“akhafu adh-dhararain” Atau “ahwanu asy-syarrayn”
Soal:
Kaidah “akhafu adh-dhararain” atau “ahwanu asy-syarrayn” sering dijadikan alasan oleh banyak orang di antara para da’i dan gerakan islami untuk berpartisipasi dalam pemilu legislatif dan kepala negara. Apakah keduanya termasuk kaidah syar’iyyah? Apakah sebagian fukaha mengatakan demikian? Apa dalil-dalil mereka dan apa bantahan atasnya?
Jawab:
Pertanyaan terkait kaidah ini kami telah jawab pada 29 Agustus 2010 sebagai berikut:
Kaidah “Ahwanu asy-Syarrayn” atau “Akhafu adh-Dhararayn” merupakan kaidah syar’iyyah menurut sejumlah fukaha. Keduanya merujuk ke makna yang sama, yaitu kebolehan melakukan salah satu dari dua perbuatan haram, yakni yang lebih kecil keharamannya jika seorang mukallaf tidak bisa kecuali melakukan salah satu dari dua keharaman itu, dan dia tidak mungkin meninggalkan keduanya sekaligus. Hal itu tidak mungkin, yakni di luar kemampuannya dari segala sisi. Allah SWT berfirman:
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS al-Baqarah [2]: 286).
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ ١٦
Bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian (QS at-Taghabun [64]: 16).
Artinya, kaidah ini menurut mereka yang mengatakannya, tidak berlaku kecuali jika terhalang untuk meninggalkan dua keharaman, dan tidak mungkin mencegah diri dari dua keharaman itu sekaligus kecuali dengan keharaman yang lebih besar terjadi. Saat demikian dia mengambil dharar (bahaya) yang lebih ringan.
Para ulama itu juga tidak menjadikan penentuan dharar yang lebih ringan dari dua dharar itu menurut hawa nafsu, tetapi sesuai hukum-hukum syariah. Menjaga dua jiwa lebih utama dari menjaga satu jiwa. Menjaga tiga jiwa lebih utama…dst. Begitulah. Menjaga jiwa lebih dikedepankan atas penjagaan harta. Menjaga Darul Islam, termasuk di dalamnya menjaga agama, dan itu lebih utama dari menjaga jiwa dan harta. Jihad dan al-imâmah al-‘uzhma (al-Khilafah), keduanya termasuk di dalam menjaga agama, termasuk dharurat yang pertama dan paling utama.
Al-‘Alim asy-Syathibi mengatakan di dalam Al-Muwâfaqât: “Sesungguhnya jiwa itu dihormati, dijaga dan dituntut untuk dihidupkan. Jika terjadi perkara antara menghidupkan jiwa dan lenyapnya harta, atau lenyap jiwa dan penghidupan (penjagaan) harta, maka menghidupkan jiwa lebih utama…”
Di antara contoh yang disebutkan oleh para ulama sebagai penerapan kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
- Jika seorang ibu mengalami kesulitan dalam melahirkan dan terjadi ketidakmampuan untuk menyelamatkan ibu dan janin sekaligus, sementara perkaranya memerlukan keputusan cepat: menyelamatkan ibu dan ini menuntut kematian janin atau menyelamatkan janin dan ini menuntut kematian ibu. Jika perkaranya dibiarkan dan tidak dilakukan operasi yang berakibat kematian salah satu dari keduanya untuk menyelamatkan yang lainnya, atau mempertahankan kehidupan salah satu dengan kematian yang lain, maka akan menyebabkan kematian keduanya sekaligus. Dalam contoh keadaan semisal ini maka dikatakan “ahwanu asy-syarrayn (keburukan yang lebih ringan)” atau “aqallu al-harâmayn (yang lebih kecil keharamannya)” atau “akhafu al-mafsadatayn (yang lebih ringan mafsadatnya),” yaitu dengan mengedepankan operasi yang menyelamatkan siapa yang dituntut untuk diselamatkan, yakni sang ibu, walaupun perbuatan itu sendiri menjadi pembunuhan untuk yang lain (si janin).
