Pemanfaatan Lahan Sesuai Syariah

Banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah di Indonesia menjadi pemandangan yang kerap terjadi. Kalimantan, yang dulunya merupakan kawasan hutan yang hijau, kini hampir tiap tahun dikepung banjir. Citra satelit memperlihatkan dengan kasatmata bagaimana hutan di pulau terbesar kedua di Nusantara ini berkurang drastis, berganti menjadi lahan sawit dan pertambangan, serta bekas-bekas tambang yang cekung digenangi air.

Menurut BPS, dari total daratan seluas 191 juta hektare, sebagian besar, tepatnya 94 juta hektare, ditutupi oleh hutan. Tutupan terbesar kedua adalah pertanian kering, basah dan sawah yang mencapai 83 juta hektare. Adapun tutupan dalam bentuk perkebunan dan pemukiman, masing-masing seluas 18 juta hektare dan 3,7 juta hektare.1

Setiap tahunnya, hutan yang menjadi paru-paru bumi itu, menyusut, terutama akibat meningkatnya kegiatan pertambangan dan perkebunan. Pada tahun 2019, hutan Indonesia telah susut sekitar dua juta hektare. Jika penurunan jumlah hutan itu terjadi secara persisten tanpa ada reboisasi, maka kurang dari 50 tahun Indonesia akan kehilangan hutan.

Pembabatan hutan yang tidak lagi mengindahkan keseimbangan ekologi tersebut semata-mata dilakukan demi kepentingan ekonomi. Tentu ini berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup penduduk Indonesia dalam jangka panjang. Deforestasi tersebut tidak hanya meningkatkan produksi gas emisi karbon—yang membuat suhu udara semakin panas—tetapi juga berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat, seperti longsor, banjir. Keanekaragaman hayati hutan yang bermanfaat bagi manusia, dimusnahkan tanpa ampun, termasuk melalui pembakaran, yang membahayakan banyak orang. Pendek kata, pengelolaan lahan secara liberal telah mengakibatkan kerugian yang tak terpermanai bagi penduduk Indonesia.

Distribusi tanah di Indonesia memang sangat timpang. Pembagian pengolahan lahan lebih banyak diberikan kepada para korporasi yang jumlahnya segelintir, dibandingkan dengan rakyat yang jumlahnya berjuta-juta. Pemerintah, yang semestinya mengatur penggunaan lahan secara adil, malah ugal-ugalan dalam memberikan izin kepada para investor, tanpa peduli dampak buruknya dalam jangka panjang. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), pada awal tahun 2021, terdapat total 8.588 izin usaha pertambangan atau 44 persen dari luas daratan di Indonesia. Bahkan, sebanyak 738 izin di antaranya terhubung dengan kawasan rawan bencana.2

Pemberian izin perkebunan juga tidak kalah ganasnya. Menurut organisasi non-pemerintahan TuK Indonesia, pada tahun 2015, sebanyak 29 taipan mengendalikan 25 grup usaha besar yang menguasai 5,1 juta hektare dari 10 juta hektare lahan kelapa sawit di Indonesia. Luas itu hampir setengah luas Pulau Jawa.3 Namun, Pemerintah hingga kini tidak bersedia mempublikasikan siapa saja penerima izin tersebut, terutama dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU), dengan alasan melindungi privasi mereka.

Sementara itu, banyak rakyat yang semakin sulit memiliki tanah, baik untuk perumahan ataupun untuk pertanian. Berdasarkan data Sensus BPS 2013, ada 55 persen rumah tangga memiliki luas tanah garapan kurang dari setengah hektare, atau yang dikenal dengan petani gurem. Bahkan banyak lagi yang hanya mengandalkan pendapatan dari pekerjaan sebagai buruh tani. Pendapatan mereka relatif kecil, apalagi buruh di sektor tanaman pangan, yang harganya sangat rendah akibat tata buruknya tata niaga pangan, termasuk impor pangan yang semakin intensif.

Sistem hukum yang lebih berpihak kepada para pemodal juga telah mengakibatkan tanah semakin dikuasai oleh para pemilik modal. Mafia tanah—yang menguasai tanah orang lain atau tanah negara melalui kerja sama dengan oknum pemerintah—semakin marak. Akibatnya, banyak tanah jatuh ke tangan pemodal besar. Kemudian, atas nama pembangunan dan investasi, sering tanah milik rakyat diambil secara paksa, dengan kompensasi yang sangat minim atau bahkan tanpa kompensasi. Akibatnya, banyak rakyat yang digusur sehingga harus hidup tanpa tempat tinggal yang layak.

 

Kebijakan Pertanahan Menurut Islam

Kondisi pengelolaan tanah yang semrawut di atas berkebalikan dengan sistem Islam. Dalam perspektif Islam, tujuan utama pengaturan tanah adalah mendorong agar tanah yang ada dioptimalkan produktivitasnya secara berkelanjutan. Dengan demikian, isu pokoknya bukan pada masalah pemerataan kepemilikan tanah, tetapi pada pengelolaan tanah secara optimal.

