Skenario Kebangkrutan Amerika dan Kapitalisme Global

Pandemi Covid-19 yang terjadi di dunia menyebabkan perekonomian tertekan dan menimbulkan krisis. Tidak hanya krisis ekonomi, tetapi juga krisis kepercayaan dan sosial. Bahkan hampir semua negara di dunia terkena imbasnya, baik tekanan krisis terhadap pertumbuhan ekonomi maupun krisis lainnya. Bahkan krisis akibat Covid-19 ini disebut lebih berat dibandingkan dengan yang pernah terjadi sebelumnya.

Krisis 2020 terjadi di 200 negara yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi global diprakirakan mengalami resesi di angka negatif. Negara-negara di dunia mayoritas mengalami resesi atau perlambatan ekonomi bahkan tidak sedikit berimbas pada krisis sosial dan politik. Termasuk Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang memiliki sistem pertahanan ekonomi yang kuat dan mempunyai perangkat ekonomi yang sangat lengkap. Pandemi ini memperlihatkan ketidakmampuan imunitas ekonomi AS dalam mencegah dan mengantisipasi dampak terhadap ekonominya. Termasuk juga negara pesaingnya, dalam ekonomi dan perdagangan global, yaitu Cina.

IMF (2020) memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia sebesar minus 3%. Lembaga ini juga menyebutkan bahwa pandemi ini membuat biaya yang dikeluarkan masyarakat menjadi lebih tinggi. Termasuk pembiayaan ekonomi. Sebagai catatan, pada World Economic Outlook edisi Januari 2020, angka proyeksi masih lebih tinggi dari minus 3,3% karena penyebaran Covid-19 ini masih belum meluas seperti saat ini. Proyeksi minus 3% tersebut pada 2020 tersebut diikuti oleh negara perekonomian maju (-6,1%), Uni Eropa (-7,1%) dan negara G7 dengan minus 6,2%. Apalagi, pertumbuhan ekonomi negara berkembang juga turut diprediksi minus karena kerentanan ekonominya. Bahkan negara-negara yang mempunyai perekonomian masih berkembang diprediksi minus 1%, sementara ASEAN-5 minus 0,6 %. Artinya, pandemi Covid-19 ini memberikan dampak yang sangat dahsyat dan besar terhadap kinerja ekonomi global, yang menggambarkan kinerja ekonomi kapitalis saat ini.

Nasib ekonomi global sangat ditentukan oleh negara-negara besar, seperti AS dan Cina, serta negara-negara maju lainnya serta sekutunya, sebagai penopang dari perekonomian. Pemulihan ekonomi negara-negara besar juga bergantung pada respon dari ekonomi global terhadap pemulihan tersebut. Pasalnya, setiap negara berbeda-beda bergantung pada kebijakan dan kondisi masing-masing di dunia. Apakah negara-negara besar notabene pengusung Kapitalisme, terutama AS mampu menyelesaikan persoalan ekonomi global? Ataukah justru AS perlu ditopang agar bisa bertahan dari kebangkrutan, resesi dan utang?

 

AS: Centre Negara Pengusung Kapitalisme

Pandemi merupakan isu global yang sangat mempengaruhi ekonomi global. Bahkan mengalahkan isu global ekonomi yang ada selama ini. Saat ini episentrum pandemi juga di AS. Termasuk isu perang dagang. Perang dagang antara AS dan Cina menyebabkan pertumbuhan ekonomi global terjadi kontraksi kian mendalam. Menimbulkan pelambatan ekonomi dunia tumbuh semakin kuat.

Sebelum pandemi, akibat perang dagang saja sudah berkonstribusi menekan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) global sebesar 0,8% pada 2020 menjadi kisaran 3%. Setelah pandemi menjadi kisaran minus 3%. Artinya, konstribusi perang dagang dalam memperlambat pertumbuhan ekonomi sangat besar, ditambah dengan pandemi. Jauh lebih parah kedalaman pertumbuhan ekonomi global yang terkontraksi.

Secara tegas pandemi ini terus membuka kedok kebangkrutan model ekonomi negara-negara kapitalis global. Tidak sedikit para ekonom telah memperingatkan kemungkinan besar akan terjadi keruntuhan ekonomi Kapitalisme global. Salah satu pemicu paling tinggi adalah wabah pandemi tersebut.

