Memelihara al-Quran

Al-Quran al-Karim adalah Kalam Rabb al-‘Izzah. Diturunkan melalui perantaraan seagung-agungnya malaikat, Rûh al-Amîn Jibril as., kepada sebaik-baiknya insan, al-Mushthafa Muhammad saw.. Turun secara keseluruhan ke langit dunia pada sebaik-baiknya malam, laylat al-qadr. Tersurat dengan seindah-indahnya bahasa, bahasa Arab. Itu semua semakin menambah bukti keagungan al-Quran sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِٱلذِّكۡرِ لَمَّا جَآءَهُمۡۖ وَإِنَّهُۥ لَكِتَٰبٌ عَزِيزٞ ٤١ لَّا يَأۡتِيهِ ٱلۡبَٰطِلُ مِنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَلَا مِنۡ خَلۡفِهِۦۖ تَنزِيلٞ مِّنۡ حَكِيمٍ حَمِيدٖ ٤٢
Sungguh al-Quran adalah sebenar-benarnya kitab yang mulia. Tidak datang kepada al-Quran kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya. Diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS Fushshilat [41]: 41-42).
Kalimat wa innahu lakitâb[un] ’azîz[un] diawali dengan dua penegasan (tawkîd), yakni lafal inna dan lâm al-ibtidâ’. Keduanya menegaskan al-Quran sebagai kitab suci yang mulia dari Allah, Zat Yang Maha Mulia, sekaligus menafikan pengingkaran dan keraguan terhadapnya (al-khabar al-inkâri).
Al-Quran pun unggul dengan kedudukan agungnya: petunjuk bagi mereka yang bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 2); penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (QS an-Nahl [16]: 89); penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman (QS al-Isra’ [17]: 82). Tidaklah al-Quran diturunkan, melainkan sebagai rahmat dari Allah (QS al-Qashash [28]: 86). Sebaliknya, kesesatan dan penderitaan bagi mereka yang mengabaikan al-Quran dan berpaling darinya (QS Thaha [20]: 124).
Al-Quran diturunkan kepada Al-Mushthafa Muhammad saw. dengan hikmah agung: mengeluarkan manusia dari az-zhulumât menuju an-nûr:
الٓرۚ كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ لِتُخۡرِجَ ٱلنَّاسَ مِنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِ رَبِّهِمۡ إِلَىٰ صِرَٰطِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ ١
Alif Lam Ra. Ini kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Terpuji (QS Ibrahim [14]: 1).
Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT menginformasikan hikmah al-Quran diturunkan kepada Rasulullah saw., yaitu untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Allah SWT meminjam istilah (al-isti’ârah) azh-zhulumât (kegelapan-kegelapan) untuk menggambarkan berbilangnya jalan kebatilan dengan segala keburukannya, dan istilah an-nûr (cahaya) untuk menggambarkan satu-satunya jalan kebenaran. Itulah Islam dengan segala kebaikannya. Menegakkan ajarannya adalah kemuliaan. Berpegang teguh padanya adalah sebab keselamatan. Rasulullah saw. berpesan:
يَأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًاكِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Wahai umat manusia, sungguh aku telah meninggalkan bagi kalian perkara yang jika kalian pegang teguh, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya (HR al-Hakim dan al-Baihaqi dari Ibn ’Abbas r.a.).
Keagungan al-Quran pun semakin terang-benderang dengan adanya jaminan atas kemurniannya:
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩
Sungguh Kamilah Yang menurunkan al-Quran dan sungguh Kami benar-benar menjadi Pemeliharanya (QS al-Hijr [15]: 9).
Ayat ini menginformasikan bahwa Allah SWT benar-benar memelihara adz-dzikr (al-Quran) dari segala bentuk penyimpangan. Ini ditegaskan oleh keberadaan tawkîd huruf inna (sungguh) dan lâm al-ibtidâ’ di depan kata benda hâfizhûn (pemelihara)1. Bentuk ungkapan ini (ism: hâfizhûn) lebih kokoh maknanya sebagai “pemelihara” daripada bentuk kata kerja (fi’il: nahfazhu). Ini menguatkan kepastian jaminan Allah atas kemurnian al-Quran.
