Solusi Krisis Mata Uang Global
Rupiah kembali melemah cukup dalam. Seperti biasanya, pelemahan tersebut tidak hanya merugikan masyarakat luas, pengusaha dan Pemerintah, namun juga telah menggoyang sendi-sendi perekonomian nasional. Harga-harga barang yang berasal atau menggunakan bahan baku impor naik signifikan. Mulai dari tepung terigu, kedelai, hingga BBM dan tarif listrik. Utang sektor swasta, BUMN dan Pemerintah dalam bentuk dolar juga naik tajam. Pukulan akibat kenaikan biaya impor dan biaya utang tidak hanya menyebabkan kerugian pelaku usaha, namun juga menekan produksi dan menurunkan penyerapan tenaga kerja.
Krisis mata uang rupiah saat ini bukanlah monopoli rupiah semata, namun juga melanda negara-negara berkembang seperti krisis mata uang Asia tahun 1997/1998; juga berbagai krisis di negara-negara Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika. Yang mutakhir adalah krisis mata uang Turki dan Argentina. Fluktuasi yang cukup tinggi pada kurs mata uang dan ketidakmampuan mengatasi krisis moneter tersebut telah diakui sebagai salah satu persoalan yang cukup serius pada sistem moneter internasional saat ini.1
Ketika cadangan devisa tidak lagi cukup mengatasi keadaan, saat itu uluran tangan dari negara asing ataupun lembaga asing seperti International Monetary Fund (IMF) akan berdatangan. Namun, kerap bantuan tersebut malah semakin memperburuk situaai negara-negara yang mendapatkan bantuan. Intervensi IMF pada Indonesia pada krisis 1997/8 adalah contoh yang sangat gamblang. Berbagai reformasi dalam sistem moneter tidak mampu mencegah krisis itu kembali.
Faktor Fundamental
Krisis mata uang dalam sistem Kapitalisme telah menyatu pada sektor keuangan. Lazimnya krisis dimulai dari liberalisasi sektor keuangan yang mendorong perbankan untuk melakukan ekspansi kredit. Hal tersebut kemudian menyebabkan terjadinya gelembung pada beberapa sektor seperti properti atau pasar modal yang menjadi sasaran spekulasi. Untuk meredam hal itu, bank sentral kemudian menerapkan kebijakan yang mendorong kenaikan suku bunga. Kemudian terjadi penarikan modal dari sektor-sektor yang telah mengalami gelembung tersebut. Imbasnya adalah serangan pada mata uang yang diperparah oleh aksi para spekulan. Akhirnya, terjadilah krisis pada sektor keuangan. 2
Sebagai gambaran, sejak berakhirnya sistem Bretton Woods, krisis ekononomi yang berasal dari krisis mata uang jauh lebih banyak dibandingkan dengan krisis perbankan. Pada periode 1973-1999, di negara-negara berkembang terjadi krisis mata uang sebanyak 57 kali, krisis perbankan 17 dan kombinasi keduanya sebanyak 21 kali. Di negara-negara maju, krisis mata uang terjadi 29 kali, sementara krisis perbankan dan gabungan keduanya masing-masing terjadi sembilan kali dan tujuh kali. 3
Pangkal krisis moneter tersebut adalah standar mata uang kertas (fiat money) saat ini sama sekali tidak ditopang oleh komoditi berharga. Nilai nominalnya tidak sebanding dengan nilai intrinsiknya. Sebagai contoh, biaya untuk memproduksi satu lembar dolar AS yang berdenominasi US$100 (Rp 1.500.000 dengan kurs Rp 15.000/US$) hanya 13,2 sen (Rp 1.980). Tidak jauh berbeda dengan US$1 yang mencapai 5,6 sen (Rp 840).4 Dengan biaya produksi yang sangat murah ini, bank sentral dengan mudah dapat memproduksi uang untuk memompa perekonomian atau untuk membiayai defisit pemerintah yang kemudian mendorong kenaikan inflasi.
Dalam sistem moneter yang berlaku saat ini, penetapan kurs antarmata uang juga sangat kompleks. Sebagai contoh, nilai tukar dolar terhadap mata uang lain ditentukan oleh berbagai faktor seperti permintaan aset-aset finansial, neraca perdagangan, tingkat suku bunga, inflasi dan pertumbuhan ekonomi negara itu.5 Semua indikator itu sangat fluktuatif dan sulit untuk diprediksi. Kestabilan nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain menjadi sangat tidak stabil dalam jangka panjang. Kegiatan spekulasi mata uang menjadi sangat masif.
