Belajar dari Krisis Sri Lanka
Sri Lanka terpuruk dalam krisis. Ia mengalami kekosongan kabinet di tengah keadaan darurat. Sebanyak 26 menteri di kabinet dikabarkan menyerahkan surat pengunduran diri pada pertemuan larut malam pada hari Minggu (3/4/2022).
Sri Lanka tengah dilanda krisis ekonomi yang memicu kericuhan di ibukota. Gelombang demonstrasi merebak di Sri Lanka. Muncul pula fenomena panic buying di tengah masyarakat. Situasi mencekam. Jam malam diberlakukan oleh Kepolisian di Sri Lanka. Negara ini dalam kondisi darurat nasional.
Di bawah kepemimpinan Rajapaksa, Sri Lanka dilanda krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah, sejak Sri Lanka merdeka pada 1948 silam. Harga-harga bahan pokok melambung tinggi.
Rezim Sri Lanka gagal menyelamatkan ekonomi nasional. Rezim Sri Lanka dalam 1 dekade terakhir terus menambah pinjaman kepada lembaga asing. Ketergantungan pada utang asing memperburuk ekonomi nasional dan gagal memulihkan perekonomian Sri Lanka. Krisis di negara tersebut mencapai kulminasi pasca pandemi Covid-19. Defisit neraca pemerintah membesar. Peringkat kredit negara ini mendekati level default.
Alih-alih menuju pintu keluar krisis, rezim Sri Lanka malah memadamkan api dengan bensin. Pasalnya saat ini, Pemerintah Sri Lanka dikabarkan sedang meminta bantuan. Di antaranya kepada Lembaga Moneter Internasional (IMF).
Bantuan asing mengandung potensi berbahaya. Syaikh Abdurrahman al-Maliki, dalam bukunya, As-Siyaasah al-Iqtishaadiyah al-Mutslaa (Politik Ekonomi Ideal), dengan tegas mengatakan bahwa utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam. Utang tersebut senantiasa membuat umat menderita. Utang luar negeri juga menjadi jalan untuk menjajah suatu negara.
Apa yang dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman al-Maliki pada tahun 1960-an itu kemudian memang terbukti. Utang luar negeri menjadi alat penjajahan Barat. Lewat utang luar negeri, Barat memaksa negara-negara yang diberi bantuan agar tunduk pada kepentingan mereka.
Apa yang terjadi di Sri Langka berpeluang terjadi di seluruh negara yang mengadopsi sistem kapitalisme, termasuk Indonesia. Problem ekonomi di Indonesia hari ini dapat dilihat dari mahalnya harga kebutuhan bahan pokok, biaya tinggi pendidikan dan kesehatan, kenaikan TDL, mahalnya tarif tol dan harga BBM yang makin memperparah kondisi ekonomi rakyat.
Persoalan lain adalah utang Pemerintah yang terus membengkak. Utang Pemerintah sudah tembus Rp 7.014,58 triliun. Problem selanjutmya adalah masih tingginya kejahatan ekonomi seperti korupsi, kolusi, suap dan lain sebagainya. Yang paling parah adalah rusaknya pengelolaan SDA dan energi yang membuat rakyat makin menderita.
Dalam sistem ekonomi Kapitalisme, yang paling menonjol memang kepemilikan individu. Bahkan kepemilikan negara dapat diubah menjadi kepemilikan individu dengan cara privatisasi. Inilah yang menjadi sebab utama mengapa peraturan tentang SDA dan energi semua mengarah pada privatisasi yang berakibat pada penguasaan SDA dan energi oleh swasta bahkan pihak asing.
Selain itu, ketidakstabilan moneter yang berdampak pada munculnya berbagai persoalan ekonomi terjadi karena adanya faktor pemicu terjadinya krisis keuangan dan berdampak pada krisis ekonomi, yakni persoalan mata uang dan sistem keuangan (moneter) yang sangat spekulatif dan penuh dengan rente.
Alhasil, saatnya Islam, dengan penerapan sistem ekonomi Islam, menjadi solusi. [Endah Sulistiowati ; (Direktur Muslimah Voice)]
0 Comments