Melawan Terorisme Amerika
Setelah Perang Dingin usai, Amerika Serikat sebagai pemimpin ideologi kapitalis menjadikan Islam satu-satunya musuh ideologis. Ragam pemahaman dan aksi dibuat untuk melumpuhkan Islam. Sebut saja sistem demokrasi dalam pemerintahan, nasionalisme untuk menyekat-nyekat negeri-negeri Islam, konsep pluralisme dalam bermasyarakat, liberalisme (kebebasan) dalam bergaul, HAM versi Barat, dialog antar umat beragama, moderat dalam beragama, politik pasar bebas, fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme. Semua itu merupakan pemahaman-pemahaman berbahaya yang oleh AS dijadikan sebagai instrumen untuk memukul Islam dan menancapkan peradabannya.
Terorisme lahir dari rahim Amerika. Tumbuh suburnya pun atas desain Amerika. Tahun 1979, Dinas Intelijen Amerika dan Inggris membahas istilah ini. Mereka sepakat bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk melawan kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target politis.
Berbagai konferensi kemudian menyusul. Dibuatlah berbagai hukum dan undang-undang untuk membatasi aksi-aksi yang digolongkan sebagai terorisme. Undang-undang itu juga dibuat untuk mengakategorikan mana organisasi, gerakan atau kelompok teroris. Undang-undang itu diklaim untuk membatasi gerak teroris. Kenyataanya, UU tersebut tidak mendalam dan tunduk pada orientasi politik negara yang membuatnya.
Amerika kemudian merekayasa opini umum internasional dan regional untuk melawan terorisme (War on Terrorism). Dengan rekomendasi UU, Amerika dapat memata-matai siapa pun dan di mana pun yang mereka tuduh sebagai teroris. Bisa individu, organisasi, partai, maupun negara. Oleh karena itu, hampir tidak ada satu pun gerakan Islam saat ini, kecuali harus siap-siap dicap sebagai teroris oleh Amerika.
Amerika juga telah mengeksploitasi aksi-aksi yang dilakukan untuk merealisasikan target-target sipil. Pelakunya bisa gerakan politik atau gerakan militer yang tidak memiliki hubungan dengan Amerika. Bisa juga gerakan yang mempunyai hubungan dengan Amerika (CIA). Banyak dokumen yang menerangkan bahwa aksi-aksi yang dicap sebagai aksi terorisme sebenarnya didalangi oleh CIA sendiri. Misal, pembajakan pesawat TWA di Beirut tahun 80-an. Amerika juga memanfaatkan peristiwa peledakan gedung Pusat Perdagangan Dunia (WTC) di New York dan Kantor Penyelidikan Federal di Oklahoma—sebelum diketahui pelakunya—dengan mengeluarkan Undang-undang Perlawanan Terhadap Terorisme yang disetujui oleh Senat Amerika tahun 1997. ISIS kemudian menjadi ikon tumbal aksi terorisme. Terdapat banyak keterangan yang menyatakan bahwa ISIS sendiri didesain oleh Amerika dan Inggris.
Publik harus menyadari, Amerikalah sesungguhnya terorisme sejati itu. Jutaan darah kaum Muslim di Irak, Afganistan, Suriah dan negeri Muslim lain tumpah oleh Amerika dan sekutunya. Tahun 2003, dengan alasan yang mengada-ada (tuduhan adanya senjata pemusnah massal di Irak), teroris Amerika menyerang Irak dan membunuh tidak kurang dari setengah juta manusia. Demikian pula perang perkepanjangan yang terjadi di Suriah. Amerika adalah negara yang paling bertanggung jawab. Menurut laporan SCPR yang dirilis pada tahun 2015, 470.000 warga Suriah telah tewas dan 1.900.000 lainnya mengalami cedera baik fatal maupun ringan dalam konflik.
“Global War on Terrorisme” adalah agenda Amerika untuk melawan Islam dan kaum muslim. Agenda ini jelas untuk kepentingan hegemoni Amerika atas negeri-negeri Islam. Tidak ada sedikitpun umat Islam yang diuntungkan atas gerakan WOT. Rangkaian kasus bom, korban fisik dan non-fisik (framing berita, semuanya menyudutkan Islam dan kaum Muslim) juga umat Islam.