Hal demikian, menurut Soros, terjadi sejak pemberlakukan nilai tukar mengambang yang mulai diberlakukan pada tahun 1973. Dalam standar ini, nilai tukar sangat mempengaruhi ekonomi, bukan ekonomi yang mempengaruhi nilai tukar. Hal ini berbeda dengan standar emas saat spekulan tidak dapat mempengaruhi keseimbangan nilai tukar. Mereka hanya dapat melakukan antisipasi atas perubahan nilai tukar.6
Dalam sistem Kapitalisme siklus ‘menggelembung lalu pecah’ (bubble and burst) telah menyatu pada sistem ini. Sektor finansial yang terintegrasi dengan riba dan spekulasi membuat sistem ini tidak pernah stabil. Meningkatnya investasi pada sektor properti, misalnya, akan mendorong investor menyimpan dana mereka pada sektor itu hingga nilainya menggelembung di atas harga yang wajar. Setelah itu, mereka berlomba menarik dana mereka hingga sektor itu mengempis. Mata uang ikut merosot tajam. Bank sentral kemudian menaikkan suku bunga, menggelontorkan devisa untuk menarik kembali masuknya modal-modal tersebut. Jika terus melemah, mereka terpaksa berutang kepada negara lain ataupun kepada institusi terutama kepada IMF yang menjadi penanggung jawab utama sistem moneter global saat ini. Mereka pun terjebak dalam bunga utang dan berbagai syarat-syarat yang membelenggu kemandirian mereka.
Solusi Islam
Kekacauan sistem moneter saat ini sesungguhnya tidak perlu terjadi jika dunia kembali mengadopsi standar emas dan perak, meninggalkan sistem ekonomi Kapitalisme, dan beralih kepada Islam.
Di dalam Islam, standar moneter yang wajib diterapkan oleh negara adalah standar emas dan perak. Dalilnya antara lain adalah pengaitan sejumlah hukum-hukum Islam dengan mata uang tersebut seperti pada zakat, hudûd, perkawinan, dan hukum pertukaran mata uang (sharf). 7
Dengan demikian, uang yang dikeluarkan oleh negara adalah emas dan perak ataupun mata uang subtitusi seperti tembaga, perunggu atau kertas yang ditopang oleh emas dan perak. 8
Dengan kata lain, nilai nominal uang ditentukan oleh harga riil komoditas itu sendiri (intrinsic value). Kondisi tersebut membuat pemerintah tidak bebas mencetak uang secara jor-joran seperti yang dilakukan oleh bank sentral AS untuk mengatasi krisis tahun 2008. Ia hanya dapat menambah jumlah uang beredar sejalan dengan peningkatan cadangan emas dan perak yang dimiliki.
Standar emas telah menunjukkan inflasi yang sangat rendah. Selain itu daya beli emas sepanjang sejarahnya sangat stabil, jauh dibandingkan dengan daya beli mata uang kertas saat ini yang nilainya terus merosot.9
Lalu bagaimana uang dapat memenuhi transaksi yang terjadi di sektor riil yang terus tumbuh? Ada beberapa penjelasan mengenai hal ini. Di antaranya, selain penggunaan mata uang emas, pemerintah juga mengadopsi perak sebagai mata uang. Dengan demikian pasokannya jauh lebih besar dari sekadar emas. Meningkatnya penggunaan mata uang tersebut akan mendorong peningkatan produksi komoditas itu. Jadi persoalan yang paling utama bukan pada jumlah uangnya, tetapi pada daya belinya.
Selain itu, pertumbuhan kebutuhan uang yang melebihi pertumbuhan jumlah uang hanya berdampak pada peningkatan nilai riil uang tersebut. Sebagai contoh, jika harga barang A senilai satu dinar (4,25 gram emas), kemudian permintaan produk itu naik dua kali, sementara jumlah uang tetap, maka harganya akan menjadi ½ dinar (2,12 gram emas). Di sisi lain, penurunan harga tersebut dibandingkan dengan negara lain membuat permintaan ekspor meningkat. Hal ini kemudian berdampak pada peningkatan pasokan emas ke negara itu sehingga akan kembali mendorong harga ke atas.10
Adapun penurunan harga barang dan jasa (deflasi) yang dikhawatirkan akan mendorong resesi juga dapat dihindari. Penurunan harga barang dan jasa akibat meningkatnya produktivitas seperti saat ini pada kenyataannya tetap mendorong kegiatan produksi.