Setidaknya, terdapat dua terminologi yang biasa digunakan ekonom untuk menggambarkan penurunan ekonomi global; atau setidaknya menggambarkan ekonomi hancur diujung kebangkrutan. Pertama: Indikator ‘resesi’ yang secara tradisional didefinisikan sebagai dua kuartal berturut-turut atau enam bulan berturut-turut pertumbuhan ekonomi negatif. Kedua: Depresi besar (great depression) yang menggambarkan kemerosotan ekonomi berkepanjangan yang dihadapi oleh negara tersebut yang diukur dalam tahun.

 

Wajah Buram Kinerja Ekonomi Kapitalisme Global

Prospek Ekonomi Global bulan Juni 2020 memperlihatkan terjadi crash di luar perkiraan akibat dari resesi global yang mendalam. Ada penurunan output potensial, yaitu ‘tingkat output ekonomi yang dapat dicapai dengan kapasitas penuh dan pekerjaan penuh‘ serta produktivitas tenaga kerja. Guncangan pandemi saat ini membuat tantangan ekonomi semakin berat. Terutama pada beberapa indikator ekonomi yang perlu diulas sebagai akibat dari pandemi, khususnya di negara besar seperti AS, sebagai pusat negara pengusung ekonomi Kapitalisme.

Beberapa indikator ekonomi penting perlu dicermati, yaitu:

 

  1. Tergerusnya pertumbuhan ekonomi AS.

Pertumbuhan ekonomi adalah indikator dalam menilai sebuah negara apakah kinerja ekonominya baik atau buruk. Dampak pandemi terhadap pertumbuhan ekonomi AS: terjadi penurunan 38%. Artinya, kinerja ekonominya memburuk, terkontraksi dan terjadi resesi. Hal ini disampaikan oleh Badan Anggaran Kongres AS (The Congressional Budget Office/CBO) yang merilis prediksi pertumbuhan ekonomi AS yang kian suram. Selain itu, CBO memprediksi dengan melihat Produk Domestik Bruto (PDB) turun 38% secara tahunan (yoy) di kuartal II-2020, diikuti dengan 26 juta lebih penduduk menganggur.

Tergerusnya pertumbuhan ekonomi AS tersebut mengetengahkan bahwa ekonomi Kapitalisme dalam kondisi tidak tumbuh dengan baik; sedang ‘sakit’. Bahkan cenderung semakin terpuruk dan memburuk. Tidak hanya di AS, tetapi juga di dunia.

 

  1. Konsumsi masyarakat AS dan global semakin mengkhawatirkan.

Demikian juga terkait dengan indikator pembentuk pertumbuhan ekonomi riil; menunjukkan konsumsi masyarakat menurun. Hal ini disebabkan oleh banyak usaha dan bisnis ditutup sementara, pembatasan luas pada perjalanan dan mobilitas, gejolak pasar keuangan, erosi kepercayaan dan tingginya ketidakpastian ekonomi. Selain itu, disebabkan oleh pendapatan masyarakat kian tidak menentu. Apalagi jumlah PHK semakin meningkat pada kisaran 26 juta. Dalam lingkungan yang berubah dengan cepat tersebut, sangat sulit untuk mengukur besarnya dampak dari langkah-langkah ini terhadap pertumbuhan PDB. Namun, jelas hal itu menyiratkan kontraksi tajam pada pengeluaran rumah tangga di Amerika sendiri.

Catatan ini memberikan perkiraan ilustrasi bahwa dampak langsung awal pandemi menjadi dasar bahwa pola konsumsi di seluruh negara dan setiap sektor dan kategori pengeluaran di semua negara terimbas secara signifikan. Dengan demikian, pandemi menyebabkan terjun bebasnya daya beli konsumsi masyarakat di AS. Selain karena tingkat inflasi, juga pendapatan masyarakat yang turun.

 

  1. Sektor minyak dan gas yang tak berprospek.

Di AS, perubahan dramatis juga terjadi di pasar energi sangat berisiko tinggi. Bahkan semakin unprospectable dan unpredictable. Di pasar global pun demikian. Harga minyak dunia terus mengalami kemerosotan atau penurunan. Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei turun 1,14 dolar AS atau 2,2%, menjadi menetap pada 49,99 dolar AS perbarel. Misalnya, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April turun 0,88 dolar AS atau menjadi 45.9 dolar AS perbarel. Kondisi tersebut mendorong investor untuk menjual lebih banyak aset berisiko seperti saham dan minyak mentah serta memarkir uang di tempat yang lebih aman. Demikian juga harga gas alam; telah turun rata-rata 20% sejak awal Februari. Kemungkinan ini lebih disebabkan oleh pemanasan musiman daripada dampak Covid-19. Penurunan 10% harga minyak telah menghasilkan sekitar 0,2% penurunan PDB AS pertahun. Artinya, pasar energi menjadi tidak prospektif di Amerika Serikat termasuk global.

