Amerika Gagal Mengurus Korban Pandemi COVID-19
Amerika Serikat adalah potret kegagalan. Allah SWT telah ‘mengutus’ partikel renik berdiameter 50–200 nanometer bernama SARS-CoV-2 untuk menyingkap kegagalan AS dalam mengurus kesehatan, ekonomi hingga keamanan domestik warga terdampak. Kredo Kapitalisme yang dianut AS menjadikan negara berlepas diri sebagai penanggung jawab penuh urusan rakyatnya. Di AS siapapun yang mau mendapatkan kesejahteraan harus membayar mahal. Mekanisme subsidi hanya diberikan pada person tertentu atau menunggu status darurat.
Dalam sistem kesehatan, hampir seperempat orang dewasa AS tidak memiliki akses tunjangan medis. Puluhan juta orang miskin, tunawisma, imigran, narapidana dan pekerja informal adalah kelompok rentan yang tidak mendapat layanan kesehatan.1 Padahal data Johns Hopkins University melaporkan 1.938.931 kasus dan 110.481 kematian di AS (8/6/20) adalah tertinggi di dunia.2 Penyebabnya, kata Dr. Rick Bright—DirekturBARDA3, penanggung jawab pengembangan vaksin yang dipecat Presiden Trump—AS tidak punya rencana komprehensif untuk menanggulangi corona. Karena itu dikhawatirkan penyebaran virus di musim gugur 2020 mendatang akan berakhir menjadi musim dingin tergelap sepanjang sejarah modern.4 AS tak peduli dengan risiko itu.
Sebagai kampiun Kapitalisme, jelas AS lebih mempertimbangkan pergerakan ekonomi daripada penyelamatan nyawa. Apalagi Gubernur Bank Sentral, Federal Reserve, Jerome Powell dan Menkeu Steven Mnuchin memberi gambaran suram kehancuran ekonomi akibat pandemi.5 Tentu yang merasakan adalah kelompok berpenghasilan rendah. Survei RAND American Life Panel menunjukkan 1/3 keluarga AS kehilangan pendapatan sejak lockdown. Bila rumah tangga menengah menutupi pengeluaran dengan kredit dan pinjaman gaji, rumah tangga berpenghasilan rendah hanya mampu menjual barang-barang mereka. Dikabarkan kelompok ini rentan menderita kerawanan pangan.6
Pandemi ini juga kian menyingkap rasisme sistemik yang mendera AS. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, 40 persen rumah tangga kulit hitam dan hampir 50 persen rumah tangga hispanik bermasalah dalam membayar tagihan dibandingkan dengan 21 persen rumah tangga kulit putih.7
Negara materialistik ini amat perhitungan untuk menyantuni warganya. Mereka hanya menyediakan tunjangan pengangguran, paket stimulus usaha kecil (agar bisa membayar gaji karyawan), bantuan untuk rumah sakit, pinjaman dan hibah pemulihan bencana, termasuk perluasan uji virus.8
Tak ada mekanisme santunan utuh sebagaimana pernah dipraktikkan pada masa Kekhilafahan Islam.
Tak heran bila 38 juta pekerja melamar untuk mendapatkan Unemployment Insurance sejak 15 Maret. Namun, sebagaimana di negri +62 ini, tunjangan jutaan warga AS itu tak bisa segera cair karena proses klaim yang sulit. Padahal klaim itu kian melonjak di California, Florida, Michigan, New York, dan Texas sejak April.9
Ironinya, saat mayoritas penduduk AS menghadapi masalah ekonomi, kelompok terkaya justru diuntungkan. Laporan Americans for Tax Fairness menyebutkan kekayaan bersih miliuner AS tumbuh 15% dalam dua bulan lockdown hingga bertambah US$434 miliar (setara Rp 6.500 triliun).10
Kesenjangan ekonomi adalah kegagalan AS sebagai negara plutokrasi yang meniscayakan uang ‘bekerja’ untuk 1 persen warga terkaya dan menegasikan pengurusan ’99 persen” warga lainnya.
Ketidaksetaraan memang menjadi masalah klasik Kapitalisme, termasuk isu gender yang selalu menjadi bulan-bulanan. Antَnio Guterres, Sekjen PBB, mengatakan pandemi covid-19 menimbulkan ketidaksetaraan gender11. Pernyataan itu merujuk pada kelompok berisiko tinggi. Populasi lansia (terutama yang lebih dari 80 tahun, mengingat usia harapan hidup perempuan lebih tinggi daripada laki-laki), juga 70 persen dari semua staf layanan kesehatan dan sosial secara global, adalah perempuan.12
Adapula upaya untuk menghubungkan kebijakan lockdown dengan pelonjakan kasus kekerasan rumah tangga seperti dilaporkan National Domestic Violence Hotline di AS. Ternyata fenomena global ini direspon UN Women. Meluncurlah kampanye Shadow Pandemic sejak 27 Mei 2020 sebagai bentuk kesadaran publik tentang ancaman bayangan KDRT.13
Padahal masalah tersebut bukan hanya terjadi akibat sentiman gender karena kekerasan bisa menimpa siapapun. KDRT menjadi masalah serius dalam masyarakat kapitalistik karena kehidupan sekularis liberal-lah yang membuat manusia berani melakukan kezaliman terhadap pihak lain, hatta anggota keluarganya.
