Syubhat Makna Asal Printah Untuk Wajib
Salah satu kaidah yang banyak terdengar terkait perintah adalah kaidah al-ashlu fî al-amri li al-wujûb (makna asal perintah adalah untuk wajib). Ada juga yang berpendapat bahwa makna asal perintah adalah untuk wajib secara hakikat dan untuk selain wajib secara majaz.
Tidak dapat dikatakan demikian. Sebabnya, hakikat itu adalah lafal yang digunakan pada makna asalnya. Adapun majaz adalah lafal yang digunakan pada selain makna asalnya karena adanya qarînah yang menghalangi makna asal itu.
Redaksi perintah secara bahasa tidak ditetapkan untuk wajib. Redaksi perintah secara bahasa ditetapkan untuk ath-thalab (tuntutan). Qarînah-lah yang menentukan jenis tuntutan itu apakah untuk wajib, sunnah, mubah, al-ihânah, dan makna lainnya yang diinginkan. Makna wajib tidak dipahami dari redaksi perintah semata, tetapi dari redaksi perintah disertai qarînah yang menunjukkan tuntutan itu adalah tuntutan bersifat tegas (jâzim). Begitu pula makna sunnah, mubah, al-ihânah, at-ta’jîz, al-imtinân, dsb. Tidak dipahami dari redaksi perintah saja, melainkan dipahami dari redaksi perintah bersama dengan qarînah yang menunjukkan jenis tuntutan itu.
Juga tidak dapat dikatakan bahwa redaksi perintah secara syar’i adalah untuk wajib dan majaz untuk selain wajib. Hal itu karena syariah tidak menetapkan makna tertentu untuk redaksi perintah dengan berbagai bentuk redaksinya. Asy-Syâri’ menggunakan redaksi perintah dalam semua nas syariah dengan makna bahasanya. Asy-Syâri’ tidak mengalihkan makna redaksi perintah itu ke makna lainnya yang kemudian menjadi dominan. Asy-Syâri’ tidak menetapkan makna syar’i untuk redaksi perintah, tetapi tetap membiarkannya pada maknanya secara, bahasa yaitu ath-thalab.
Jadi, redaksi perintah di dalam nas-nas syariah maknanya adalah ath-thalab. Supaya dapat dipahami yang dimaksudkan dari tuntutan (ath-thalab) itu maka harus ada qarînah yang menjelaskan jenis tuntutan yang maksudkan. Hampir tidak ada perintah atau redaksi perintah di dalam nas-nas syariah yang tidak disertai qarînah yang menjelaskan jenis tuntutan yang diinginkan.
Adapun syubhat yang membuat sebagian mengatakan bahwa perintah itu untuk wajib adalah karena perintah dari sisi perintah itu sendiri tidak dibedakan dengan redaksi perintah. Syubhat kedua, karena tuntutan untuk terikat dengan syariah tidak dibedakan dengan redaksi perintah.
Ada setidaknya sepuluh dalil yang dikemukakan untuk mendukung ucapan bahwa asal perintah adalah untuk wajib. Di antaranya adalah dalil-dalil yang di dalamnya ada celaan (dzamm) atas menyalahi atau meninggalkan perintah. Di antaranya celaan kepada Iblis yang menyalahi perintah bersujud kepada Adam (QS al-A’raf [7]: 12); celaan terhadap mereka yang menyalahi perintah untuk rukuk (QS al-Mursalat [77]: 48); peringatan bahwa orang yang menyalahi perintah Rasul saw. akan tertimpa fitnah dan azab (Qs an-Nur [24]: 63); orang yang menyalahi perintah disebut bermaksiat (QS Thaha [20]: 93; at-Tahrim [66]: 6; al-Kahfi [18]: 69).
Adanya celaan atau ancaman bagi menyalahi perintah itu menunjukkan bahwa perintah itu wajib. Sebabnya, jika tidak wajib, tentu tidak ada masalah menyalahi perintah itu.
Selain itu, Allah menyatakan bahwa tidak ada pilihan dalam perkara yang diperintahkan (QS al-Ahzab [33]: 36). Itu artinya, perintah itu adalah wajib. Juga ada ancaman terhadap orang yang menyalahi ketaatan (QS an-Nur [24]: 54). Ancaman terhadap yang menyalahi itu menjadi dalil atas wajibnya perintah.
Juga digunakan dalil hadis tentang siwak: “Law lâ an asyuqqa ‘alâ ummatî la amartuhum bi as-siwâk ‘inda kulli shalât[in] (Andai tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali shalat).” (HR Muslim).
Syubhat terjadi dalam memahami dalil-dalil itu sehingga disimpulkan asal perintah adalah untuk wajib. Syubhat itu adalah perintah dari sisi sebagai perintah tidak dibedakan dengan redaksi perintah. Dalil-dalil yang digunakan itu sejatinya berkaitan dengan ketaatan dan kemaksiatan terhadap perintah, bukan berkaitan dengan redaksi perintah. Perintah Allah adalah wajib ditaati dan haram bermaksiat terhadap perintah-Nya. Ketaatan terhadap perintah itu adalah dengan menerimanya dan tidak membangkang. Jika Allah memerintahkan suatu perkara maka haram membangkang terhadapnya dan wajib untuk menaatinya.
Hanya saja, bukan berarti perintah itu pasti wajib. Menaati perintah itu harus sesuai dengan yang diperintahkan. Jika Allah memerintahkan suatu perintah yang tegas (jâzim) maka wajib ditaati sesuai yang diperintahkan itu dan perintah itu hukumnya wajib dilakukan. Jika perintah yang tegas itu tidak dilakukan maka maksiat. Ini adalah fardhu atau wajib.
