Munafik
Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara berdusta, jika berjanji ingkar dan jika diberi amanah berkhianat.
++++
Melalui hadis shahih riwayat al-Bukhari, Rasulullah saw. menyebut ayat atau tanda-tanda orang munafik. Munafik itu, dikatakan oleh Imam al-Jurjani dalam At- Ta’rifat, sebagai menampakkan keimanan dengan perkataan dan menyembunyikan kekafiran di dalam hati. Karena itu, kita tidak tahu kekafirannya secara nyata. Namun, tanda-tandanya terlihat. Tanda-tanda itulah yang disebut oleh Baginda Rasulullah saw. dalam hadis tadi.
Melalui hadis di atas, Rasulullah saw. ingin menunjukkan, serapat-rapat kebusukan ditutupi, pasti akan terlihat juga tapak-tapaknya. Pertama: Jika berbicara berdusta. Orang yang beriman kepada Allah, tentu akan menjaga setiap perkataannya agar selalu benar. Ia yakin, setiap kata yang keluar dari mulutnya pasti didengar Allah, dan pasti akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya kelak. Karena itu, ia akan sangat menjaga agar tak ada dusta dalam tiap ia bicara. Sebaliknya, orang munafik, karena rapuh imannya kepada Allah, dengan mudah berdusta saat berbicara.
Kedua: Jika berjanji, ingkar. Seorang Muslim yang baik akan selalu menunaikan amanah dan janji-janjinya. Kata Nabi saw., kesediaan seseorang untuk selalu menepati janji berkait erat dengan kualitas keimanannya. Karena itu, ia tidak akan berjanji untuk sekadar menyenangkan hati, yang ia tahu tidak akan ditepati. Kalau tahu tidak akan bisa menepati, ia tidak akan berjanji. Demikianlah sikap seorang Muslim sejati, ketika berjanji akan berusaha selalu menepati. Oleh karena itu, jika pada faktanya ada seseorang sangat mudah berjanji, dan semudah itu pula ia ingkari, maka pasti ada yang tidak beres pada dirinya.
Ketiga: Jika diberi amanah, khianat. Amanah adalah bentuk kepercayaan satu pihak yang diberikan kepada dirinya. Kepercayaan ini mahal sehingga harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Sikap terhadap amanah berkorelasi dengan keimanan. Kata Nabi saw., tidak ada iman buat orang yang tak menunaikan amanah. Di antara yang terpenting adalah amanah kepemimpinan politik, karena hal ini menyangkut nasib banyak orang, bahkan nasib bangsa dan negara.
Kesediaan memegang amanah, berkata jujur dan menepati janji itulah yang kiranya kini menjadi problem besar pada kepemimpinan di negara ini. Sebegitu parahnya soal ini, bahkan mahasiswa menggelari Presiden dengan sebutan The King of Lip Service. Para mahasiswa, khususnya pengurus BEM UI yang memberikan gelaran itu, juga BEM universitas lain, sebagaimana masyarakat pada umumnya, tentu melihat ada sekian banyak yang dijanjikan Presiden tidak ditepati. Juga ada sekian banyak omongannya yang diingkari.
Sekadar contoh, Presiden berulang mengatakan akan memperkuat KPK. Nyatanya sebaliknya. Malah memperlemah. Lihatlah, RUU Revisi KPK yang begitu keras ditolak keras oleh publik karena nyata akan melemahkan KPK, tetap saja diajukan lalu disahkan Parlemen. Ditambah lagi, TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) yang menggusur sekian puluh pegawai yang selama ini justru dikenal sebagai tulang punggung kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi juga dibiarkan saja. Lalu dimana tekad Presiden yang katanya akan memperkuat KPK itu?
Juga, katanya Presiden ingin stop impor pangan. Nyatanya, impor beras terus berjalan bahkan di saat jelang panen raya. Lalu katanya stop utang. Nyatanya, utang makin bejibun. Katanya rindu didemo. Namun, ketika benar-benar didemo, para pendemo justru dihadapi dengan represif.
Masih banyak lagi contoh lain dari janji Presiden yang tidak ditepati dan ucapannya yang diingkari. Publik mencatat ada lebih dari 65 janji Presiden yang hingga kini tidak ditepati.
