Menjadi Insan yang Meninggalkan Jejak Kebaikan

Manusia dikenal dan dikenang tak sekadar saat masa hidupnya, tetapi juga karena atsar (jejak) kehidupannya. Sama saja apakah jejak kebaikan atau keburukan (wal ‘iyâdzu bilLâh). Mereka yang meninggalkan jejak kebaikan akan mendapati ganjaran atas setiap kebaikan orang lain yang meniti jejak kebaikan tersebut. Begitu pula jejak keburukan. Ini sebagaimana pesan yang mulia Baginda Rasulullah saw:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بها بَعْدَهُ،مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بها مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Siapa saja yang mengerjakan dalam Islam sunnah yang baik, ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengkuti dirinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Siapa saja yang mengerjakan dalam Islam sunnah yang buruk, ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengikuti dirinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim).

 

Lafal sunnat[an] hasanat[an] dan sayyi’at[an] menunjukkan keluasan cakupannya (mubham). Ia mencakup segala hal yang baik dan buruk dalam pandangan Islam. Menjadi kabar gembira (bisyârah) bagi orang yang melakukan kebaikan dan menjadi sebab orang lain melakukan kebaikan serupa. Sebaliknya, ia menjadi ancaman dan peringatan bagi orang yang melakukan keburukan dan membukakan jalan bagi orang lain melakukan keburukan serupa. Ia akan diganjar akibat membukakan pintu keburukan tersebut, wal ‘iyâdzu bilLâh. Sama saja, apakah keburukan lisan maupun perbuatan.

Menjelaskan hadis di atas, Al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H) dalam Syarh Shahîh Muslim (VII/104) menjelaskan: “Di dalam hadis ini terdapat dorongan untuk memulai perkara kebaikan dan menggariskan perbuatan-perbuatan terpuji, serta peringatan atas perbuatan mengawali kebatilan-kebatilan dan hal-hal yang tercela.”

Karena itu betapa buruk perbuatan mempersekusi gerakan dakwah dan para pengembannya, misalnya. Betapa buruk menstigma negatif ajaran Islam al-Khilâfah yang dipuji kedudukannya sebagai junnah (perisai) oleh Rasulullah saw., dan disematkan padanya sifat ‘alâ minhâj al-nubuwwah. Ini untuk menggambarkan Khilafah sebagai sistem Islam yang mengatur masyarakat dengan syariah Islam dan menyatukan mereka seluruhnya dalam satu kepemimpinan.

Lebih buruk lagi jika keburukan tersebut diikuti orang lain yang terpedaya. Jadilah keburukan yang berlipat ganda sehingga berlipat ganda dosanya. Apakah tak cukup peringatan Allah sebelumnya dalam al-Quran? Allah SWT mencontohkan mereka yang celaka karena jejak-jejak keburukannya diikuti manusia, menggariskan sikap ketus terhadap apa yang Allah ajarkan, dengan menstigmanya sebagai dongeng orang-orang terdahulu belaka (Lihat: QS an-Nahl [16]: 24-25).

Sebagaimana dinukilkan Imam Badruddin al-‘Aini (w. 855 H) dalam ‘Umdat al-Qârî (XXV/53) dalam pembahasan tentang dosa orang yang menyeru manusia pada kesesatan dan tambahan dosa atas dirinya seperti dosa yang dilakukan oleh orang yang mengikuti jejak keburukannya. Lafal alâ merupakan huruf tanbîh yang berfungsi sebagai tawkîd (penegasan), diikuti dengan lafal sâ’a yang menunjukkan bentuk tafdhîl (pelebihan). Kedua lafal ini semakin menegaskan besarnya celaan Allah atas perbuatan yang sangat buruk tersebut.