Jika Allah memerintahkan suatu perintah yang tidak bersifat tegas (jâzim) maka wajib ditaati sebagaimana yang diperintahkan dalam bentuk perintah tidak tegas (ghayru jâzim). Jika dilakukan maka mendapat pahala. Jika tidak dilakukan maka tidak ada apa-apa. Tidak berdosa dan tidak bermaksiyat. Perintah yang demikian adalah perintah mandûb atau sunnah. Tidak melakukan apa yang diperintahkan itu di sini bukanlah kemaksiatan kepada Allah dan tidak menyalahi perintah-Nya, sebab perintah-Nya tidak bersifat tegas. Jadi menaati perintah itu adalah wajib dan tidak membangkang, bukan harus melakukannya. Jika dilakukan mendapat pahala. Jika tidak dilakukan maka tidak apa-apa dan tidak berdosa. Tidak melakukan perintah yang tidak tegas itu bukan berarti menyalahi perintah Allah SWT itu dan bukan maksiat, seballiknya tetap berupa ketaatan. Allah SWT berfirman:
۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ ٩٠
Sungguh Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat baik (QS an-Nahl [16]: 90).
Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan berlaku adil dan berbuat baik dengan satu perintah. Hanya saja, perintah berlaku adil adalah untuk wajib, sedangkan perintah berbuat baik (ihsân) adalah untuk nadab (sunnah). Menaati kedua perintah itu adalah wajib, yaitu patuh pada apa yang diperintahkan, menerima sepenuhnya dan tidak membangkang. Adapun melakukan keduanya adalah hal yang berbeda. Melaksanakan berlaku adil adalah wajib. Tidak berlaku adil adalah maksiyat. Adapun berbuat ihsân adalah sunnah. Tidak berbuat ihsân bukanlah maksiat. Tidak apa-apa. Tidak dianggap telah menyalahi perintah dan tidak meninggalkan perintah. Sebabnya, perintah berbuat ihsân bukan bersifat tegas (jâzim).
Demikian juga jika Asy-Syâri’ memerintahkan suatu perintah yang bersifat pilihan antara melakukan atau tidak melakukan, maka seorang Muslim wajib menaatinya sebagaimana yang diperintahkan itu, yakni dalam bentuk pilihan antara melakukan dan tidak melakukannya, bukan pilihan antara menaati atau tidak menaati. Jika dia melakukan atau tidak melakukannya maka dalam dua kondisi itu dia taat pada perintah tersebut. Jadi menaati perintah itu di sini adalah dengan menerimanya dan tidak membangkang. Jika dia tidak melakukannya maka tidak dianggap menyalahi perintah. Sebabnya, memang perintahnya datang dalam bentuk pilihan antara melakukan atau tidak melakukannya.
Atas dasar semua itu, menaati perintah dan bermaksiat terhadapnya itu tidak menunjukkan pelaksanaan apa yang diperintahkan atau tidaknya. Menaati perintah itu tidak lain menunjukkan penerimaan sepenuhnya atas perintah itu, menaatinya sebagaimana yang diperintahkan dan tidak membangkang, baik perintah itu bersifat tegas (jâzim), anjuran atau pilihan. Ini merupakan pembahasan tentang ketaatan dan ketidaktaatan kepada perintah, yakni pembahasan tentang perintah itu sendiri sebagai sebuah perintah, bukan pembahasan tentang redaksi perintah. Itu tidak menunjukkan dalâlah (makna) tertentu untuk redaksi perintah, melainkan pembahasannya tentang taat dan maksiat. Adapun redaksi perintah maka pembahasannya merujuk pada madlûl (makna) bahasa Arabnya.
Adapun syubhat kedua, yaitu tuntutan untuk terikat dengan syariah tidak dibedakan dengan redaksi perintah. Firman Allah SWT dalam QS an-Nisa’ [4]: 65 tidak menjadi dalil dan tidak menunjukkan bahwa asal perintah itu untuk wajib. Pemaknaan lafal qadhayta dalam ayat tersebut dengan amarta adalah keliru. Lafal qadhayta maknanya adalah hakamta (yang engkau putuskan), yakni yang engkau putuskan baik berupa wajib, mandûb, mubah, pengharaman, makruh, sah, batil, dan sebagainya.
Betul bahwa menaati perintah adalah wajib. Namun, itu tidak lantas menunjukkan bahwa perintah, yakni apa yang diperintahkan, adalah wajib dilakukan. Menaati perintah Asy-Syâri’ itu adalah dengan menerima sepenuhnya, menunaikannya sebagaimana yang diperintahkan, tidak membangkang dan tidak menyalahinya. Jika perintahnya secara tegas maka wajib dilakukan. Jika tidak dilakukan maka merupakan kemaksiatan dan menyalahi perintah. Jika perintahnya hanya anjuran, yakni sunnah atau mandub, maka jika dilakukan mendapat pahala dan jika tidak dilakukan maka tidak apa-apa; bukan maksiat dan tidak menyalahi perintah. Jika perintahnya dalam bentuk takhyîr (pilihan) antara melakukan atau tidak, maka keduanya yakni melakukan atau tidak melakukan, adalah sama-sama menaati perintah.
Dengan demikian pendapat bahwa asal perintah adalah untuk wajib adalah keliru. Yang benar, makna asal perintah adalah tuntutan (ath-thalab). Qarînah-lah yang menentukan jenis tuntutan itu, yakni menentukan bahwa perintah itu wajib, mandûb, mubah dan sebagainya. Perintah itu wajib ditaati, yaitu dengan menerimanya sepenuhnya, dan tidak membangkang, serta menunaikannya sebagaimana yang diperintahkan dengan landasan itu merupakan perintah atau ketentuan hukum dari Asy-Syâri’. Dalam semua itu akan ada pahala ketaatan kepada Allah SWT.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]
0 Comments