- Seseorang diancam dengan kebinasaan atau dibunuh oleh seseorang yang lain, atau akan ditimpa serangan keras pada badannya atau organnya, atau seorang wanita akan dizinai (diperkosa), di hadapan seorang mukallaf yang mampu menghalangi kemungkaran-kemungkaran itu, sementara dia harus menunaikan shalat fardhu yang hampir habis waktunya. Lalu apakah dia menghalangi keharaman itu sehingga dia meluputkan penunaian kewajiban (shalat) atau dia menunaikan kewajiban itu pada waktunya dan keharaman itu pun terjadi, sementara waktu tidak ada untuk bisa melakukan kedua perkara itu sekaligus. Di sini diterapkan kaidah tersebut. Perbandingan itu juga berasal dari syariah yang menjadikan penghilangan keharaman-keharaman yang disebutkan itu lebih ditegaskan dari penunaian kewajiban yang disebutkan itu. Andai mungkin melakukan kedua kewajiban itu sekaligus, niscaya keduanya wajib dilakukan.
- Contoh lainnya yang disebutkan oleh Imam al-Ghazali dan Izzuddin bin Abdi as-Salam rahimahumalLâh. Tampak di dalamnya bagaimana menerapkan kaidah “ahwanu asy-syarrayn” menurut beliau berdua. Juga tampak perbandingan di antara hukum-hukum. Al-‘Izz berkata di dalam bukunya, Qawâ’idu al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm: “Jika bertemu mafsadat-mafsadat yang pasti maka jika mungkin mencegahnya, kita cegah. Jika terhalang mencegah semuanya maka kita cegah yang paling mafsadat dan yang berikutnya dan seterusnya, yang paling buruk dan yang berikutnya dan seterusnya…” Kemudian beliau menyebutkan contoh-contoh: “Seseorang dipaksa membunuh seorang Muslim yang mana andai dia tidak mau maka dia akan dibunuh, maka dia harus mencegah mafsadat pembunuhan itu dengan bersabar atas pembunuhan (dibunuh). Pasalnya, kesabarannya atas pembunuhan (dibunuh) itu lebih kecil mafsadatnya dari melakukan pembunuhan terhadap orang lain…”
Ini adalah contoh yang jelas bahwa itu merupakan pemilihan mafsadat atau keharaman yang lebih ringan. Sebab, dia tidak bisa terlepas dari salah satunya. Seandainya dia bisa menghalangi dua mafsadat itu sekaligus maka hal itu wajib bagi dirinya.
Beliau berkata pada contoh lainnya: “Demikian juga seandainya dia dipaksa (diancam) akan dibunuh untuk memberikan kesaksian palsu/bohong atau memutuskan dengan batil. Jika orang yang dipaksa untuk memberikan kesaksian palsu/bohong atau memutuskan dengan batil itu diancam (dipaksa) akan dibunuh, dipotong organ tubuhnya, menghalalkan (memakan) sesuatu yang diharamkan, maka dia tidak boleh memberikan kesaksian palsu dan tidak boleh memutuskan dengan batil. Pasalnya, pasrah untuk dibunuh lebih utama daripada menyebabkan pembunuhan seorang Muslim bukan karena dosa, atau dia diancam dipotong organnya, atau diserang kehormatannya. Dia tidak boleh memberikan kesaksian palsu. Sebaliknya, dia harus bersabar di atas pembunuhan (dibunuh) sebab menyerah untuk dibunuh lebih utama dari membunuh seorang Muslim lainnya.”
Artinya, kondisi yang bisa mengamalkan “akhafu al-harâmayn” atau “akhafu al-mafsadatayn” yaitu kondisi tidak saat mampu menghindari dua keharaman itu semuanya atau menghalangi keduanya sekaligus.
