Hukum Asal Pria-Wanita Terpisah
Siapa saja yang mengkaji nas-nas syariah yang berhubungan dengan interaksi laki-laki dan wanita, serta realitas kehidupan laki-laki dan wanita di era Nabi saw. dan para sahabat, niscaya berkesimpulan bahwa hukum asal laki-laki dan wanita itu terpisah. Mereka tidak bertemu kecuali ada keperluan yang meniscayakan pertemuan dan interaksi antara keduanya, semacam jual-beli, ta‘lîm (belajar-mengajar), dan lain sebagainya. Bisa juga karena ada hajat yang ditetapkan oleh syariah Islam yang membolehkan pertemuan antara laki-laki dan wanita, seperti haji dan lain sebagainya.
Ketentuan penting di atas ditetapkan menjadi salah satu pasal di dalam konstitusi Negara Khilafah Islamiyah—yang dalam waktu dekat akan berdiri atas ijin dan pertolongan Allah—tepatnya Pasal 113 dalam Kitab Muqaddimah ad-Dustîr. Pasal itu berbunyi:
الأَصْلُ أَنْ يَنْفَصِلَ الرِجَالُ عَنِ النِّسَاءِ وَلا يَجْتَمِعُوْنَ إِلا لِحَاجَةٍ يُقِرُّهَا الشَّرْعُ, وَيُقِرُّ الإِجْتِمَاع مِنْ أَجْلِهَا كَالحَجِّ وَالْبَيْعِ
Hukum asalnya, laki-laki terpisah dari wanita, dan mereka tidak berinteraksi kecuali untuk keperluan yang diakui oleh syariah dan menjadi konsekuensi logis dari interaksi itu sendiri, seperti haji dan jual beli.
Pasal ini di-istinbâth dari banyak dalil. Pertama: Syariah Islam menjadikan kehidupan khusus dan umum bagi laki-laki Muslim. Syariah juga menjadikan bagi wanita kehidupan khusus. Di dalamnya seorang wanita boleh terlihat auratnya oleh mahram-mahram-nya. Syariah juga menjadikan kehidupan umum bagi seorang wanita. Di dalamnya seorang wanita wajib menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan dua telapak tangan. Yang dimaksud kehidupan khusus adalah rumah, hunian atau suatu tempat yang hukumnya disetarakan dengan rumah. Adapun kehidupan umum adalah kehidupan di luar rumah. Di dalamnya laki-laki dan perempuan bisa bertemu dan berinteraksi untuk memenuhi kemaslahatan mereka.
Terkait kehidupan khusus, al-Quran telah merinci hukum-hukum yang berhubungan dengan kehidupan wanita di dalam rumah. Allah SWT berfirman:
وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣١
Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak pada diri mereka. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka dan jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Brtobatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung (QS an-Nur [24]: 31).
Ayat ini menjelaskan kebolehan seorang wanita menampakkan bagian tubuh yang menjadi auratnya di hadapan mahram-mahram-nya di dalam rumah. Adapun ketika berada di luar rumah, ia wajib menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan dua telapak tangan. Ia juga diperintahkan mengenakan khimar (kerudung) yang menutup kepalanya hingga dadanya. Ia dilarang melakukan tabarruj (menampakkan kecantikannya). Di dalam kitab Zâd al-Masîr dinyatakan, “Tabarruj, menurut Abu ‘Ubaidah, adalah seorang wanita menampakkan kecantikannya. Menurut al-Zujaj, tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan semua hal yang bisa merangsang syahwat laki-laki.” (Zâd al-Masîr, 6/38-382).
Berdasarkan ayat ini dapat dipahami, bahwa hukum asal pria dan wanita itu terpisah. Mereka tidak bertemu atau berinteraksi kecuali ada alasan yang dibenarkan oleh syariah.
Kedua: Dalam pengaturan shaf shalat, syariah telah menjadikan shaf laki-laki terpisah dengan shaf wanita. Shaf wanita berada di belakang shaf laki-laki. Rasulullah saw. bersabda:
خَيْرٌ صُفُو ف الرِّجَا ل أَوَّلهُاَ, وَشَرُّهَا آخِرُهَا, وَخَيْرٌ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا, وَشَرُّهَا أَوَّلهُاَ
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah awalnya, sedangkan seburuk-buruknya adalah akhirnya. Sebaik-baik shaf wanita adalah akhirnya, sedangkan seburuk-buruknya adalah awalnya (HR Muslim).
Imam an-Nawawi menjelaskan makna hadis di atas, “Mengapa keutamaan itu pada akhir shaf-shaf wanita ketika hadir sholat berjamaah dengan laki-laki? Karena jauhnya wanita tersebut dari ikhtilâth dengan laki-laki, jauhnya pandangan mereka dari laki-laki, dan jauhnya kaitan hati mereka kepada laki-laki ketika mereka melihat gerakan laki-laki dan mendengar kalam kaum laki-laki, dan lain sebagainya. Adapun celaan shaf awal wanita disebabkan alasan sebaliknya.” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, 4/159-160).
