itu, mereka menjadi kaum yang mulia sebagaimana disebut-sebut dalam al-Quran maupun as-Sunnah.

Hijrah itu pula yang telah mengubah kaum Muslim—yang pada awalnya merupakan kelompok dakwah di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw.—menjelma menjadi suatu umat yang memiliki kemuliaan, kedudukan dan kekuasaan. Rasulullah saw. pun akhirnya menjadi seorang penguasa (hâkim) yang menjalankan pemerintahan dan kekuasaan menurut apa yang diturunkan Allah SWT kepada beliau.

Hijrah telah mengubah masyarakat Madinah yang terpecah-pecah dalam kabilah-kabilah menjadi satu umat dan satu negara di bawah kepemimpinan Risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ya, hijrah itulah yang menandai perubahan suatu masyarakat Jahiliah menjadi masyarakat Islam yang memiliki peradaban yang luhur karena diliputi oleh nilai-nilai dan hukum-hukum Ilahi. Inilah awal bersatunya berbagai bangsa yang memiliki hukum, tatanegara dan adat-istiadat serta bahasa yang berbeda-beda menjadi umat yang satu. Hukum tatanegaranya satu. Bahasanya satu di bawah naungan Islam. Mereka menjadi satu umat (ummat[an] wâhidah). Dengan hijrah, kekufuran lenyap diganti keimanan. Kejahiliahan musnah tertutup cahaya Islam. Ketertindasan berubah menjadi kemuliaan dan keagungan. Murka Allah SWT sirna. Sebaliknya, keridhaan-Nya datang.

 

Refeksi Hijrah Saat Ini

Banyak orang hanya memandang hijrah dari aspek spiritual dan individual belaka. Padahal seharusnya kita membahas seluruh kepentingan ideologis dari peristiwa hijrah itu dari sudut pandang Islam dan misi dakwah Rasulullah saw.

Kita harus menyadari bahwa hijrah bukanlah semata-mata menandai awal adanya kalender hijrah. Yang lebih penting, hijrah adalah peletakan batu pertama bangunan Negara Islam. Selama sekitar 1300 tahun negara itu menyatukan negeri-negeri tetangganya, membebaskan para penduduknya yang tertindas dan membawa mereka pada rahmat Allah SWT melalui Islam. Hijrah adalah peristiwa yang menjadi titik transformasi dari ide-ide Islam sebagai ideologi yang kemudian diterapkan secara praktis oleh sebuah negara.

Dalam konteks kekinian, hijrah harus kita maknai sebagai upaya mengubah sistem jahiliah yang saat ini banyak diterapkan di berbagai negeri kaum Muslim—yakni kapitalisme-sekular dan sistem politik demokrasi—menjadi sistem Islam. Kondisi saat ini mengingatkan kita akan kondisi Kota Makkah ketika diutus Rasulullah saw. yang dipenuhi berbagai kesesatan, kezaliman dan kerusakan. Dalam bidang akidah, pada saat itu masyarakat menyembah berhala. Dalam bidang ekonomi masyarakat melakukan transaksi dengan akad ribawi, terbiasa mengurangi takaran dan timbangan. Dalam bidang sosial perzinaan merajalela, khamr ada di mana-mana, bayi perempuan dikubur hidup-hidup serta terjadi konflik antar suku.

Pada saat ini, kondisinya tidak jauh berbeda. Sistem ekonomi kapitalisme yang ditopang oleh sistem perbankan ribawi menghasilkan kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi serta besarnya angka kemiskinan. Sistem politik berkiblat pada sistem demokrasi yang berasal dari Yunani menghasilkan elit politik yang bermoral rusak, meraih jabatan hanya untuk memperkaya diri, tanpa memperhatikan kondisi masyarakat. Berbagai perilaku jahiliah bahkan lebih massif lagi terjadi, seperti perzinaan yang secara terbuka dipertontonkan, kampanye LGBT yang tanpa malu dilakukan, pabrik minuman keras yang secara legal memproduksi jutaan minuman haram, aborsi yang sejatinya merupakan pembunuhan terhadap jutaan nyawa, hingga konflik antara elit yang memperebutkan kursi dan kekuasaan lima tahunan.

Kondisi ini tentu harus kita ubah. Jika kita menjadikan Rasulullah saw. sebagai teladan, perubahan yang harus kita lakukan haruslah perubahan yang total dan fundamental. Persis sebagaimana Rasulullah saw. ketika mengubah masyarakat jahiliah yang rusak menjadi masyarakat Islam yang beradab. Perubahan yang harus kita lakukan bukan sekadar perubahan individual, tetapi perubahan sistem kehidupan. Pasalnya, permasalahan Dunia Islam saat ini pun bukan sekadar masalah individual, tetapi sistemik.

Agar terjadi perubahan, Rasulullah saw. mencontohkan kita melakukan aktivitas dakwah, mengajak masyarakat agar mau diterapkan aturan Allah SWT dan siap memperjuangkannya. Dakwah yang dilakukan Rasulullah saw. tidak hanya berorientasi pada perubahan individual, tetapi berorientasi perubahan sistemik. Mengubah sistem sistem politik, sistem hukum, sistem ekonomi, sistem sosial budaya dan lainnya.

Ketika Rasulullah saw. mengubah masyarakat dari jahiliah menjadi Islam, langkah yang beliau lakukan adalah dengan mendirikan Daulah Islam. Daulah Islam inilah yang secara efektif dapat menerapkan syariah Islam secara kâffah sekaligus mampu menyingkirkan berbagai sistem dan kehidupan jahiliyah.

Karena itu jika kita berharap dunia saat ini menjadi lebih baik, sejahtera dan beradab maka harus ada upaya sungguh-sungguh agar syariah dan hukum Allah SWT bisa diterapkan secara kâffah (total). Penerapan syariah Islam secara kâffah hanya bisa dilakukan jika ditegakkan Daulah Khilafah. Tanpa Daulah Khilafah, perubahan total dan fundamental menuju masyarakat Islam yang beradab hanya akan menjadi angan-angan.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Luthfi Afandi; Direktur Pusat Kajian Islam Kaffah]

 

 

0 Comments

Leave a Comment

15 + 7 =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password