Bertolak dari penjelasan di atas, relevan jika salafunâ ash-shâlih memberikan keteladanan berinteraksi dengan al-Quran. Ini sebagaimana digambarkan para ulama. Salah satunya Al-Hafizh an-Nawawi (w. 676 H) dalam At-Tibyân. Kitab suci ini mereka sikapi bagaikan risalah mahabbah dari Rabb al-‘Izzah. Ditandai oleh besarnya perhatian mempelajari, men-tadaburi, mengamalkan, mendakwahkan dan membela al-Qur’an dari segala bentuk penyimpangan. Itulah al-Quran yang disenandungkan oleh Imam Ar-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H):
كالبدر من حيث التَفَتَّ رأيتَه *
يُهْدى إلى عينَيك نورًا ثاقبًا
كالشمس فيكَبِدِ السماء وضوؤُها *
يَغْشَى البلاد مَشَارِقًا ومغارً
Bagaikan rembulan ke manapun kau palingkan melihatnya/memancarkan pada kedua matamu cahaya yang kuat
Bagaikan matahari di langit sinarnya/menaungi negeri-negeri di Timur dan Barat2
Keteladanan Salafuna ash-Shalih
Keagungan al-Quran pun sangat berpengaruh dalam kepribadian salafuna ash-shalih. Mereka menggariskan keteladanan terbaik dalam memelihara al-Quran. Mereka membaca, men-tadaburi, mengamalkan dan mendakwahkan al-Quran. Secara prinsipil Allah menggambarkan akhlak Rasulullah saw. adalah akhlak qurani:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤
Sungguh engkau benar-benar memiliki khuluq yang agung (QS al-Qalam [68]: 4).
Maknanya adalah akhlak al-Quran. Qatadah pernah bertanya kepada Aisyah ra. tentang khuluq Rasulullah saw. Lalu ia berkata, “Khuluq Nabi adalah al-Quran.” Ia pun berkata, “Sebagaimana yang ada dalam al-Quran.” Aisyah ra. berkata:
كَانَ خُلُقُه القرآنَ
Khuluq Rasulullahsaw. adalah al-Quran (HR Ahmad).
Menjelaskan hadis di atas, Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) mengungkapkan bahwa beliau berpegang teguh pada adab-adab al-Quran serta berbagai perintah dan larangan di dalamnya; pada ajaran-ajarannya yang mulia (al-makârim), berbagai kebaikan (al-mahâsin) serta kelembutan yang terkandung di dalamnya.
Secara praktis, Rasulullah saw. pun mencontohkan bagaimana beliau men-tadaburi ayat-ayat Allah. Ibn Abbas ra. berkata:
Suatu ketika aku bermalam di rumah bibiku, Maimuna. Aku mendengar Rasulullah saw. berbincang-bincang bersama istrinya sesaat. Kemudian beliau tidur. Tatkala tiba waktu sepertiga malam terakhir, beliau duduk dan melihat ke langit. Lalu beliau membaca ayat:
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٠
Sungguh dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (QS Ali Imran [3]: 190).
Lalu beliau berwudhu dan bersiwak. Kemudian shalat sebelas raka’at. Setelah mendengar Bilal azan, beliau shalat dua raka’at kemudian beliau keluar untuk shalat shubuh (HR al-Bukhari).
Hadis ini menggambarkan keteladanan Rasulullah saw. Men-tadabburi ayat qur’aniyyah dan ayat kawniyyah. Menjadikan al-Quran sebagai panduan men-tadabburi alam semesta, manusia dan kehidupan. Hal itu menguatkan keimanan, membuahkan sikap berpegang teguh pada al-Quran dan semangat mendakwahkannya. Keteladanan agung ini yang diikuti sahabat Rasulullah saw. semisal Utsman bin Affan r.a:
لَوْ طَهُرَتْ قُلُوبُكُمْ مَا شَبِعْتُمْ مِنْ كَلَامٍ اعَزَّ وَجَلَّ
Andai kalbu kalian telah suci, kalian tak kan pernah merasa kenyang membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla (al-Quran).
Maknanya, yakni sangat senang membaca, men-tadabburi, memahami dan mengamalkan ajaran al-Quran. Beliau pun menegaskan bahwa tiada waktu yang lebih ia cintai ketika tiba waktu siang dan malam kecuali digunakan untuk membaca al-Quran (men-tadabburi-nya, pen.).3
Kesenangan ini menjadi modal utama menjadi golongan yang digambarkan dalam hadis dari Utsman bin ’Affan r.a., dari Nabi saw. yang bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari dan mengajarkan al-Quran (HR al-Bukhari).
WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed; (Dosen STIQ ZAD - Ilmu Al-Qur’an & Tafsir)]
Catatan kaki:
1 Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, cet. I, 1421 H, juz II, hlm. 237.
2 Abu al-Qâsim al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz, juz I, hlm. 3.
3 Ahmad bin Hanbal, Al-Zuhd, Dâr ýIbn Rajab, cet. II, 2003, hlm. 244.
0 Comments