Betulkah Menegakkan Khilafah Fardhu Kifayah?

Soal:

Jika mendirikan Khilafah hukumnya fardhu kifayah, apakah adanya kelompok-kelompok yang sudah ada, yang telah berjuang mendirikan Khilafah tidak cukup? Dengan kata lain, apakah fardhu kifayah ini telah gugur dari kaum Muslim yang lain?

 

Jawab:

Hukum mengangkat Khalifah (kepala negara), termasuk mendirikan Khilafah, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum Muslim, yaitu fardhu. Hanya saja, apakah fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, memang ada perbedaan pendapat. Al-’Allamah al-Mardawi, dari mazhab Hanbali, dalam Bab Qitâl Ahl al-Baghy, menyatakan, “Mengangkat Imam (Khalifah) hukumnya fardhu kifayah.”

Dalam kitab Al-Furû’, dia menegaskan, “Hukumnya fardhu kifayah menurut pendapat yang paling tepat.”

Pada bagian yang lain, dia menegaskan kembali bahwa mengangkat Imam (Khalifah) hukumnya fardhu kifayah menurut mazhab yang sahih.1

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi, Zakaria al-Anshari, al-Khathib as-Syarbini, az-Zujaji, al-Bujairimi dan al-Jamal bin Sulaiman. Semuanya dari mazhab Syafii. Mereka menyatakan bahwa hukum mendirikan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah.2

Dalam kitab Rawdhah ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftin, Imam an-Nawawi menyatakan:

اَلْفَصْلُ الثَّانِيْ في وُجُوْبِ الإِمَامَةِ وَبَيَانِ طُرُقِهَا : لاَبُدَّ لِلأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ، وَيَسْتَوْفِيَ الْحُقُوْقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا. قُلْتُ : تَوَلَّي الإمَامَة فَرْضُ كِفَايَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِدًا، تَعَيَّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَه طَلَبُهَا إِنْ لمَ يَبْتَدِئُوْهُ .

Pasal Kedua tentang Kewajiban Adanya Imamah (Khilafah) dan Penjelasan tentang Tatacaranya: Umat harus mempunyai seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, membela as-Sunnah dan membela hak-hak orang yang dizalimi, menunaikan hak-hak dan menempatkannya pada tempatnya. Aku (an-Nawawi) berkata: Mendirikan Imamah (Khilafah) hukumnya fardhu kifayah. Jika tidak ada orang yang layak, kecuali hanya satu, maka kewajiban tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain bagi dirinya. Dia pun harus dicari, jika mereka tidak mulai (dengan) mengangkatnya.” 3

 

Karena itu pendapat yang paling kuat (rajih) terkait pendirian Khilafah, hukumnya adalah fardhu kifayah.

Pertanyaannya kemudian, apakah tidak cukup dengan kelompok-kelompok yang sudah mengupayakannya? Ataukah kaum Muslim masih berdosa jika tidak ikut berjuang menegakkan Khilafah saat kelompok yang mengerjakannya hingga sekarang belum berhasil? Dalam hal ini, Imam an-Nawawi memberikan jawaban:

إِذَا فَعَلَهُ مَنْ تَحْصُلُ بِهِمُ الْكِفَايةَ سَقَطَ الْحَرَجُ عَنِ الْبَاقِيْنَ، وَإِن تَرَكُوْه كُلُّهُمْ أَثِمُوْا كُلُّهُمْ

Jika fardhu kifayah (jihad) itu dikerjakan oleh orang yang mempunyai kapasitas untuk menunaikannya, maka beban (kewajiban) tersebut telah gugur dari yang lain. Namun, jika mereka semuanya meninggalkannya, maka semuanya berdosa. 4

 

Artinya, yang menjadi ukuran bukan yang penting kewajiban tersebut telah dikerjakan, tetapi dikerjakan oleh orang atau sekelompok orang yang mempunyai kapasitas untuk menunaikannya hingga berhasil, baru kewajiban tersebut dinyatakan gugur dari yang lain. Dalam penjelasan lain, tentang amar makruf nahi mungkar yang hukumnya juga fardhu kifayah, Imam an-Nawawi menyatakan:

ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ يَتَعَيَّنَ كَمَا إِذَا كَانَ فِيْ مَوْضِعٍ لاَيَعْلَمُ بِهِ إِلاَّ هُوَ، أَوْ لاَ يَتَمَكَّنَ مِنْ إِزَالَتِهِ إِلاَّ هُوَ

