Politik Identitas
Istilah politik identitas kini mencuat kembali. Narasi yang dibangun bernada buruk, tercela, negatif dan harus dijauhi. “Hanya saja, politik identitas itu selalu disematkan kepada umat Islam,” ungkap Pak Djauhari. “Seakan-akan umat Islam tidak boleh membawa identitas Islam dalam kehidupan politiknya,” tegas lelaki setengah baya itu. “Kayaknya mereka tidak menghendaki Islam diamalkan di semua tempat dan waktu. Islam hanya boleh diamalkan di pojok-pojok masjid,” tambahnya.
Ketika ramai-ramai isu ‘rendang babi Padang’ beberapa waktu lalu, masyarakat Minang pun protes. Bahkan ada seorang emak-emak di Tik Tok memprotesnya. “Orang Padang itu agamanya Islam. Rendang Padang itu sudah pasti terbuat dari bahan halal. Tak mungkin babi,” kira-kira begitu ungkapannya.
Langsung muncul tudingan bagi setiap orang yang berpendapat senada dengan emak-emak itu sebagai menggunakan politik identitas. Tentu, identitas yang mereka maksudkan adalah Islam. Begitu pula saat ada orang menyerukan penerapan syariah Islam untuk kemaslahatan bersama. Ditudinglah sebagai sedang memainkan politik identitas. Orang yang menyampaikan ajaran Islam tentang haram memilih pemimpin kafir dituduh pula tengah menggunakan politik identitas. “Pada waktu Gubernur DKI Jakarta bersikap tegas terhadap kasus Holywings yang menyakiti perasaan umat Islam itu, eh Pak Anies malah dijuluki bapak politik identitas,” Pak Sabili berkomentar.
Pada tanggal 15 Juli 2022 lalu, Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI) dideklarasikan sejumlah tokoh dan aktivis lintas ormas Islam, di Aula Buya Hamka Masjid Al-Azhar. Gerakan ini untuk melawan isu Islamofobia di dunia yang digambarkan media Barat. Senada dengan itu 15 Maret 2022 dicanangkan sebagai hari anti-Islamofobia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Apa respon orang-orang yang selama ini menuding umat Islam sebagai menggunakan politik identitas? “Isu Islamofobia itu merupakan politik identitas baru kadrun,” ujar salah seorang yang tampaknya mengidap islamofobia.
Karena itu wajar belaka apabila sebagian masyarakat memandang bahwa tuduhan politik identitas itu hanya ditujukan kepada umat Islam yang memperjuangkan ajaran agamanya. Nyaris tak terdengar tudingan ‘politik identitas’ yang bernada menyudutkan pihak selain Islam. “Kalau jujur, bukankah orang-orang yang menyerukan nasionalisme itu menggunakan politik identitas? Identitas kebangsaan? Bukankah orang-orang yang menyerukan ‘jangan bawa-bawa Islam ke politik’, bahkan non-Muslim memakai peci datang ke pesantren-pesantren menjelang pemilihan umum, Itu politik identitas? Bukankah tudingan kepada orang lain menggunakan politik identitas merupakan politik identitas yang digunakan oleh si penuduh itu? Bukankah ketika seseorang menuding pihak yang memperjuangkan syariah Islam sebagai menggunakan politik identitas sebenarnya ia sedang menggunakan politik identitas? Ya, identitasnya sekulerisme. Bukankah orang yang teriak-teriak pro wong cilik sedang memainkan politik identitas juga?” Pak Sabili mengungkapkan isi hatinya.
Jangan salahkan siapa-siapa jika tuduhan ‘politik identitas’ dipahami sebagai upaya untuk menghambat aspirasi Islam dalam persoalan politik dan kenegaraan.
Harus jujur diakui, ada yang menstigma bahwa aspirasi Islam merupakan politik identitas yang merusak tatanan negara. Wow. Really? Hal ini mengingatkan saya pada pandangan Chusnul Mariyah pada Juni tahun lalu. “Seolah sumber pembelahan karena Islam. Padahal sebagian besar bangsa Indonesia ini dulu adalah kerajaan-kerajaan Islam dan kesultanan-kesultanan Islam. Namun, saat ini ketika Pemilu ada aspirasi Islam maka seolah-olah distigma sebagai politik identitas yang buruk,” ungkap Pakar Politik Universitas Indonesia itu.
“Buruk rupa, cermin dibelah”, begitu kata pepatah.
Menarik ungkapan Pak Djauhari kepada saya, “Tuduhan begitu tidak aneh. Wanita berkerudung dibilang memakai pakaian a la wanita gurun. Orang mencintai Nabi Muhammad saw. dibilang yang berjuang pada abad 20 itu Nabi Muhammad atau Ir. Soekarno. Remaja milenial bisa berbahasa Arab dan banyak hapalan al-Quran dicap good looking radikal. Jadi, tak perlu heran bila orang yang menyampaikan aspirasi Islam dituding menggunakan politik identitas.”
Rupanya stigma atau cap negatif itu merupakan politik pihak-pihak untuk menghambat aspirasi Islam. “Padahal, sebagai Muslim, kita justru harus menunjukkan identitas kemusliman kita. Isyhaduu bi annaa muslimuun. Saksikanlah bahwa kita adalah Muslim. Betul tidak?” Pak Sabili merespon.
Saya katakan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk bertakwa kepada Allah SWT di mana pun kita berada. “IttaqilLaaha haytsuma kunta. Bertakwalah kamu kepada Allah dimana pun kamu berada,” begitu sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam at-Tirmidzi. “Artinya, kita harus terikat dengan aturan Islam saat kita di masjid, rumah, jalan, kantor, mal, gedung parlemen, istana, dan di mana pun. Kita harus selalu membawa identitas keislaman kita,” ucap saya.
Dalam konteks hukum, sikap tegas disampaikan oleh Chandra Purnama Irawan. Ketua Umum LBH Pelita Umat tersebut mengungkapkan (16/7/2022): “Tidak ada yang salah dengan politik identitas selama disampaikan secara damai, intelektual, adu gagasan, dialektika, tanpa kekerasan dan tanpa pemaksaan.”
Ia menambahkan, “Jika politik identitas dilarang, maka hal ini akan menjadi paradoks atau pertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.”
Dengan berpegang pada prinsip non-derogability, Chandra menyampaikan, “Menyampaikan ajaran dan konsep kepemimpinan dijamin dan dilindungi konstitusi…Melakukan stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap hal tersebut adalah perbuatan melawan hukum.” Wallaahu a’lam.[ Muhammad Rahmat Kurnia]
0 Comments