Wahai Orang Yang Berselimut (1)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمُزَّمِّلُ ١ قُمِ ٱلَّيۡلَ إِلَّا قَلِيلٗا ٢ نِّصۡفَهُۥٓ أَوِ ٱنقُصۡ مِنۡهُ قَلِيلًا ٣ أَوۡ زِدۡ عَلَيۡهِ وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا ٤
Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk salat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil, (yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu, atau lebih dari (seperdua) itu; dan bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan (Tafsir QS al-Muzzammil [73] 1-4)
Surat ini dinamakan al-Muzzammil yang diambil dari ayat pertama. Dinamakan demikian, yang berarti orang yang berselimut, karena surat tersebut bercerita tentang Nabi Muhammad saw. pada awal turun wahyu. Juga karena surah ini dimulai dengan perintah Allah SWT kepada Nabi saw untuk meninggalkan selimutnya, yakni yang digunakan untuk menutupi pada malam hari, dan bangkit untuk menyampaikan risalah Tuhannya.1
Surat ini dimulai dengan perintah kepada penutup para rasul agar melakukan tablîgh (menyampaikan risalah) dan indzaar (memberikan peringatan), serta tidak bersantai-santai pada malam hari.2
Dalam surat ini dijelaskan tentang petunjuk-petunjuk Ilahi yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. dalam perjalanan kehidupan di tengah penyampaian dakwah, ancaman terhadap kaum musyrik yang berpaling dan tidak mau menerima dakwah itu. Surat ini dimulai dengan perintah kepada Nabi Muhammad saw. agar shalat pada malam hari dan membaca al-Quran dengan perlahan-lahan untuk menguatkan jiwanya.
Terkait jumlah ayat, terdapat perbedaan di kalangan ulama. Ada yang mengatakan berjumlah sembilan belas ayat.3 Ada juga yang mengatakan dua puluh ayat.4
Surah ini termasuk Makkiyyah.5 Menurut al-Hasan, Ikrimah, ‘Atha` dan Jabir, semuanya turun di Makkah. Menurut Ibnu ‘Abbas ra dan Qatadah kecuali dua ayat, yaitu firman Allah SWT: وَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ (dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan, QS al-Muzzammil [73]: 10) dan ayat berikutnya. Hal ini diriwayatkan oleh al-Mawardi.
Menurut ats-Tsa‘labi, kecuali firman Allah: إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُوْمُ (Sungguh Tuhanmu mengetahui bahwa kamu berdiri (shalat), QS al-Muzzammil [73]: 20) hingga akhir surah, ini diturunkan di Madinah.6
An-Nahhas meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra. yang berkata: Surah al-Muzzammil diturunkan di Makkah kecuali dua ayat: إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُوْمُ (Sungguh Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat), QS al-Muzzammil [73]: 20). 7
Pendapat ini dapat diterima karena di dalamnya berbicara tentang adanya kaum Muslim yang berperang. Padahal peperangan baru terjadi pada tahun kedua dari hijrah Nabi saw. ke Madinah.
Sabab Nuzul
Jabir ra. berkata:
Kaum Quraisy pernah berkumpul di Dar al-Nadwah. Lalu mereka menyebutkan Nabi saw. Sebagian mereka berkata, “Penyihir.” Mereka berkata, “Ia bukan seorang penyihir.” Sebagian mereka, “Dukun.” Mereka berkata, “Dia bukan seorang dukun.” Sebagian mereka berkata, “Orang gila.” Mereka berkata, “Da bukan orang gila.” Mereka berkata, “Dia memisahkan seorang kekasih dengan kekasihnya.” Kaum musyrik menyebarkan hal itu. Hal itu pun sampai kepada Nabi saw. Lalu beliau berselimut dengan pakaiannya dan berkemul dengannya. Kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya: Yâ ayyuhâ al-Muzzammil, Yâ ayyuhâ al-Muddatstsir (HR ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Awsath).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمُزَّمِّلُ ١
Wahai orang yang berselimut (Muhammad)!
