Demokrasi Itu Alat Penjajahan Barat
Ismail Yusanto
Sebagai “agama global”, demokrasi diyakini dan dianut oleh mayoritas penghuni planet ini. Karena itu banyak yang yakin, termasuk di kalangan kaum Muslim, demokrasi adalah sebuah keniscayaan sejarah dan peradaban umat manusia. Tidak banyak yang menyadari, termasuk di kalangan Islam, bahwa demokrasi adalah peradaban sampah yang layak dibuang jauh-jauh. Terlalu banyak cacat bawaan dalam demokrasi. Terlalu banyak kerusakan yang ditimbulkan oleh demokrasi. Apalagi demokrasi sejatinya adalah alat penjajahan Barat, khususnya atas Dunia Islam. Betulkah demikian?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kali ini Redaksi mewawancarai kembali Juru Bicara HTI Ustadz M. Ismail Yusanto. Berikut paparannya.
Ustadz, menjelang Pemilukada sekarang, orang ramai lagi membicarakan demokrasi. Sejatinya demokrasi itu sistem atau uslûb saja?
Tergantung dari mana kita melihat. Kalau dilihat sebagai cara untuk memilih pemimpin melalui Pemilu, maka demokrasi bolehlah disebut sebagai uslûb atau cara. Cara memilih pemimpin seperti ini juga dikenal dalam Islam. Disebut dengan prinsip ridhâ wal ikhtiyâr (kerelaan dan pilihan). Hal ini berbeda dengan pewarisan atau penunjukkan dalam sistem kerajaan sehingga rakyat hanya menjadi penonton saja. Semua berpulang kepada raja atau kaisar, siapa yang akan ditunjuk sebagai pemimpin menggantikan dirinya nanti.
Namun, kalau dilihat dari substansinya, saat dikatakan bahwa kedaulatan—yakni hak membuat hukum, menetapkan benar-salah dan halal-haram—itu ada di tangan rakyat, maka demokrasi jelas sebuah sistem, yakni system politik; bukan sekadar uslûb, yakni cara memilih pemimpin/wakil rakyat. Demokrasi adalah sistem politik yang lahir dari sebuah ideologi yang meminggirkan agama (Islam) sebagai sumber rujukan dalam berpolitik (sekularisme).
Demokrasi itu kan beda negara beda implementasi. Bagaimana itu, Ustadz?
Iya, mungkin saja begitu. Namun, kalau dilihat substansinya tadi, yakni kedaulatan di tangan rakyat, maka demokrasi di mana-mana sama saja. Mungkin detilnya agak beda-beda, tetapi itu tidak terlalu penting.
Jadi inti dari demokrasi itu apa, Ustadz?
Inti demokrasi ya itu tadi, ide atau prinsip kedaulatan rakyat. Rakyat, melalui wakil-wakilnya dalam parlemen, menetapkan peraturan perundangan guna mengatur mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan; mana yang benar dan mana yang salah; mana yang halal dan mana yang haram.
Ini berbeda sekali dengan Islam. Dalam Islam, hak menetapkan hukum, menentukan benar-salah, halal-haram hanya di tangan Allah, bukan di tangan rakyat.
Jika demikian, demokrasi menjadikan manusia seperti Tuhan?
Ya, karena itulah para pengkiritik keras demokrasi menyebut demokrasi itu syirik, karena melalui slogan vox populi vox dei atau “Suara rakyat adalah suara Tuhan”, demokrasi menyamakan manusia dengan Tuhan. Sedemikian tinggi posisi suara atau aspirasi rakyat hingga diserupakan dengan suara atau kehendak Tuhan. Karena itu suara rakyat mutlak harus diperturutkan, tidak boleh diabaikan.