Ini contoh-contoh penerapan kaidah “akhafu adh-dhararayn” menurut apa yang disebutkan oleh ulama yang mengambil kaidah itu.
Namun demikian, bukan termasuk contoh penerapan kaedah ini apa yang dipasarkan oleh para syaikh penguasa, atau orang-orang yang menginginkan kaum Muslim untuk menyimpang dari hukum-hukum syariah dengan menggunakan penyesatan dan alasan-alasan batil.
Sesungguhnya orang-orang yang mengamalkan kaidah tersebut untuk melakukan keharaman ini tanpa keharaman yang itu dengan menjustifikasi perbuatan mereka bahwa mereka khawatir dipenjara atau dipecat dari jabatan/pekerjaan mereka maka ini bukan penerapan dari kaidah ini.
Demikian juga orang-orang yang mengatakan, “Kami berpartisipasi dalam pemerintahan kufur meski itu adalah haram supaya kita tidak membiarkan berbagai posisi/jabatan pemerintahan semuanya untuk orang-orang fasik. Alasannya, membiarkan pemerintahan untuk mereka adalah keharaman yang lebih besar.”
Ini bukan dari penerapan kaidah tersebut. Sebaliknya, itu seperti orang yang mengatakan, “Kita buka bar tempat mimuman keras dan kita peroleh materi darinya daripada orang kafir yang membukanya dan dia yang mendapatkan harta itu.”
Juga bukan termasuk penerapan kaidah tersebut, yakni menyodorkan kepada seseorang dua perkara haram lalu dia melakukan yang lebih ringan dari keduanya. Padahal dia mampu mencegah diri dari keduanya sekaligus. Seperti ucapan orang yang mengatakan, “Pilihlah si Fulan meski dia seorang yang sekular atau fasik,” atau, “Dukunglah si Fulan dan jangan dukung yang lain, karena yang pertama membantu kita dan yang kedua tidak membantu kita,” atau semacam itu.
Yang harus dikatakan di sini: dua perkara yang disodorkan di depan kita itu adalah haram. Jadi kita tidak boleh memilih seorang sekular dan tidak boleh mewakilkannya atau mendelegasikannya untuk mewakili seorang Muslim dalam mengungkapkan pendapat. Pasalnya, dia tidak berpegang dengan Islam dan karena dia melakukan perbuatan-perbuatan yang haram yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang mewakilkan itu sendiri seperti penetapan hukum (legislasi) atau menyetujui proyek-proyek (rencana-rencana) haram; juga seperti menuntut pertanggung-jawaban dengan keharaman dan menerimanya serta berjalan di dalamnya. Intinya, dia melarang kemakrufan dan memerintahkan kemungkaran. Oleh karena itu tidak boleh memilih siapapun dari keduanya. Pasalnya, memilih yang ini atau yang itu adalah haram. Tidak memilih yang ini atau tidak memilih yang itu termasuk dalam batas kemampuan (hal yang mampu dilakukan).
Bukan pula bagian dari penerapan kaidah “akhafu adh-dhararayn”, menyodorkan dua perbuatan haram kepada seorang Muslim, sementara mencegah diri dari keduanya masih termasuk dalam kemampuannya. Lalu dia memilih yang lebih ringan menurut hawa nafsunya dan melakukannya dengan anggapan bahwa di dalam mencegah diri dari dua keharaman itu ada kesulitan!
Seharusnya dia wajib mencegah diri dari semua keharaman itu selama hal itu mampu (berada dalam batas kemampuannya) menurut hukum-hukum syariah.
Inilah gambaran singkat dari kaidah “akhafu adh-dhararrayn” atau “ahwanu asy-syarrayn”.
[Dari Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, Syaikh Atha Abu Rasytah, 10 Ribi’ul Awwal 1442 H/27 Oktober 2020 M]
Sumber:
1 http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/71323.html
2 http://archive.hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php/HTAmeer/QAsingle/4077
3 https://web.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/photos/a.1705088409737176/2776472869265386/
0 Comments