Kata يَا pada awal ayat ini merupakan harf nidâ‘, yakni huruf yang digunakan untuk memanggil dan mengharapkan yang dipanggil mau menoleh atau memperhatikan.
Kata الْمُزَّمِّل (orang yang berselimut) berkedudukan sebagai badal atau na’t (sifat) dari kata munâdâ yang disebutkan sebelumnya: أَيُّ.8
Yang dimaksud dengan al-muzzammil di sini adalah Rasulullah saw.9 Tak ada perbedaan pendapat tentang hal ini.10 Dengan demikian Khithâb (seruan) dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi saw.
Secara bahasa, kata الْمُزَّمِّل berasal dari kata اَلْمُتَزِمِّلُ, kemudian huruf al-tâ‘ dimasukkan ke dalam huruf al-zây.11 Hal itu lebih cocok daripada mengganti al-zay dengan al-tâ‘.12 Sebagaimana juga kata الْمُدَّثِّرُ yang juga bentuk aslinya adalah الْمُتَدَثِّرِ (yang berselimut).13 Oleh karena Ubay bin Ka’ab membacanya: اَلْمُتزمِّلُ dalam bentuk aslinya, berbeda dengan jumhur yang membaca dengan الْمُزَّمِّلُ.14
Kata tersebut merupakan ism al-fâ’il dari kata التَّزَمُّلُ yang berarti: لَفُّفُ فِي الثَّوْبِ (berselimut dalam pakaian).15 Dalam kalimat: تزمَّل بثوبه, artinya: التف به وتغطَّى (berselimut dan berselubung dengan pakaiannya). Dikatakan: زمَّل غيره, ketika: غطاه (dia menutupinya).16 Dengan demikian الْمُزَّمِّل bermakna اَلْمُتَلَفِّفُ بِثِيَابِهِ (yang berselimut dengan pakaiannya).17
Patut dicatat, al-muzzammil bukan merupakan salah satu nama Nabi saw.18 Di antara yang menegaskan hal ini adalah as-Suhaili. Sebutan tersebut diambil dari keadaan beliau yang sedang berselimut ketika sedang diseru.19
Menurut para mufassir, beliau dipanggil demikian karena mengenakan selimut. Qatadah berkata, “Orang yang berselimut dengan pakaiannya.”20 Aisyah dan Ibrahim al-Nakha’i juga mengatakan bahwa ayat ini diturunkan saat Nabi saw. sedang menyelimuti dirinya dengan pakaiannya.21
Ada juga yang memaknai kata ini secara majaz. Menurut Ikrimah, makna ayat ini adalah, “Wahai orang yang berselimut dengan kenabian dan menyampaikan risalah.”22
Ibnu Abbas ra. dalam sebuah riwayat juga menafsirkan, “Wahai orang yang berselimut dengan al-Quran.” 23
Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, pendapat Qatadah lebih tepat. Sebab, panggilan tersebut kemudian diiringi dengan firman-Nya: قُمِ اللَّيْلِ (Bangunlah [untuk shalat] pada malam hari). Itu merupakan penjelasan tentang keadaan beliau yang sedang berselimut pakaian untuk shalat. Makna ini juga lebih jelas.24
Panggilan kepada Nabi saw. dengan sifat tersebut, yakni al-muzzammil (orang yang berselimut) berguna sebagai al-mulâhazhah; untuk menunjukkan sikap ramah dan lembut. Ketika orang Arab ingin menunjukkan kelembutan kepada orang yang diajak bicara dan tidak mencela dia, mereka menyebut dia dengan ism musytaq (kata benda bentukan) dari keadaannnya pada saat itu. Itu untuk menunjukkan bahwa itu bukan teguran dan celaan. Demikian pula firman Allah SWT dalam ayat ini: يَاَيُّهَا الْمُزَّمِّل (Wahai orang yang berselimut). Ini juga menunjukkan keramahan dan kelembutan agar beliau tidak merasa ditegur.25
Menurut Ibnu ‘Asyur, pada asalnya an-nidâ` (panggilan) dengan menyebutkan nama al-munâdâ (orang yang dipanggil) jika namanya diketahui oleh yang berbicara. Tidak dipalingkan dari namanya ke sifat atau idhâfah kecuali ada tujuan tertentu, baik ta’zhîm wa takrîm (untuk mengagungkan dan menghormati), seperti firman Allah SWT: (Wahai Nabi). Untuk menunjukkan kelembutan dan kedekatan, seperti ungkapan: يَا بُنَيَّ وَيَا أَبَتِ (Wahai anakku, wahai bapakku); atau atau untuk tahakkum (mengejek, mengolok-olok), seperti dalam firman Allah SWT:
وَقَالُواْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِي نُزِّلَ عَلَيۡهِ ٱلذِّكۡرُ إِنَّكَ لَمَجۡنُونٞ ٦
Mereka berkata, “Wahai orang yang kepada dia diturunkan al-Quran, sungguh engkau (Muhammad) benar-benar orang gila.” (QS al-Hijr [15]: 6).