Slogan “Suara rakyat adalah suara Tuhan” ini berangkat dari sebuah asumsi, bahwa kesepakatan mayoritas (wakil) rakyat dalam sistem demokrasi itu pasti mencerminkan kebaikan dan bakal menghasilkan penyelesaian yang memuaskan bagi seluruh rakyat. Logikanya, bila kebanyakan orang setuju, pastilah persetujuan itu akan berkait dengan hal-hal yang dipandang baik oleh kebanyakan orang. Bila Tuhan diyakini sebagai sumber kebaikan maka persetujuan kebanyakan orang atas sesuatu yang dipandang baik itu juga tentu selaras dengan kehendak Tuhan. Dari situlah disimpulkan, “Suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Persoalannya, benarkah setiap suara rakyat pasti mencerminkan kehendak Tuhan? Kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Terbukti, tidak selamanya kesepakatan kebanyakan orang selalu berkenaan dengan kebaikan atau menghasilkan kebaikan. Juga tidak selamanya sebuah kebaikan dengan mudah disepakati. Sebagaimana juga tidak selamanya sebuah keburukan pasti tidak disepakati.
Kebenaran adalah kebenaran. Ia tidak ditentukan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang menyepakati. Sesuatu itu disebut benar bergantung pada dasar yang digunakan untuk menetapkan sebuah kebenaran. Di situlah pemikiran menyeluruh mengenai alam semesta, manusia dan kehidupan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang akan sangat menentukan kebenaran dari sesuatu yang dianggap benar, karena ia menjadi dasar berpikir dan landasan untuk menilai sesuatu itu benar atau salah. Bila pemikiran mendasar tadi benar, pemikiran yang bertumpu di atasnya juga akan menjadi benar, begitu sebaliknya, tak peduli berapa jumlah pendukungnya.
Ada yang mengatakan, itu bukan proses membuat hokum. Dalam konteks parpol Islam, itu adalah proses berjuang dan berdakwah menjelaskan syariah Islam. Hanya saja, dalam prosesnya sering kalah karena kalah suara. Bagaimana itu, Ustadz?
Iya, mungkin saja begitu. Berdakwah menjelaskan keagungan, kebaikan dan kerahmatan syariah Islam adalah sebuah kebaikan, apalagi bila itu dilakukan di Parlemen yang memang mempunyai peran sentral dalam penyusunan peraturan perundangan. Namun, dalam kenyataannya, dalam menjalankan fungsi legislasi (penyusunan peraturan perundang-undangan) tidaklah didasarkan pada ajaran Islam karena syariah Islam tidak dianggap sebagai dasar utama dari fungsi itu. Kalaupun dibolehkan, ajaran atau syariah Islam hanyalah sebagai salah satu opsi (pilihan), bukan satu-satunya opsi, apalagi sebagai obligasi (kewajiban). Bahkan sekarang melalui Perppu Ormas, yang telah menjadi UU, usaha untuk menerapkan syariah secara kâffah bisa dianggap melanggar UU karena dinilai hendak mengganti Pancasila.
Demokrasi biasanya diidentikkan dengan proses perubahan. Adakah proses perubahan masyarakat dalam Islam? Apakah sama dengan demokrasi?
Ada, tetapi tentu berbeda. Ketika kita berbicara tentang proses perubahan, setidaknya ada dua model politik yang bisa dilakukan, yakni politik perubahan dan politik Pemilu. Dalam politik Pemilu memang orientasinya memperbesar suara. Semua usaha dipusatkan untuk bagaimana memikat hati orang. Hal inilah yang acap membuat parpol Islam mengikuti pola dari parpol non Islam sekadar untuk memikat pemilih. Bila dinilai keislamannya itu menjadi penghalang orang untuk memilih, maka ada kecenderungan untuk melepaskan keislamannya itu guna membuat nyaman orang untuk memilih.
Adapun politik perubahan dilakukan bukan sekadar untuk meraih kemenangan dalam Pemilu, tetapi bagaimana melakukan perubahan-perubahan politik. Perubahan politik itu ada yang bersifat formal prosedural, ada juga formal non-prosedural. Gerakan Reformasi 1998 adalah contoh dari perubahan formal non-prosedural. Pola perubahan semacam ini tidak selamanya jelek. Ketika publik setuju dengan tujuannya, maka mereka akan mendukung.