 

  1. Terpuruknya sektor industri.

Semakin terpuruknya berbagai industri di AS akibat pandemi ini. Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan tingkat pengangguran melonjak menjadi 14,7% pada April lalu. Kota-kota dan seluruh negara bagian memberlakukan langkah-langkah wajib Social Distancing. Banyak bisnis terutama di industri restoran dan perhotelan, telah terpaksa ditutup. Banyak yang sudah mulai merumahkan staf atau menghentikan gaji mereka. Departemen Tenaga Kerja melaporkan bahwa 281.000 orang Amerika mengajukan pengangguran minggu lalu, meningkat tajam dari 70.000 dari minggu sebelumnya. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan kinerja bisnis dan industri yang sangat massif. Pasar tenaga kerja yang drastis menurun, juga karena daya saing produk yang kian menurun. Tak sedikit buruh dan pekerja di AS terkena PHK, sama seperti yang terjadi di negara-negara berkembang. Berdasarkan data pemerintah, sudah 26 juta orang di AS yang mengajukan klaim bantuan pengangguran. Hal ini terjadi tidak hanya di kelas menengah ke bawah. Kelas menengah atas hingga para pemegang modal layaknya pengusaha juga menjerit karena tercekik dampak pandemi. Oleh karena itu, kinerja industrinya kian menurun bahkan daya saing industrinya pun semakin terpuruk.

 

  1. Transportasi dan jasa yang memburuk.

Sektor transportasi dan jasa pada kinerja global maupun di AS sebagai sektor-sektor yang paling terkena dampak langsung. Kegiatan cenderung berkurang. Penurunan output berkisar antara 50-100%. Misalnya untuk sektor jasa, kegiatan yang melibatkan perjalanan, termasuk pariwisata, dan kontak langsung antara konsumen dan penyedia layanan, seperti penata rambut atau pembelian rumah, jelas terkena dampak negatif dari pembatasan pergerakan dan jarak sosial. Sebagian besar pengecer, restoran dan bioskop juga tutup, meskipun penjualan takeaway dan penjualan online dapat mencegah penghentian penuh aktivitas di beberapa bisnis. Sektor konstruksi juga terkena dampak negatif, baik karena kebijakan Lock Down yang mempengaruhi ketersediaan tenaga kerja atau juga karena pengurangan sementara dalam investasi. Akibatnya, kebijakan menghadapi wabah pandemi mendorong berhentinya produsen peralatan transportasi. Hal itu sering kesulitan dalam mendapatkan input yang diperlukan dari pemasok di negara lain. Secara keseluruhan, sektor-sektor yang terkena dampak menyumbang antara 30-40 % dari total output di sebagian besar ekonomi.

 

  1. Pasar uang dan pembiayaan yang semakin terpuruk.

AS termasuk negara yang mempunyai utang negara terbesar di dunia. Artinya, pasar modal dan moneter negara ini kian memburuk hingga kini. Selain karena pembiayaan pandemi, juga pembiayaan pembangunan lainnya. Adapun untuk pengajuan utang senilai US$3 triliun, atau setara Rp 45 kuadriliun, pada kuartal kedua, untuk mendanai paket stimulus terkait virus Corona. Paket stimulus tersebut turut mencakup pendanaan kesehatan serta bantuan langsung tunai. Total utang Pemerintah AS saat ini mendekati US$25 trilliun atau sekitar Rp 276 kuadriliun. AS berutang dengan menjual obligasi Pemerintah. Secara historis obligasi Pemerintah memiliki suku bunga yang relatif rendah karena dipandang minim risiko oleh investor di seluruh dunia. Lemah dan keroposnya landasan ekonomi moneter ini pun menunjukkan serta membuka mata khalayak dunia, bahwa pasar uang adalah sistem ekonomi yang tersegregasi dari sektor riil. Artinya, selama ini di AS mempunyai resiko di pasar uang berdampak terhadap pasar uang di pasar global. Hal ini karena bantalan ekonominya sangat rentan dan riskan dalam menopang industrialisasi.