Ketika orang dipanggil dengan menyebut penampilannya baik pakaiannya, cara duduknya, cara berbaringnya atau semacamnya, maka biasanya itu dimaksudkan untuk menunjukkan kelembutan dan kecintaan kepada dia dan pada penampilannya. Inilah yang dilakukan Rasulullah saw. ketika mendapati Ali bin Abi sedang berbaring di masjid dan di pelipisnya menempel debu. Beliau memanggil: قُمْ أَبَا تُرَابٍ (berdirilah, wahai Abu Turâb). Hudzaifah bin al-Yamani beliau panggil dengan: Abû Nawmân. Abdurrahman bin Shahr ad-Dausi beliau panggil dengan: Abu Hurairah. Demikian pula panggilan Allah SWT kepada Rasul-Nya dalam ayat dengan memanggil beliau: al-muzzammil.26
Panggilan tersebut juga memberikan faedah untuk mengingatkan kepada semua orang yang tidur berselimut pada malam hari agar mereka bangun untuk mengerjakan shalat malam dan berzikir kepada Allah. Sebabnya, al-ism al-musytaq (kata bentukan) yang berasal dari al-fi’l (kata kerja) mencakup di dalamnya orang yang diseru dan semua orang yang memiliki sifat tersebut, yakni yang sedang berselimut.27
Dengan demikian panggilan tersebut juga tertuju kepada setiap orang yang tidur malam agar memperhatikan pesan ayat ini dengan menggunakan waktu malam untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Tentang penyebab Nabi saw. berselimut, ada beberapa penjelasan. Menurut Ibnu ‘Abbas, ketika Jibril pertama kali mendatangi beliau, beliau merasa takut dan menyangka didatangi jin. Beliau pun pulang dengan gemetar dan berkata: زَمِّلُوْنِي زَمِّلُوْنِي (Selimutilah aku, selimutilah aku!(. Demikianlah keadaannya ketika Jibril mendatangi dan memanggil beliau dan berkata: يَاَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (Wahai orang yang berselimut). Menurut al-Kalbi dan al-Farra`, Nabi saw. sedang berselimut untuk bersiap mengerjakan shalat.28
Kemudian Allah SWT berfirman:
قُمِ ٱلَّيۡلَ إِلَّا قَلِيلٗا ٢
Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil.
Kata قُمْ merupakan fi’l al-amr dari kata قامَ - يَقُوْمُ - قَوْمًا وَقِيَامًا وَقَامَةً (berdiri, bangun, tegak). Kata الْقِيَام (berdiri) yang dimaksud di sini adalah shalat. Ini berbeda dengan perintah al-qiyâm yang terdapat pada firman Allah SWT:
قُمۡ فَأَنذِرۡ ٢
Bangunlah, lalu berilah peringatan! (QS al-Muddatstsir [74]: 2), yang bermakna al-syurû‘ (bersegera).29
Dengan demikian makna قُمْ (berdirilah) di sini adalah صَلِّ (shalatlah). Disebutkan demikian karena kata qiyâm secara kebiasaan banyak digunakan untuk menyebut shalat.30
Kata اللَّيْل merupakan kebalikan dari النَّهَار (siang hari), batasnya setelah terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar.31 Dalam ayat ini, kata tersebut berkedudukan sebagai azh-zharf (keterangan waktu).
Jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka ayat ini berarti, “Janganlah kalian berselimut dan berbaring. Tinggalkanlah keadaan itu karena ada yang lebuh utama dari itu. Berdirilah untuk shalat di malam hari.”32
Yang dimaksud dengan qiyâm al-layl (shalat malam) menurut al-Quran dan as-Sunnah adalah shalat pada malam hari selain maghrib dan isya’.33 Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ الله الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Seutama-utama puasa setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) bulan Allah, Muharram, dan seutama-utama shalat setelah (shalat) fardhu adalah shalat Lail (HR Muslim).
Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa shalat malam bukan shalat fardhu. Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa qiyâm al-layl menunjuk dua shalat, yaitu shalat witir dan shalat tahajud.
Menurut Ibnu Katsir dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan Rasul-Nya untuk meninggalkan selimut yang menutupi dirinya di malam hari, lalu bangun untuk menunaikan ibadah kepada Tuhannya dengan melakukan qiyamul layl.34
Tentang ayat ini, Muhammad Ali ash-Shabuni berkata, “Tinggalkan selimut dan bangkitlah melakukan shalat malam serta bangun dalam beberapa saat untuk beribadah kepada Tuhanmu agar siap menanggung perkara yang agung, penting lagi berat. Itulah aktivitas menyampaikan dakwah Tuhanmu kepada manusia dan memberikan kabar gembira kepada mereka tentang agama yang baru, kemudian menjelaskan poros yang semestinya dikitari dalam beribadah kepada Allah SWT.”35
Kemudian disebutkan إِلاَّ قَلِيلاً (kecuali sebagian kecil). Ini merupakan istitsnâ‘ (pengecualian) dari kata al-layl (malam hari) yang disebutkan sebelumnya. Artinya, “Shalatlah di seluruh malam kecuali hanya sebentar saja.” Sebab, berdiri mengerjakan shalat terus-menerus merupakan hal yang tidak mungkin sehingga dikecualikan sedikit waktu untuk mengistirahatkan badan.36
Secara bahasa, kata al-qalîl berarti kurang dari separuh atau setengah. Menurut Wahab bin Munabbih, antara di antara sepersepuluh dan seperenam. Menurut al-Kalbi dan Muqatil mengatakannya sepertiga.37
WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Bersambung]
[Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 187
2 Lihat al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 187
3 al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 377
4 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 681
5 al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 377
6 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 31; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 377. Lihat juga al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 112
7 al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 377
8 Lihat Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10 (Damaskus: Dar al-Yamamah, 1995), 258
9 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 676; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 31; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 355
10 Lihat al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 681
11 al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 377; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 112
12 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 189; Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29 (Tunisia: al-Dar al-Tunisyiyyah, 1984), 256
13 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 681
14 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 311; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 31-32
15 al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 377
16 al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 440
17 Jalaluddin al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlayn (Kairo: Dar al-hadits, tt), 773; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhi, vol. 10 (Beirut: Dar al-Yamamah, 1995), 273; al-Wahidi, al-Wajîz fî Tafsîr al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1995), 114; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 342
18 Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyahm 2001), 386 ; Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 257
19 Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5, 386; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 33
20 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 676; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar Thayyibah, 1999), 249
21 Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5, 386; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 249
22 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 32
23 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 32
24 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 676
25 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 33; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 113; al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 440; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 343
26 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 255-256
27 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 33; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 343; al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 440-441
28 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 681
29 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 257
30 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 34
31 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 34; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 344. Kalau menurut Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 3 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 2055, sejak terbenamnya matahari hingga terbitnya matahari kembali
32 al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 343
33 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 258
34 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar Thayyibah, 1999), 250
35 al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 441
36 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 35; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 344
37 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 35
0 Comments