Berdasarkan keterangan Imam an-Nawawi ini dapat disimpulkan bahwa pemisahan shaf wanita dengan shaf laki-laki dalam shalat berjamaah untuk mencegah percampuran keduanya yang bisa mengakibatkan hal-hal yang tercela. Begitu pula di luar shalat. Percampuran laki-laki dan wanita bisa menjadi wahana munculnya gerakan hati atau menyebabkan keduanya tidak mampu lagi memelihara pandangan yang telah diwajibkan oleh syariah. Atas dasar itu, pemisahan shaf laki-laki dan shaf wanita di dalam shalat juga menjadi dalil wajibnya memisahkan laki-laki dan wanita di kehidupan masyarakat.
Ketiga: Islam memerintahkan laki-laki menjaga pandangannya dari wanita dan sebaliknya. Perintah kepada laki-laki untuk menjaga pandangan disebutkan secara khusus. Allah SWT berfirman:
قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡۚ ذَٰلِكَ أَزۡكَىٰ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ ٣٠
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menjaga pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. Yang demikian adalah lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Mahatahu atas apa yang mereka perbuat (QS an-Nur [24]: 30).
Dalam Kitab Ahkâm al-Qur’ân disebutkan, “Maksud ayat ini adalah agar menahan (menjaga) pandangan dari aurat. Sebab tidak ada perbedaan di kalangan ulama mengenai kebolehan melihat selain aurat.” (Al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, 4/204. Bandingkan pula dengan Imam an-Nasafi, Tafsîr an-Nasafi, 2/143).
Perintah kepada wanita untuk memelihara pandangannya terhadap laki-laki disebutkan pula secara khusus. Allah SWT berfirman:
وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ ٣١
Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) tampak pada diri mereka (QS an-Nur [24]: 31).
Terkait makna ayat ini, Imam al-Baidhawi menyatakan, “Hendaknya para wanita tidak melihat bagian tubuh laki-laki yang tidak dihalalkan bagi mereka untuk dilihat.” (Al-Baidhawi, Tafsîr al-Baydhawi, 4/183. Lihat juga: ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, 18/116; Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, 3/284; Tafsir ats-Tsa’labi, 3/116; Fath al-Qadîr, 4/23).
Menjaga pandangan, pada ghalibnya, akan terwujud jika laki-laki dan wanita dipisahkan dan tidak bertemu kecuali ada hajat-hajat yang dibolehkan oleh syariah.
Keempat: Islam memerintahkan wanita Muslim mengenakan kerudung dan jilbab ketika berada di kehidupan umum. Perintah mengenakan kerudung (khimar) disebutkan dalam ayat berikut:
وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ ٣١
Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka (QS an-Nur [24]: 31).
Khimar (kerudung) adalah ghithâ’ ar-ra’si ‘ala shudûr (penutup kepala hingga dada), agar leher dan dada wanita tidak tampak (Ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsir, 2/336).
Adapun kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita Mukminat dijelaskan dalam ayat berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٥٩
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al-Ahzab [33]: 59).
Jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mulâ’ah (kain panjang yang tidak berjahit). Di dalam Kamus Al-Muhîth dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdâb (terowongan) atau sinmâr (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.
Adapun dalam Kamus Ash-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mulâ’ah (baju kurung/gamis).”
Kelima: Di dalam kehidupan khusus, syariah membolehkan wanita menampakkan sebagian auratnya di hadapan mahram-mahram-nya (QS 24: 31).
Alhasil, hukum asal laki-laki dan wanita di dalam masyarakat Islam adalah terpisah. Ketentuan di atas tidak boleh dipahami bahwa Islam melarang pertemuan dan interaksi laki-laki dan wanita secara total. Sebabnya, Islam tidak melarang laki-laki dan wanita melakukan aktivitas di luar rumah seperti bermuamalah, berdakwah, mengikuti taklim, dan lain sebagainya. Mereka juga tidak dilarang berinteraksi dalam perkara-perkara mubah yang meniscayakan pertemuan dan interaksi keduanya. Sebagai contoh, laki-laki dan wanita tidak dilarang melakukan transaksi jual-beli. Di dalam transaksi jual-beli, pasti terjadi pertemuan dan interaksi antara penjual dan pembeli. Jual-beli tidak mungkin terlaksana jika tidak ada pertemuan dan interaksi penjual dan pembeli. Dalam hal ini syariah tidak mensyaratkan penjual dan pembeli harus sama-sama wanita, atau sama-sama laki-laki. Oleh karena itu, kebolehan wanita dan laki-laki melakukan transaksi jual-beli juga menunjukkan kebolehan seorang laki-laki dan wanita bertemu dan berinteraksi dalam hajat yang meniscayakan adanya pertemuan dan interaksi keduanya. Hanya saja, dalam pertemuan dan interaksi tersebut, keduanya harus tetap menjaga pandangan, dan segera berpisah kembali ketika hajatnya telah usai. [Gus Syams]
0 Comments