Kemudian, kadang-kadang fardhu kifayah itu bisa berubah menjadi fardhu ‘ain, seperti ketika fardhu kifayah (amar makruf/nahi mungkar) ini dalam konteks yang hanya diketahui oleh orang itu, atau tidak mungkin bisa dihilangkan, kecuali oleh dia. 5

 

Dengan kata lain, fardhu kifayah itu bisa tetap menjadi fardhu kifayah, dan bisa juga berubah menjadi fardhu ‘ain. Menjadi fardhu ‘ain ketika kewajiban tersebut hanya bisa dikerjakan oleh orang, atau sekelompok orang tersebut. Atau, kemungkinan kedua, tidak ada orang lain, yang ada hanya orang atau sekelompok orang itu. Dalam kondisi seperti ini, hukumnya fardhu ‘ain. Sebabnya, kalau mereka tinggalkan, atau tidak mereka kerjakan, fardhu kifayah tersebut tidak akan terlaksana. Inilah yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi di atas.

Di sisi lain, sifat kewajiban, baik fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah, dinyatakan gugur, atau selesai, jika sudah dilaksanakan dan kewajiban tersebut terlaksana. Jika sudah dilaksanakan, tetapi belum selesai, maka kewajiban tersebut belum gugur. Jadi, dinyatakan gugur saat benar-benar telah berhasil diwujudkan. Bila tidak, maka fardhu tersebut kembali kepada seluruh kaum Muslim. Semuanya dianggap berdosa saat fardhu tersebut belum terwujud. Pada saat itu, masing-masing orang berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban tersebut hingga benar-benar terwujud. Dalam konteks inilah, fardhu kifayah bisa berubah menjadi fardhu ‘ain. Ini dipertegas oleh penjelasan Imam al-Baidhawi:

خَاطَبَ الْجَمِيْعَ وَطَلَبَ فِعْلَ بَعْضِهِمْ لِيَدُلَّ عَلَى أَنَّه وَاجِبٌ عَلَى الْكُلِّ حَتىَّ لَوْ تَرَكُوْهُ رَأْساً أَثِمُوْا جَمِيْعاً وَلَكِنْ يَسْقُطُ بِفِعْلِ بَعْضِهِمْ، وَهَكَذَا كُلُّ مَا هُوَ فَرْضُ كِفَايَةٍ.

(Fardhu Kifayah) menyerukan kepada seluruh kaum Muslim, dan meminta dikerjakan oleh sebagian di antara mereka untuk membuktikan, bahwa fardhu tersebut merupakan kewajiban bagi semuanya. Karena itu, ketika mereka langsung meninggalkannya, maka mereka semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut gugur dengan dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. Begitulah ketentuan seluruh fardhu kifayah. 6

 

Tepat sekali apa yang dijelaskan oleh al-Imam al-’Allamah al-Hafidz as-Syathibi, dalam kitabnya, Al-Muwâfaqât:

إِنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْجَمِيْعِ.. لِأَنَّ الْقِيَامَ بِذَلِكَ الْفَرْضِقِيَامٌ بِمَصْلَحَةٍ عَامَّةٍ، فَهُمْ مَطْلُوْبُوْنَ بِسَدِّهَا عَلَى الْجُمْلَةِ، فَبَعْضُهُمْ هُوَ قاَدِرٌ عَلَيْهَا مُبَاشَرَةً، وَذَلِكَ مَنْ كَانَ أَهْلاً لَهَا، وَالْبَاقُوْنَ وَإِنْ لَمْ يَقْدِرُوْا عَلَيْهَا قَادِرُوْنَ عَلَى إِقَامَةِ الْقَادِرِيْنَ، فَمَنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى الْوِلاَيَةِ فَهُوَ مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَتِهَا، وَمَنْ لاَ يَقْدِرُ عَلَيْهَا مَطْلُوْبٌ بِأَمْرٍ آخَرٍ وَهُوَ إِقَامَةٌ ذَلِكَ الْقَادِرِ وَإِجْبَارُهُ عَلَى الْقِيَامِ بِهَا، فَالْقَادِرُ إِذاً مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَةِ الْفَرْضِ، وَغَيْرُ الْقَادِرِ مَطْلُوْبٌ بِتَقْدِيْمِ ذَلِكَ الْقَادِرِ، إِذْ لاَ يَتَوَصَّلَ إِلَى قِيَامِ الْقَادِرِ إِلاَّ بِالْإِقَامَةِ؛ مِنْ بَابِ مَا لا يَتِمُ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ.