Kekerasan ini turut memperparah kegagalan negara dalam menciptakan atmosfer aman setiap orang. Ketika wabah makin memburuk, justru penjualan senjata meningkat. Bahkan seorang penjual senjata di Tulsa, Oklahoma, mengalami peningkatan penjualan sekitar 800 persen.14 Warga tak lagi percaya kepada aparat hukum. Kasus terbunuhnya George Floyd di tangan polisi berkulit putih membuat masyarakat ingin mereformasi polisi. Bahkan mayoritas Dewan Kota Minneapolis ingin membubarkan Departemen Kepolisian dan mengubahnya menjadi model keamanan yang dipimpin masyarakat.15
Demikianlah realitas yang dihadapi AS. Materi adalah pertimbangan utama kapitalis tetap berdenyut. Mereka negara abai terhadap kebutuhan rakyat, termasuk korban pandemi. Kalaupun mereka menyediakan layanan publik yang lebih tinggi kualitasnya daripada layanan Dunia Ketiga. Nyatanya layanan itu adalah konsekuensi asuransi atau pajak tinggi yang harus dikembalikan kepada rakyat. Pada ujungnya tetap saja hal itu menguntungkan pemodal kakap yang telah memberikan kontribusi pada rezim yang berkuasa. Padahal begitu banyak rakyat yang terdiskriminasi dan menjadi korban kezaliman politik, ekonomi ataupun sistem sosial yang diterapkan.
Sekalipun peradaban pongah Kapitalisme masih merasa mampu bertahan dari krisis, namun the normal people, masyarakat umum pasti kian merasakan kezaliman penguasa mereka. Tidak hanya memanfaatkan krisis dan kebutuhan rakyat demi kepentingan kelompok elit saja, Kapitalisme ‘sukses’ membawa manusia pada krisis kepercayaan. Itulah karakter Kapitalisme. Sistem yang hanya memikirkan penimbunan dolar tanpa pernah tulus memberikan keadilan pada seluruh rakyat.
Pengharapan akan ketulusan pemerintah dalam mengurus urusan rakyat hanya terealisir jika Islam menjadi pengatur atas kehidupan manusia. Pemenuhan harapan itu niscaya terjadi karena setiap Khalifah itu dipilih demi menjalankan tugas memenuhi kebutuhan seluruh rakyat. Mereka tak bakal mengingkari amanahnya karena sungguh takut akan implikasinya di akhirat. Sabda Nabi saw., “Tidak seorang hamba pun yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu dia tidak memperhatikan mereka dengan nasihat, kecuali dia tidak akan mendapatkan surga.” (HR al-Bukhari).
Khilafah Islamiyah, sekalipun sebagai adikuasa, tidak akan pongah dan berani memanfaatkan kelemahan rakyat. Khilafah juga steril dari kepentingan bisnis, apalagi memberi keistimewaan bagi raksasa korporasi yang bakal menangguk untung besar di saat seluruh rakyat menestapa. Itu hina dan haram bagi Khilafah. Pesan politis dari sang virus semestinya memberi kesadaran bahwa Kapitalisme hanyalah peradaban sampah yang tak mampu mengatasi masalah, bahkan pasti melahirkan masalah berikutnya.
Saatnya bagi masyarakat untuk menjadikan sistem alternatif yang mampu mengatasi krisis secara bermartabat, yakni Khilafah Islamiyah. Tidak cukup hanya mengimani janji Allah akan tegaknya negara tersebut, tetapi turutlah jalan terjal untuk memperjuangkannya. []
Catatan Kaki:
1 https://www.preventionweb.net/news/view/71119
3 Biomedical Advanced Research and Development Authority (BARDA)
6 https://www.rand.org/news/press/2020/06/03.html
7 Ibidem 5
9 https://www.rand.org/blog/2020/05/38-million-have-applied-for-unemployment-but-how-many.html
11 https://twitter.com/antonioguterres/status/1241317258464460805
12 https://www.weforum.org/agenda/2020/05/what-the-covid-19-pandemic-tells-us-about-gender-equality/
0 Comments