 

  1. Tekanan angka kemiskinan global makin dalam.

Angka kemiskinan global semakin menekan kuat terhadap perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi. Bahkan perbulan April 2020 dampak pandemi sangat kuat mendorong kisaran 60 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem. Sejak itu, pusat pandemi telah bergeser dari Eropa dan Amerika Utara ke selatan global. Kondisi tersebut yang menyebabkan naiknya jumlah kematian di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, menyebabkan penutupan yang lebih lama, dan meningkatkan biaya ekonomi pandemi. Akibatnya, perkiraan tentang dampak virus terhadap kemiskinan global telah bergeser juga. Dengan kata lain, perekonomian global, selain makin tidak berkualitas, juga makin meningkatkan jumlah orang miskin. Artinya, pandemi tidak mampu diselesaikan oleh sistem ekonomi yang ada saat ini.

 

Skenario Kebangkrutan AS Miss-management, Utang dan Kebangkrutan.

Kebangkrutan AS ditandai dengan berbagai perusahaan besar dan sangat menopang perekonomiannya mengalami pailit. Bahkan pernah beberapa kali terjadi. Kebangkrutan ini disebabkan oleh kegagalan dalam restrukturisasi utang, rasio utang terhadap PDB nasionalnya sangat tinggi dan oleh miss-management. Misalnya 1929-1939 menandai sebuah era ‘The Great Depression’ dalam alur sejarah Negeri Paman Sam. Berikutnya pada 2008 AS pun pernah kembali mengalami resesi dan inflasi, yang memberikan dampak besar; tak hanya bagi dalam negeri, namun juga perekonomian luar negeri. Ini terulang kembali, akibat adanya pandemi. Banyak perusahaan besar dan strategis juga mengalami masalah likuiditas. Misalnya produsen minyak serpih, Kilang dan perusahaan pipa AS berebut untuk mencari likuiditas serta dihadapkan dengan tekanan restrukturisasi utang.

Selain pada perusahaan besar juga terjadi di beberapa kota di AS. Misalnya, kebangkrutan Kota Detroit sebagai sebuah kota yang pernah menjadi kota terbesar ke-4 dan pusat industri otomotif AS. Hal ini dipicu oleh industri otomotif di kota tersebut yang mengalami kebangkrutan. Petisi kebangkrutan Detroit ditangani oleh U.S. Bankruptcy Judge Steven Rhodes pada 3 Desember 2013.

Terjadinya kebangkrutan pada beberapa industri strategis nasional AS, mendorong dunia kehilangan kepercayaan pada kemampuan pemerintah AS untuk membayar utangnya, atau tingkat bunga utang sangat tinggi. Meskipun secara artifisial AS mempunyai kemampuan untuk mencetak uang dalam upaya pengendalian, hal itu tidak mudah dalam pengendalian suku bunga dan inflasi. Ini akan mempengaruhi stabilisasi ekonomi dan daya saing.

 

Krisis, Kebangkrutan, dan Utang Global: Awal Menuju Runtuhnya Ekonomi Kapitalisme

Penyebab kebangkrutan AS tentu merupakan pukulan kuat atas kepercayaan global terhadap kekuatan ekonomi kapitalisme. Terutama dalam menyelesaikan berbagai masalah ekonomi global yang saat ini sedang terjadi. Termasuk pandemi Corona. Hal ini menunjukkan pilar ekonomi pasar uang hanya mengandalkan spekulasi dan transaksi yang bersifat untangible. Selain itu, sangat sensitif menuai goncangan ekonomi. Tentu saja, hal ini mendorong sentimen negatif dari pasar uang di AS sendiri maupun global justru banyak menimbulkan berbagai masalah dalam sistem ekonomi riil. Artinya, krisis ekonomi 1998, krisis global 2008 dan ancaman default AS adalah realitas yang memperlihatkan superioritas ekonomi kapitalisme yang moneter-minded. Bahkan membentuk terjadinya bubble economic yang sangat rentan oleh guncangan ekonomi.

Pilar ekonomi pasar moneter sangat tidak mudah menemukan titik temu secara fundamental dan permanenen mengenai wujud atau implikasi nyata terhadap sektor riil, berupa investasi langsung yang berdampak pada perluasan lapangan kerja, dan penurunan tingkat kemiskinan secara sistematis. Hal ini juga menjadi masalah ekonomi global yang saat ini dianut. Sistem kapitalisme menghasilkan banyak persoalan baru yang tidak mudah diimplementasikan dan disingkronisasikan di setiap negara. Bahkan membutuhkan biaya sangat tinggi. Juga mempunyai lag-time sangat tinggi. Selain itu belum tentu sesuai dengan kondisi perekonomiannya. Karena itu perlu banyak dilakukan penyesuaian. []

 

 

0 Comments

Leave a Comment

11 − 8 =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password