Lantas, apa bedanya dengan sikap ketus mereka yang menstigma negatif khilafah sebagai ‘ajaran usang’ yang dianggap tak lagi relevan dengan maksud mengingkari dan menolaknya, bahkan mengajak orang lain menjauhinya? Tidak cukup sampai di sana, diikuti sikap buruk mempersekusi gerakan dakwah dan para pengembannya, serta memprovokasi orang lain menjauhinya? Bukankah itu semua termasuk keumuman sanna sunnat[an] sayyi’at[an] yang dicela dalam hadis ini? Apakah azab yang menimpa umat-umat terdahulu akibat keburukan mereka sendiri menentang ajaran Allah dan mempersekusi para rasul-Nya tidak cukup menjadi pelajaran?

Pada saat yang sama, kematian adalah sesuatu yang pasti tiba masanya. Tak bisa ditunda-tunda barang sejenak. Kematian menjadi momentum awal manusia memasuki gerbang penghisaban atas segala perbuatan. Allah SWT berfirman:

وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ أَن تَمُوتَ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِ كِتَٰبٗا مُّؤَجَّلٗاۗ وَمَن يُرِدۡ ثَوَابَ ٱلدُّنۡيَا نُؤۡتِهِۦ مِنۡهَا وَمَن يُرِدۡ ثَوَابَ ٱلۡأٓخِرَةِ نُؤۡتِهِۦ مِنۡهَاۚ وَسَنَجۡزِي ٱلشَّٰكِرِينَ ١٤٥

Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Siapa saja yang menghendaki pahala dunia, niscaya Kami beri dia pahala dunia itu. Siapa saja yang menghendaki pahala akhirat, Kami beri (pula) dia pahala akhirat itu. Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur (QS Ali ‘Imran [3]: 145).

 

Syaikh Ali ash-Shabuni (w. 1442 H) dalam Shafwat al-Tafâsîr (I/212) menjelaskan bahwa siapa saja yang menghendaki ganjaran dunia dari amal perbuatannya, maka Allah akan memberikan kepada dirinya dan di akhirat ia tidak akan mendapatkan bagian kebaikannya. Ini mengandung sindiran bagi orang-orang yang menghendaki harta benda (seperti binatang ternak). Allah menjelaskan bahwa sampainya harta benda dunia bagi manusia bukanlah hal yang layak diimpikan. Sebabnya, hal itu diberikan baik kepada orang yang baik maupun orang yang durhaka. Siapa saja yang menghendaki ganjaran akhirat maka Allah memberi dia ganjaran tersebut secara sempurna, sebagaimana Dia menganugerahkan bagiannya di dunia (lihat: QS asy-Syura [42]: 20).

Menariknya, setelah menggambarkan keadaan orang yang menghendaki pahala akhirat, Allah SWT menggambarkan sejarah para pejuang kebenaran itu sendiri:

وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيّٖ قَٰتَلَ مَعَهُۥ رِبِّيُّونَ كَثِيرٞ فَمَا وَهَنُواْ لِمَآ أَصَابَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَمَا ضَعُفُواْ وَمَا ٱسۡتَكَانُواْۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٤٦

Berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah; tidak menjadi lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabra (QS Ali ‘Imrân [3]: 146).

 

Merekalah para pejuang yang meniti jejak-jejak agung Rasulullah saw. sang pengemban risalah, di atas jalan yang Allah tetapkan sebagai jalan menuju keridhaan-Nya:

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٥٣

Sungguh inilah jalan-Ku yang lurus. Karena itu ikutilah jalan itu. Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian diperintahkan oleh Allah agar kalian bertakwa (QS al-An’âm [6]: 153).

 

Rasulullah saw. pernah membuat garis di depan para Sahabatnya dengan satu garis lurus di atas pasir, sementara di kanan-kiri itu beliau menggariskan garis-garis yang banyak. Lalu beliau saw. bersabda, “Ini adalah jalanku yang lurus, sementara ini adalah jalan-jalan yang di setiap pintunya ada setan yang mengajak ke jalan itu.” Kemudian Nabi saw. membaca QS al-An’am [6]: 153 di atas.

WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed; (Peneliti Balaghah al-Quran & Hadis Nabawi)]


0 Comments

Leave a Comment

ten − 8 =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password