Kontrak Kerja Untuk Manfaat Yang Haram
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشْرَةً: عَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا، وَالْمُشْتَرِي لَهَا، وَالْمُشْتَرَاةُ لَهُ.
Rasulullah saw. telah melaknat sepuluh pihak dalam perkara khamr: pemerasnya, yang minta diperaskan; peminumnya, pembawanya, yang minta dibawakan, penuangnya, penjualnya, pemakan harganya, pembelinya dan yang minta dibelikan. (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi rahimahullah (w. 279 H) di dalam Sunan at-Tirmidzi (Al-Jâmi’u al-Kabîr) hadis nomor 1295. Redaksi di atas adalah redaksi at-Tirmidzi.
Imam Ibnu Majah rahimahullah (w. 273 H) meriwayatkan hadis ini di dalam Sunan Ibni Mâjah hadis nomor 3381. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bazzar (w. 292 H) di dalam Musnad al-Bazâr hadis nomor 7516, Imam ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Awsâth hadis nomor 1355.
Al-Hafizh al-Mundziri di dalam at-Targhîb dan al-Hafizh Ibni Hajar al-‘Ashqalani di dalam At-Talkhîsh mengatakan tentang riwayat ini bahwa para perawinya tsiqah.
Imam Ibnu Majah di dalam Sunan Ibni Mâjah hadis nomor 3380 dan Ibnu al-A’rabi (w. 340 H) di dalam Mu’jam Ibni al-A’rabiy hadis nomor 146 meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. yang berkata:
لُعِنَتِ الْخَمْرُ عَلَى عَشْرَةِ أَوْجُهٍ: بِعَيْنِهَا، وَعَاصِرِهَا، وَمُعْتَصِرِهَا، وَبَائِعِهَا، وَمُبْتَاعِهَا، وَحَامِلِهَا، وَالْمَحْمُولَةِ إِلَيْهِ، وَآكِلِ ثَمَنِهَا، وَشَارِبِهَا وَسَاقِيهَا.
Khamr dilaknat atas sepuluh sisi: zatnya, pemerasnya, yang minta diperaskan, penjualnya, pembelinya, pembawanya, yang minta dibawakan, pemakan harganya, peminumnya dan penuangnya.
Menjelaskan hadis di atas, Mula al-Qari (w. 1014 H) di dalam Mirqâtu al-Mafâtih Syarhu Misykât al-Mashâbîh mengatakan: ‘âshirahâ yakni orang yang memeras untuk dirinya sendiri dan orang lain. Wa mu’tashirahâ yakni yang minta diperas untuk dia sendiri atau yang lain. Wa syâribahâ wa hâmilahâ wa al-mahmûlah ilayhi, yakni yang minta dibawakan oleh seseorang. Wa sâqiyahâ wa bâi’ahâ yakni yang mengakadkannya meski sebagai wakil atau makelar. Wa âkila tsamanahâ wa al-musytarî lahâ, yakni untuk diminum, dan dijual secara wakalah dan lainnya. Wa al-musytarâ lahu, yakni yang dibelikan melalui wakalah.
Lafal la’ana Rasûlullâh (Rasulullah melaknat) menunjukkan adanya celaan terhadap sepuluh pihak itu. Artinya, bermakna larangan (thalab at-tarki). Pemberian laknat terhadap mereka menjadi qarinah yang menunjukkan larangan itu bersifat jâzim (tegas). Jadi hadis di atas menunjukkan bahwa aktivitas sepuluh pihak tersebut adalah haram.
Penyebutan lafal dua pihak ‘âshir wa mu’tashir, hâmil wa mahmûlah ilaih dan lafal al-musytarâh lahu mengisyaratkan cakupannya pada adanya akad di antara kedua pihak itu, antara pemeras dan yang minta diperaskan, pembawa dan yang minta dibawakan serta dengan yang minta dibelikan, dalam bentuk wakalah baik tanpa upah atau dengan upah, yakni dalam bentuk wakalah murni atau kontrak kerja. Lafal sâqiyu (penuang) juga mengisyaratkan cakupannya pada orang yang menuangkan dengan upah seperti bartender.
Dengan demikian dalalah hadis ini juga mencakup akad ijarah (kontrak kerja) atas pekerjaan yang disebutkan di dalam hadis di atas. Adanya laknat menunjukkan bahwa aktivitas itu adalah haram. Akad kontrak kerja atasnya juga haram sebab laknat itu juga berlaku atasnya.
Dengan demikian aktivitas yang manfaatnya haram tidak boleh dilakukan ijarah atasnya, baik menjadi majikan atau menjadi pekerja yang melakukan aktivitas itu. Inilah hukum yang dapat ditarik dari hadis di atas.
Ketentuan hukum ini juga berlaku pada aktivitas-aktivitas lainnya yang diharamkan oleh syariah. Contohnya aktivitas yang dinyatakan dalam sabda Rasul saw.:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
Rasulullah saw. telah melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya dan dua orang saksinya (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai, al-Baihaqi, Ibnu Hibban dan Abu Dawud ath-Thayalisi).
Dalam riwayat Imam Muslim dari Jabir ra. ada tambahan “qâla: wahum sawâ`un (Rasul saw. bersabda, “Mereka sama saja).”
Lafal kâtibuhu maknanya bukan hanya penulis, tetapi juga pengurusnya. Jadi laknat itu juga mencakupi siapa saja yang aktivitasnya berkaitan dengan riba baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti para pegawai bank ribawi mulai direktur, kepala cabang, bagian, seksi, teller, customer service, appraisal, auditor, pegawai biasa, pemasaran, progamer yang membuat atau mengurusi program manajemen riba, dan semua pekerjaan yang manfaatnya berkaitan dengan riba secara langsung maupun tidak langsung. Juga mencakup pegawai instansi yang mengurusi kredit yang disertai riba.
Pekerjaan yang haram itu juga mencakup pekerjaan atau aktivitas yang keuntungannya atau partisipasinya adalah haram karena merupakan aktivitas atau muamalah yang batil. Seorang Muslim tidak boleh melakukan akad yang batil atau fasid, atau aktivitas yang menjadi konsekuensinya. Seorang Muslim tidak boleh melakukan akad atau perbuatan yang menyalahi hukum syariah. Jika melakukannya saja adalah haram maka demikian pula menjadi pekerja yang bekerja menjalankan atau melakukan muamalah, akad dan perbuatan yang batil.
Kaidahnya dalam hal itu adalah: mâ hurrima al-qiyâmu bihi min al-a’mâl hurrima an yu‘ajira ‘alayhi aw an yakûna ajîran fîhi (perbuatan yang diharamkan dilakukan maka diharamkan mempekerjakan orang padanya atau menjadi pekerja di dalamnya).
Dengan demikian jika suatu muamalah, akad atau perbuatan itu dalam pandangan seseorang adalah haram, baik muamalah atau perbuatan itu sendiri diharamkan atau haram karena merupakan muamalah yang batil, maka orang tersebut tidak boleh mempekerjakan orang yang menjalankan atau melakukannya. Dia juga tidak boleh menjadi pekerja untuk menjalankan atau melakukannya. Dengan kata lain, dia tidak boleh melakukan akad ijarah pada muamalah, akad atau aktivitas yang bagi dirinya haram itu.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]
0 Comments