Dalam politik Pemilu, menjadi tugas berat dari parpol Islam untuk membuat bagaimana agar orang mau memilih mereka. Islam itu sendiri kan bagus dan memperjuangkannya juga pasti bagus. Hanya saja, agar orang mau memilih barang bagus itu tentu ia harus paham lebih dulu. Karena tidak paham, barang bagus itu justru akan dianggap membahayakan.
Dalam Islam, adakah cara tersendiri memilih pemimpin? Ataukah sama dengan demokrasi?
Ada cara tersendiri meski mungkin saja sama dengan cara demokrasi, yakni melalui pemilihan umum langsung oleh rakyat; bisa juga melalui majelis umat (perwakilan berbagai kelompok umat). Bedanya, kalau dalam Islam pemimpin dipilih untuk melaksakan syariah secara kâffah, melancarkan dakwah dan menjaga ukhuwah atau persatuan umat, sedangkan dalam demokrasi tidak seperti itu.
Terkait orientasi dalam memilih pemimpin saat ini, kita melihat setidaknya ada tiga kemungkinan. Pertama, hanya ingin orang Islam berkuasa. Kedua, ingin orang Islam berkuasa dan sekadar mewarnai, misalnya hanya dengan mengubah aspek moralitasnya. Ketiga, ingin orang Islam berkuasa, sekaligus bisa memimpin dengan cara Islam.
Kalau yang kita maui itu yang ketiga, maka perjuangan yang dilakukan mestinya bukan sekadar menjadikan orang Islam berkuasa, tetapi bagaimana juga agar sistem yang berjalan itu adalah sistem Islam. Hanya bila sistem Islam itu berjalan maka dia bisa memimpin dengan cara Islam. Nah, agar sistem Islam berjalan, berarti kita memerlukan perjuangan politik guna melakukan perubahan sistem, dari sistem yang lama ke sistem yang baru. Itulah yang disebut dengan perubahan ideologis. Perubahan ideologis itu dilakukan oleh parpol Islam yang benar-benar ideologis.
Ada yang menyampaikan bahwa jika tidak berjuang dalam demokrasi maka sejatinya telah berkontribusi bagi terpilihnya pemimpin yang tidak sesuai dengan syariah Islam. Bagaimana Ustadz?
Justru demokrasilah yang telah memungkinkan terpilihnya pemimpin yang tidak sesuai dengan syariah. Pasalnya, dalam demokrasi mereka punya hak untuk maju atau dimajukan sebagai pemimpin.
Orang atau kelompok yang berjuang tanpa menggunakan demokrasi dinilai perjuangannya utopia. Bagaimana Ustadz?
Tidak juga. Banyak perjuangan berhasil meski tanpa demokrasi. Tak usah jauh-jauh. Lihatlah bagaimana gerakan reformasi dulu, toh juga berhasil menumbangkan Orde Baru. Kalau mengikuti demokrasi, mestinya Pak Harto tidak boleh diturunkan di tengah jalan. Dia dipilih secara sah oleh MPR. Masa jabatannya dari 1998 – 2003. Namun, baru beberapa bulan menjabat disuruh turun.
Apakah benar demokrasi itu alat penjajahan Barat?
Ya. Demokrasi memang telah menjadi alat bagi para pemilik modal, baik dari Barat (asing) maupun dari Timur (aseng) untuk menguasai negeri-negeri Muslim. Inilah penjajahan gaya baru (neoimperialisme). Oleh karena itu, William Blum, penulis buku America’s Deadliest Export Democracy menyebut demokrasi adalah alat dominasi Amerika Serikat—kini juga dipakai Cina—atas seluruh dunia. Simpulnya, demokrasi merupakan alat untuk menguasai dunia demi kepentingan ekonomi, politik dan ideologi.