Narasi dari pihak penguasa atas berbagai kejadian bom selalu mendeskriditkan Islam dan kaum Muslim. Label terorisme selalu diidentikkan dengan Islam dan kaum Muslim. Mengapa label teroris ini tidak dialamatkan kepada Leopard pelaku Bom Alam Sutera yang beragama Katolik? Atau Republik Maluku Selatan (RMS) yang merongrong kedaulatan Negara? Atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang telah menumpahkan darah aparat keamaan? Giliran santri bersarung, digerbek. Alat buktinya adalah al-Quran.
Karena itu wajib bagi kaum Muslim untuk menolak segala bentuk program “Global War on Terrorism” ini.
Sikap Politik Kaum Muslim
Syariah Islam adalah tempat kita mematok sikap atas berbagai kejadian dan opini yang dikembangkan media mainstream atas kasus teror bom. Seorang Muslim wajib mengutuk siapa pun pelaku pengeboman. Perilaku biadab tersebut sungguh sangat dikecam oleh syariah Islam. Islam mengharamkan seorang Muslim melakukan teror. Islam adalah agama yang menyebar dan menumbuhsuburkan rahmat untuk sekeliling (rahmatan lil alamin).
Terorisme bukan ajaran Islam. Terorisme tidak ada secuil pun kaitannya dengan Islam. Islam melarang seorang Muslim menumpahkan darah dan menghilangkan jiwa manusia tanpa haq. Allah SWT berfirman:
مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعٗا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعٗاۚ
Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya . Siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (QS al-Maidah [5]: 32).
Landasan teologi jihad yang sering dikait-kaitkan dengan kasus terorisme juga harus diklarifikasi dan diberi penjelasan. Dalam beberapa keterangan hadis, jihad adalah amal utama terkait dengan perang yang dilakukan di mana, kapan dan dalam kondisi seperti apa. Jihad sama sekali berbeda dengan aksi teror selama ini.
Kita menolak keras segala tindak teror. Namun, kita tetap harus kritis dan tidak serta-merta setuju dengan penanganan teroris yang didesain oleh Amerika dan sekutunya. Program “Global War on Terrorism” dengan rangkaian UU anti teroris tidak pernah adil diarahkan. Moncong sejata Densus 88 dan UU anti terorisme tidak pernah adil dan selalu dialamatkan pada Islam. Jadi tidak layak program ini didukung oleh umat Islam.
Umat Islam justru wajib curiga jika pemberantasan terorisme ini melibatkan atau bekerjasama dengan Amerika. Berdasarkan fakta yang dijelaskan di atas, UU antiteror justru dijadikan Amerika untuk memata-matai, menuduh dan mencap pihak-pihak lain sebagai kelompok atau organisasi teror. Kaum Muslim wajib membongkar hakikat apa yang dinamakan UU terorisme dan hakikat politik Amerika yang digunakan untuk menciptakan hegemoni atas dunia melalui undang-undang itu.
Umat Islam juga jangan mau diadu domba baik antar mereka ataupun dengan umat agama lain. Desain bom yang dilakukan di geraja dan pelakunya dialamatkan kepada umat Islam adalah framing adu domba. Padahal semua umat beragama meyakini bahwa tidak ada satu agama pun yang membenarkan aksi teror terhadap manusia. Apalagi dalam agama Islam.
Politik adu domba di dalam internal umat Islam itu saat umat dilabeli dengan istilah Islam garis keras, Islam aliran radikal, dan lain-lain. Itu semua adalah propaganda dari musuh-musuh Islam. Tujuannya untuk melemahkan umat Islam dari dalam. Islam adalah satu. Kitabnya satu, yakni al-Quran. Nabinya satu, Muhammad saw. Perbedaan dalam umat adalah rahmat. Bukan perpecahan. Jadi jangan mau diadu domba.
Kekuatan Politik dan Langkah Strategis
Arus “War on Terrorism” yang terus menggasak dan menyudutkan Islam dan kaum Muslim kian deras. Ini karena kaum Muslim tidak memiliki kekuatan politik. Kesadaran politik yang kita bangun harus bermuara pada kekuatan politik nyata. Jika tidak, umat Islam selalu dalam sasaran opini dan objek berbagai tindak kekejian ragam teror. Tanpa kekuatan politik itu, umat Islam akan selalu menjadi “santapan” dan diadu domba oleh negara-negara penjajah.