Di dalam hukum Islam, terdapat banyak regulasi yang berkaitan dengan upaya memproduktifkan lahan, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, syariah Islam mendorong masyarakat untuk menghidupkan tanah-tanah mati untuk pertanian. Nabi saw/ bersada, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR at-Tirmidzi).

Aturan ini, yang berlaku bagi Muslim dan ahludz dzimmah—orang kafir yang menjadi warga Negara Khilafah—ini akan mendorong masyarakat mengelola lahan-lahan yang tidak produktif. Pada hadis yang diriwayatkan an-Nasai, Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah yang mati, maka ia akan memperoleh pahala darinya dan apa yang dimakan binatang (burung atau binatang liar) dari tanaman itu, maka menjadi sedekah bagi dirinya.” (HR an-Nasa’i).

Secara implisit hadis ini juga mendorong kaum Muslim untuk melakukan penghijauan. Ini juga tidak hanya akan memberikan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi, tetapi juga aspek spiritual.

Kedua, Islam melarang tanah pertanian diterlantarkan lebih dari tiga tahun tanpa digarap. Meskipun Islam mendorong untuk menggarap tanah, jika diterlantarkan lebih dari tiga tahun, maka tanah tersebut akan disita negara dan diberikan kepada mereka yang mau menggarapnya. Khalifah Umar ra. berkata, “Orang yang membiarkan tanahnya selama tiga tahun dan tidak mengelolanya, lalu datang orang lain dan mengelolanya maka orang itu berhak atasnya.”

Dalam riwayat Abu Ubaid disebutkan bahwa Khalifah Umar berkata kepada Bilal bin Harits yang mendapat pembagian tanah dari Rasulullah saw., “Ambillah apa yang sanggup engkau kelola, dan kembalikan selebihnya.”

Ketiga, negara tidak boleh melakukan pengaplingan tanah yang menjadi milik umum kepada pihak tertentu, seperti tanah yang mengandung barang tambang yang melimpah, seperti emas, tembaga, dan batubara; sumber dan saluran air; dan jalan-jalan umum. Rakyat juga tidak boleh menghidupkan tanah-tanah tersebut. Tanah-tanah tersebut masuk dalam kategori milik umum sehingga tidak boleh dikuasai oleh individu tertentu.4 Abyadh bin Hamal berkata, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang di majelis itu berkata, “Apakah Anda tahu yang Anda berikan kepada dia? Anda telah memberi dia (tambang yang seperti) air yang terus mengalir.” Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari Abyadh (HR Abu Dawud).

Oleh karena itu, kebijakan Pemerintah saat ini yang menyerahkan tanah-tanah yang masuk kategori milik umum kepada investor swasta, yang sebagian merupakan investor asing, bertentangan dengan ajaran Islam.

Keempat, Khalifah, yang menjadi kepala Negara Islam, dianjurkan untuk memberikan tanah (iqtha), kepada rakyat mereka, terutama yang kurang sejahtera. Kendati demikian, mereka juga terikat pada aturan sebelumnya, yakni tidak boleh menelantarkan tanah mereka lebih dari tiga tahun. Dengan begitu, rakyat yang mendapatkan tanah akan sungguh-sungguh menggarap tanah mereka, jika tidak ingin negara menyita tanah mereka.

Praktik iqtha’ telah dilakukan sejak masa Nabi Muhammad saw/ dan para khalifah setelah beliau. Meskipun begitu, pemberian tanah tersebut hanya diberikan kepada mereka yang dianggap mampu mengelolanya. Jika orang yang diberikan tanah terbukti tidak mampu mengelolanya, maka tanah tersebut ditarik kembali. Hal tersebut telah dipraktikkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra. ketika beliau meminta kembali tanah Bilal bin Harits karena ia tidak sanggup mengelola tanah yang diberikan Rasul saw. kepada dirinya.5

Kelima, untuk mendorong rakyat mengelola tanah, selain memberikan tanah, Khalifah juga akan membantu memberikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam mengelola tanah pertanian tersebut. Di antaranya adalah memberikan bibit, pupuk, dan sarana pertanian, dan irigasi. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj, bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, memberi petani Irak harta dari Baitul Mal untuk membantu mereka menanami tanah mereka, meskipun mereka belum masuk Islam.6

Keenam, negara melarang kegiatan sewa-menyewa lahan pertanian. Penyewaan lahan pertanian, meskipun terjadi perbedaan di kalangan ahli fikih, berdasarkan pendapat yang paling kuat tidak boleh dilakukan. Dengan demikian pemilik tanah hanya diberi pilihan, apakah menggarap tanahnya, baik dirinya ataupun menyewa jasa tenaga kerja, ataupun menyerahkan kepemilikannya kepada pihak lain untuk digarap. Mereka tidak diberi kesempatan untuk mengambil keuntungan atas tanah mereka tanpa melakukan suatu usaha yang tanpa risiko.