Melalui demokrasi, negeri-negeri Muslim khususnya tak lagi terikat pada ketentuan syariah. Dengan begitu Barat dengan mudah mempengaruhi proses legislasi (penetapan peraturan perundang-undangan) baik secara langsung melalui drafting assistance (bantuan perancangan undang-undang) maupun tidak langsung melalui orang-orang mereka di parlemen atau di pemerintahan.
Melalui demokrasi dengan instrumen utama media massa, apalagi demokrasi liberal seperti yang saat ini dipraktikkan, Barat sangat mudah mempengaruhi opini masyarakat dalam pemilihan pemimpin negara dan untuk bisa menerima paham-paham dari Barat seperti sekularisme, HAM, persamaan gender hingga LGBT. Akibatnya, paham-paham itu dengan mudah menyebar dan berpengaruh dalam penetapan kebijakan, serta lahir pemimpin yang tidak otentik. Dia terpilih karena rekayasa citra (image engineering) melalui media massa.
Melalui demokrasi pula, lahirlah negara yang dikontrol oleh korporasi. Dominasi korporasi terhadap negara semakin mencengkeram setelah korporasi multinasional turut bermain. Mereka turut menentukan siapa yang menjadi pemimpin sebuah negara dan apa kebijakan negara tersebut. Kembali seperti jaman VOC dulu.
Alhasil, dengan demokrasi bukan kedaulatan rakyat yang diraih, tetapi kedaulatan pemilik modal; dari teokrasi dan otokrasi yang mereka jauhi, kepada korporatokrasi. Semakin lama negara-negara demokrasi berjalan, semakin dalam ketundukan kepada pemilik modal. Selama dua abad ini, kekuasaan pemilik modal pun semakin kuat, bahkan lintas negara. Kekuatannya tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Lihatlah, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia, 49 adalah negara, 51-nya adalah korporasi.
Apa fakta bahwa demokrasi adalah alat penjajahan barat?
Kalau Barat memang benar-benar tulus memperjuangkan demokrasi dan mengajak seluruh negara menerapkan demokrasi dengan sebaik-baiknya, tentu mereka akan bertindak konsisten mendukung mereka yang menerapkan demokrasi dan menentang yang sebaliknya. Kenyataannya tidaklah demikian. Lihatlah, Barat tetap mendukung rezim totaliter di sejumlah negara, seperti di rezim Assad di Suriah. Sebaliknya, mereka tak segan menjatuhkan rezim, seperti Presiden Mursi di Mesir dan FIS di Aljazair, meski dipilih dengan cara demokrasi, karena dinilai tidak sesuai dengan kemauan Barat.
Jadi, demokrasi bagi Barat hanyalah alat. Digunakan ketika diperlukan. Dibuang ketika tak diperlukan, apalagi menghalangi tujuan.
Kalau begitu apa yang harus dilakukan oleh Parpol Islam?
Pertama, tetap berpegang teguh pada Islam. Tidak boleh bergeser walau seinci sekali pun. Kedua, tidak boleh mengaburkan jatidirinya dengan ucapan dan tindakan yang aneh-aneh. Ketiga, keislamannya itu ditunjukkan melalui pemikiran-pemikiran yang dilontarkan, melalui orang dan tokoh-tokohnya serta melalui sepakterjangnya dalam memperjuangkan tujuannya itu. Keempat, menolak dengan tegas semua ideologi dan sistem di luar Islam, seperti kapitalisme, sekularisme, komunisme, sosialisme.
Bila keempat hal tadi dilakukan, insya Allah umat tak akan ragu mendukung. Namun, bila pemikiran dan perjuangannya yang mereka emban tidak jelas, perilaku dari tokoh-tokohnya juga tidak berbeda dari parpol non-Islam, niscaya orang akan melihat tidak ada beda parpol Islam dengan parpol non Islam. Ketika semua itu terjadi, orang merasa tidak ada perlunya mendukung parpol Islam. Toh, sama saja dengan parpol sekular. []
0 Comments