Jadi, pemberian gelar itu boleh disebut puncak dari kekesalan mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, melihat pemimpinnya yang tidak amanah dan begitu mudah mengingkari janji. Gelaran The King of Lip Service itu sangatlah sarkas. Kalau diterjemahkan bebas artinya: Raja Ngibul!
++++
Selain tentang tanda-tanda munafik, jauh hari Nabi saw. juga telah mengingatkan kita tentang watak-watak buruk seorang pemimpin. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah, misalnya, Nabi saw. menyebut ruwaibidhah. Dalam hadis tersebut, Nabi saw. menceritakan bakal datangnya tahun-tahun yang penuh tipuan. Saat itu pendusta dikatakan benar dan orang yang benar dikatakan dusta. Pengkhianat disuruh memegang amanah dan orang yang amanah dikatakan pengkhianat. Pada waktu itu yang berkesempatan berbicara hanyalah golongan ruwaibidhah. Para Sahabat bertanya, siapa yang dimaksud ruwaibidhah itu? Nabi saw. menjelaskan, dialah orang kerdil, hina dan tidak mengerti bagaimana mengurus orang banyak.
Dalam hadis riwayat ath-Thabarani, Nabi saw. mewanti-wanti untuk kita bersegera beramal sebelum datang enam perkara. Yang pertama disebut bakal munculnya kepemimpinan orang bodoh (imaratus- sufaha). Dalam hadits riwayat Ahmad, imaratus-sufaha didiskripsikan Nabi saw. sebagai para pemimpin yang tidak mengikuti petunjuk Nabi saw. dan tidak meneladani sunnah beliau.
As-Sufahâ‘ bentuk jamak dari safîh, memang maknanya orang bodoh, kurang akal dan keahlian, ahlu al-hawa (memperturutkan hawa nafsu), sembrono/gegabah, buruk tindakan dan penilaian. Karena bodohnya itu, as-sufahâ‘ tidak boleh diberi kepercayaan untuk mengelola hartanya sendiri, sebagaimana disebut dalam surah an-Nisa’ ayat 5. Sebagai gantinya, harus ada washi’ yang diangkat untuk mengurusi harta orang as-sufahâ‘ itu. Jadi, as-Sufahâ’ di-hijr (dilarang untuk bertransasksi). Jika mengelola harta milik sendiri saja tidak boleh, bagaimana bisa as-sufahâ‘ dipercaya mengurusi atau memimpin orang banyak?
Terhadap imaratus-sufaha, Nabi saw. berpesan di dalam hadis yang sama untuk tidak membenarkan pemimpin semacam itu, apalagi kemudian menolong dia. Sebabnya, sabdanya, “Siapa saja yang membenarkan mereka dengan kebohongan mereka dan menolong mereka atas kezaliman mereka maka dia bukan golonganku dan aku bukan bagian dari golongannya dan dia tidak masuk ke telagaku. Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan mereka dengan kebohongan mereka dan tidak menolong mereka atas kezaliman mereka maka dia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya dan dia akan masuk ke telagaku.”
Kepada kepemimpinan ruwaibidhah, kita tidak boleh membenarkan, apalagi menolong. Kepemimpinan semacam ini—apalagi bila ditambah dengan sikap yang tidak amanah, ingkar janji dan gemar berdusta—pasti akan membawa kezaliman, ketidakadilan dan kerusakan. Itulah yang ini hari kita rasakan.
Keadaan buruk itu bukan hanya terjadi di pucuk pimpinan, tetapi juga dilakukan oleh para pejabat dan tokoh elit di pusat kekuasaan. Lihatlah, ini hari begitu keras tindakan kepada siapapun, baik pejabat, dosen atau guru, ulama, ustadz, bahkan juga mahasiswa dan pelajar yang kedapatan menampakkan dukungannya pada syariah dan khilafah serta organisasi yang memperjuangkan ide itu, karena dianggap bertentangan dengan Pancasila. Pada saat yang sama dengan ringannya sang tokoh memuji-muji Komunisme dan Partai Komunis Cina. Peristiwa itu terjadi begitu saja. Seolah tak bermasalah. Bagaimana bisa di satu sisi syariah dan khilafah yang merupakan ajaran Islam—yang dipeluk oleh mayoritas penduduk negeri ini—begitu keras diperangi, karena dikatakan bertentangan dengan Pancasila, sedangkan Komunisme malah dipuja-puji. Apakah Komunisme itu sesuai dengan Pancasila? [H. M. Ismail Yusanto]
0 Comments