Ketujuh, pemilik tanah wajib membayar zakat pertanian jika ia menghasilkan tanaman yang wajib dikeluarkan zakat dan kharaj, jika tanah tersebut masuk kategori tanah kharajiyah—tanah yang dikuasai oleh negara Islam melalui penaklukan—dan zakat saja, jika tanahnya adalah ‘usriyyah, tanah yang penduduknya masuk Islam tanpa penaklukan. Namun, jika para petani tidak mampu membayar kharaj, misalnya jika terjadi masa paceklik ataupun harga panen yang jatuh, maka negara akan memberikan keringanan kepada mereka. Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. menetapkan kharaj kepada para petani sesuai dengan kesepakatan dengan mereka, tanpa melanggar kesepakatan itu. Namun, ketika mereka tidak mampu membayar, beliau memberikan keringanan dan tidak membebani di luar kemampuan mereka. Jika hasil panen mereka gagal atau ditimpa banjir, maka kharaj dibebaskan atas mereka.7

Kedelapan, negara juga memiliki hak untuk menetapkan tanah tertentu sebagai tanah yang diproteksi, sehingga ia tidak boleh dimiliki atau digarap oleh siapa pun. Pada masa pemerintahan Islam, tanah tersebut berupa padang rumput yang digunakan untuk menggembalakan kuda-kuda perang, ternak yang diperoleh dari jizyah atau zakat, binatang-bintang yang tersesat yang dijaga oleh Khalifah, dan ternak orang-orang yang lemah, dengan catatan tidak menyebabkan mudarat bagi rakyat.8

Dalam konteks saat ini, negara dapat menetapkan kawasan hutan yang bertujuan untuk menyerap air ke tanah sehingga banjir dapat diminimalkan dan karbon dapat diserap lebih banyak. Hal itu dapat mengurangi efek pemanasan akibat gas rumah kaca, yang disebabkan oleh tingginya penggunaan energi fosil dan deforestasi.

Kesembilan, negara berkewajiban melindungi hak setiap warga terhadap tanah mereka. Di dalam Islam, dilarang keras mengambil ataupun memanfaatkan tanah orang lain tanpa mendapatkan izin dari pemiliknya. Nabi saw. bersabda, “Tidaklah salah seorang dari kalian mengambil sejengkal tanah tanpa hak, melainkan Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada Hari Kiamat kelak (HR Muslim).”

Karena itu, di dalam Negara Islam, orang yang mengambil tanah milik orang lain, selain dipaksa untuk mengembalikannya, ia dihukum penjara hingga enam bulan, bahkan bisa lebih lama jika ia menyebabkan kerusakan atas tanah tersebut atau kerugian kepada pemiliknya. Hal yang sama juga berlaku pada orang yang mengambil harta milik umum dan menghalangi pihak lain untuk memanfaatkannya.9

Dengan hukum yang adil, maka upaya orang untuk mengambil hak milik orang lain dapat diminimalkan.

 

Khatimah

Alhasil, konsep Islam dalam masalah pertanahan sangat berbeda dibandingkan dengan sistem kapitalisme yang diterapkan di negara ini, yang kerap didikte oleh kepentingan pemodal.

Adapun hukum Islam, sepenuhnya digali dari sumber hukum yang berasal dari Zat Yang Mahaadil, Allah SWT. Namun, hukum-hukum tersebut hanya dapat diterapkan jika suatu negara mengadopsi Islam sebagai dasar negara, sekaligus menjadikannya sebagai satu-satunya sumber hukum.

WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Muis]

 

Catatan kaki:

1 Badan Pusat Statistik, Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia 2015-2019 (Jakarta: BPS, 2020), 198.

2 CNN Indonesia, Jatam: 783 Izin Tambang Berada di Kawasan Rawan Bencana. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200107121233-20-463065/jatam-783-izin-tambang-berada-di-kawasan-rawan-bencana. Diakses 17 Januari 2021

3 Tempo.co. 29 Taipan Sawit Kuasai Lahan Hampir Setengah Pulau Jawa. https://nasional.tempo.co/read/642351/29-taipan-sawit-kuasai-lahan-hampir-setengah-pulau-jawa. Diakses 17 Januari 2020

4 Ibnu Qudamah al-Maqdisy, Al-Mughny (Amman: Baitul Afkar al-Dauliyyah, 2004), 1301.

5 Ibid, 1305.

6 Adnan Shamady, Milkiyyat al-Ardh fi al-Islam wa Dauruha fi al-Tanmiyah al-Mustadamah, Majallah al-Dirasat al-Ijtima’iyyah, no. 25(2007)

7 Ma’zurah al-Zaitawy dan Salma Husawy, Tandhimat wa Taqsimat al-Aradhy Zamana al-Khalifah Umar bin al-Khattab. Majallah al-Ittihad al-Am lil-Atharin al-Arab 10, no.10(2009): 408-435.

8 Ibnu Qudamah, 1305.

9 Abdurrahman al-Maliky, Nidham al-Uqubat, cetakan kedua (Beirut: Darul Ummah, 1990), 194.

 

0 Comments

Leave a Comment

19 − four =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password