Fardhu kifayah merupakan kewajiban bagi semua orang…Sebabnya, melaksanakan fardhu ini merupakan pelaksanaan kemaslahatan publik. Mereka dituntut untuk menunaikannya secara akumulatif. Sebagian ada yang mampu secara langsung, seperti orang yang mempunyai kelayakan untuk menunaikannya. Sebagian yang lain, sekalipun tidak mampu, tetap mampu mengusahakan orang yang mampu. Orang yang bisa mengangkat pemimpin, ia wajib mengangkatnya. Bagi yang tidak mampu, ia mampu melakukan yang lain, yaitu mengusahakan orang yang mampu, dan memaksa dia untuk menegakkannya. Jadi, yang mampu wajib menunaikan kewajiban ini, sedangkan yang tidak mampu wajib mengusahakan orang yang mampu. Sebab, orang yang mampu tidak akan melakukannya, kecuali dengan diupayakan (oleh yang tidak mampu). Ini merupakan bab suatu kewajiban tidak sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib. 7

 

Jika penjelasan Imam as-Syathibi di atas diimplementasikan untuk konteks perjuangan menegakkan Khilafah sebagai fardhu kifayah, maka bisa dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, Al-’Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, sebagai mujtahid mutlak, telah melakukan ijtihad yang diperlukan untuk merumuskan metode menegakkan kembali Khilafah, yang hukumnya fardhu kifayah. Dalam konteks ini, beliau termasuk orang yang mampu (al-qâdir). Mujtahid, pemikir, politikus, mujadid sekaligus pemimpin umat yang brilian, yang di pundaknya dibebankan kewajiban untuk menyiapkan semuanya. Karena itu ini menjadi fardhu ‘ain bagi beliau. Beliau pun telah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, termasuk mendirikan Hizbut Tahrir bersama sejumlah ulama. Sejak berdiri tahun 1953 hingga sekarang, Hizbut Tahrir telah melakukan perjuangan dengan seluruh potensi dan kemampuannya, termasuk dukungan umat yang terus menguat di lebih dari 40 negara. Namun, hingga saat ini Hizb belum juga berhasil.

Karena itu, kewajiban menegakkan Khilafah ini, sebagaimana seruan (khithâb) asalnya untuk seluruh kaum Muslim, bisa dikembalikan kepada seluruh umat Islam. Dengan pelaksanaan kewajiban ini oleh sebagian di antara mereka, yaitu aktivis Hizbut Tahrir bersama umat, maka tetap belum menggugurkan kewajiban ini dari pundak umat Islam. Sebabnya, kewajiban yang diperintahkan itu belum terwujud. Dengan demikian mereka yang tidak terlibat dalam kewajiban ini tetap dinyatakan berdosa.

Saat ini, satu-satunya masalah yang dihadapi oleh Hizbut Tahrir dalam menegakkan Khilafah adalah dukungan Ahl an-Nushrah. Bagi Ahl an-Nushrah, menegakkan Khilafah saat ini adalah fardhu ‘ain. Mereka berkewajiban menegakkan Khilafah karena mereka adalah orang yang mempunyai kapasitas dan kemampuan. Tugas Hizb adalah terus mencari dukungan dan meyakinkan mereka.

Adapun umat secara keseluruhan, yang termasuk kategori kedua, berkewajiban mengupayakan mereka, baik dari kalangan keluarga, orangtua maupun anak-anak mereka. Mereka juga berkewajiban memaksa Ahl an-Nushrah agar mereka segera melaksanakan kewajiban mereka. Jika tidak, maka umat Islam pun menanggung dosa. [KH. Hafidz Abdurrahman]

WalLâhu a’lam.

[Diolah dari tulisan lama, tahun 2011].

 

Catatan kaki:

1 Al-’Allamah ‘Ala’uddin al-Mardawi, Al-Anshaf, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 1997, X/271 dan XI/42.

2 Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., VIII/368; al-’Allamah Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab bi Syarhi Minhaj ath-Thullab, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, II/185; al-’Allamah al-Khathib as-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’, Dar al-Fikr, Beirut, 1998, II/437; al-’Allamah al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khathib; al-’Allamah al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal.

3 Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., VIII/368.

4 Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, XIII/8.

5 Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, II/19.

6 Al-Imam al-’Allamah al-Baidhawi, Tafsir al-Baydhawi, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., II/68.

7 Al-Imam al-’Allamah as-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., I/119.

 

 

 

0 Comments

Leave a Comment

four × five =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password