Biaya produksi seperti biaya gaji, sewa dan sebagainya, juga telah di atur di dalam Islam telah ditetapkan dalam bentuk kontrak berjangka. Dengan itu upah dan sewa dapat direvisi ke bawah jika nilai tukar uang menguat. Pihak pekerja tidak perlu merasa rugi. Ini karena meskipun secara nominal pendapatan mereka turun, namun secara riil pendapatan mereka tetap. Dengan demikian, tidak akan dijumpai kekakuan upah atau sewa yang membebani dunia usaha yang akan menggiring pada resesi seperti yang dikhawatirkan pihak penentang standar emas dan perak.11
Sejarah juga menunjukkan harga relatif stabil pada masa standar emas.
Oleh karena itu, salah satu aturan dalam standar emas dan perak adalah aliran komoditas tersebut baik dalam maupun luar negeri tidak boleh dibatasi, apalagi ditimbun. Hal ini sejalan dengan aturan di dalam Islam yang melarang adanya penimbunan mata uang (kanz al-mâl). Secara historis, peningkatan produktivitas akan seiring dengan pertumbuhan produksi uang. Negara Khilafah akan berupaya agar negara-negara di dunia ini kembali mengadopsi standar emas dan perak sehingga harga emas di pasar global dapat bergerak lebih stabil, sebagaimana yang terjadi ketika negara-negara di dunia ini mengadopsi standar ini.
Sebagaimana yang dipaparkan di atas, krisis mata uang saat ini juga dipicu oleh kekacauan di sektor finansial. Transaksi demikian tidak akan didapati dalam kehidupan Islam. Pasalnya, dalam sistem itu, transaksi riba sama dilarang baik pada instrumen moneter, kebijakan fiskal dan transaksi keuangan baik di pemerintahan maupun di masyarakat. Selain itu, berbagai pasar di sektor keuangan seperti pasar saham, pasar komoditas berjangka, dilarang sebab bertentangan dengan ketentuan Islam. Pasar saham sendiri bertentangan dengan konsep syirkah yang diperbolehkan Islam. Sebaliknya, kegiatan investasi harus dijalankan dengan prinsip-prinsip syariah baik dalam bentuk syirkah, pinjaman tanpa riba, sewa-menyewa, pertukaran mata uang, dan sebagainya.
Solusi Islam tersebut, di antaranya, pengharaman riba dan perseroan terbatas serta pasar modal yang menjadi sarana spekulasi. Penggunaan standar mata uang emas dan perak tidak mungkin dapat diterapkan jika sistem pemerintahannya tidak menjadikan Islam sebagai asas dan menerapkan Islam secara menyeluruh. Inilah relevansi perlunya Khilafah Islam. Sebuah sistem yang akan menerapkan Islam secara total sekaligus menebar rahmat bagi seluruh umat manusia di dunia.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Muis]
Catatan Kaki:
1 Dominick Salvatore, International Economics, 7th ed. (USA: John Wiley & Sons, Inc, 2013), 706.
2 Frederic S Mishkin, The Next Great Globalization:/ How Disadvantaged Nations Can Harness Their Financial Systems to Get Rich (New Jersey: Princeton University Press, 2006), 51-62.
3 Barry Eichengreen and Michael D. Bordo, “Crisis Now and Then: What Lessons From The Last Era of Financial Globalization?,” National Bureau of Economic Research 8716 (2002), http://www.nber.org/papers/w8716.
4 How much does it cost to produce currency and coin? https://www.federalreserve.gov/faqs/currency_12771.htm. Diakses 06/10/2018
5 L. Randall Wray, Modern Money Theory: A Primer on Macroeconomics for Sovereign Monetary Systems (UK: Palgrave Macmillan, 2012), 151.
6 George Soros, The Alchemy of Finance: Reading The Mind of The Market (New York: John Wiley & Sons, Inc., 1994), 65.
7 Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal Fi Daulah al-Khilafah, 3rd ed. (Beirut: Dar al-Ummah, 2004), 204; Muqaddimah al-Dustûr 2nd. (Beirut: Dar al-Ummah, 2010), 148; Al-Wuzaratu al-Auqaf wa Shuuni Al-Islamiyyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 1st ed. (Kuwait: Al-Wuzaratu al-Auqaf wa Shuuni al-Islamiyyah, 2012).
8 Hizbut Tahrir, Muqaddimah al-Dustûr, 2nd (Beirut: Dar al-Ummah, 2010), 148.
9 John Butler, The Golden Revolution: How to Prepare for the Coming Global Standard (New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2012), 108.
10 Anna J. Schwartz, “Alternative Monetary Regimes: The Gold Standard,” in Money in Historical Perspective, vol. I (University of Chicago Press, 1987), 364–90.
11 Lihat lebih lanjut publikasi yang diterbitkan oleh Hizbut Tahrir Inggris, “Gold Standar: The Future for a Stable Global Currency.”November, 2011
0 Comments