Opini politik, intrik dan rekayasa politik yang menyudutkan Islam dan kaum Muslim selama ini dilakukan oleh Negara Superpower Amerika dan sekutunya. Didukung pula oleh penguasa-penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Jelas ini tidak sebanding dengan Islam dan kaum Muslim yang tidak memiliki kekuatan politik. Umat Islam saat ini berada pada posisi yang tercerai-berai di lebih 50 negara. Mereka tidak bersatu. Mereka tidak kompak dalam menghadapi makar-makar yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam.
Jutaan umat Islam hanya bisa mengutuk tindakan negara teroris Amerika dan sekutunya yang melakukan pembantaian umat Islam di Irak, Palestina, Suriah, Kasymir, Rohingya, dan di belahan dunia lainnya. Angkatan bersenjata, kekayaan alam dan sumberdaya manusia tidak bisa efektif tersalurkan untuk menghadapi musuh-musuh Islam. Semua itu karena tidak ada kekuatan politik yang menyatukannya. Kekuatan politik itu adalah Khilafah Islamiyah ‘ala Minhâj Nubuwwah.
Langkah yang harus ditempuh umat Islam dalam perang melawan terorisme ala Amerika adalah dakwah. Memang, dalam kasus berbagai tindak teror, umat Islam secara fisik menjadi korban. Namun, tidak ada sedikitpun ruang yang menghalalkan umat melakukan tindakan kekerasan menyikapi “perang” ini. Yang harus dilakukan adalah dakwah penyadaran dan pembinaan yang bermuara pada penyatuan kaum Muslim.
Umat perlu disadarkan tentang pentingnya memiliki kesadaran politik (wa’yu siyasi) yang benar dan sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Politik sejatinya adalah “pengaturan tentang urusan umat/masyarakat”. Secara politis, kaum Muslim harus menyadari bahwa rangkaian kejadian yang ada di masyarakat (termasuk opini WOT) tidak lepas dari kebijakan politik yang dilakukan oleh penguasa. Kondisi ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial kemasyarakatan, corak budaya, peribadatan, sungguh tidak lepas dari aturan yang lahir dari kebijakan (politik). Tipikal pemimpin (politik) dan sistem yang mereka jalankan adalah kunci arah kehidupan dalam bermasyarakat.
Termasuk bagian dari kesadaran politik, umat harus mewaspadai paham-paham yang ditaburkan musuh seperti paham demokrasi, nasionalisme, libralisme, fundmentalisme, radikalisme, dan terorisme. Rangkaian paham ini jelas-jelas untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslim.
Langkah selanjutnya adalah melakukan pembinaan umat dengan pemikiran Islam yang bersumber dari akidah Islam. Umat Islam harus mendapatkan penjelasan tentang makna politik dalam Islam dan bagaimana peran politik umat. Umat juga mendapatkan penjelasan sejarah peradaban Islam, bagaimana sistem pendidikan dalam Islam, sistem ekonomi dalam pandangan Islam, dan lain sebagainya. Pembinaan tersebut harus dilakuan dengan intensif sehingga memberikan pola pemahaman yang berkarakter sesuai dengan petunjuk Islam. Dengan itu umat memiliki pemikiran dan perasaan yang sama, yang distandarisasi dengan akidah Islam.
Inilah dulu yang dilakukan oleh Rasulullah saw. atas para sahabatnya. Beliau menanamkan persepsi yang kuat atas visi misi hidup seorang Muslim. Dari mana ia berasal, ke mana ia setelah mati, dan apa yang dia harus lakukan selama hidup. Apa yang Rasul saw. lakukan adalah membentuk kepribadian Islam pada diri para sahabat. Dengan itu mereka memiliki pola pikir dan pola sikap yang khas, yang terstandarisasi dengan akidah dan syariah Islam.
Kesatuan pemikian dan perasaan inilah yang menjadi tumpu kekuatan persatuan umat Islam. Akan tiba saatnya modal kekuataan itu nyata saat Allah memberikan pertolongan-Nya. Itulah saat terwujud kesatuan umat dalam naungan Khilafah ‘ala Minhâj Nubuwwah. Allah SWT berfirman:
مَئِذٖ يَفۡرَحُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ * بِنَصۡرِ ٱللَّهِۚ يَنصُرُ مَن يَشَآءُۖ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلرَّحِيمُ
Pada hari (kemenangan) itu bergembiralah kaum Mukmin karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki dan Dia Maha Perkasa lagi Penyayang (QS ar-Rum [30]: 4-5). [Abu Halwa]
0 Comments