Fir’aun

Seorang tokoh terkenal, mantan menteri, meramalkan—tepatnya memperkirakan—rezim ini bakal jatuh paling lambat akhir catur wulan kedua tahun ini. Dalam sebuah pertemuan pribadi, yang tidak boleh didokumentasikan sama sekali, ia dengan sangat gamblang menjelaskan satu persatu argumennya. Intinya, rezim ini bakal jatuh tersebab krisis ekonomi tak tertahankan, yang ditimbulkan oleh paling sedikit 4 gelembung yang siap meledak dahsyat.
Pertama: Gelembung nilai tukar rupiah terhadap US dolar. Menurut dia, nilai tukar yang ada sekarang adalah nilai semu. Sebabnya, ada doping berupa pinjaman dana dari luar negeri dalam US dolar yang terus-menerus masuk. Nilai tukar sebenarnya jauh di bawah yang ada sekarang. Pertanyaannya, sampai kapan doping itu bisa terus dilakukan?
Kedua: Gelembung utang. Untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, mega proyek kereta cepat dan lainnya, Pemerintah mengambil pinjaman dari luar negeri. Akibatnya, utang makin menumpuk. Bila ditambah dengan utang-utang BUMN dengan skema B to B, jumlah utang itu sudah lebih dari Rp 10.000 triliun. Beberapa di antaranya, mulai bulan Maret ini, bakal jatuh tempo. Bagaimana membayarnya?
Ketiga: Gelembung mega korupsi. Baru saja terbongkar mega korupsi di sejumlah lembaga keuangan non-bank seperti Jiwasraya dan Asabri. Menurut dia, masih ada beberapa lagi yang mengalami keadaan serupa. Total kerugian bisa mencapai Rp 150 triliun. Hal ini membuat lembaga-lembaga itu mengalami kesulitan ketika tiba kewajiban membayar kepada para nasabahnya.
Keempat: Gelembung unicorn. Saat ini tengah terjadi persaingan dahsyat di antara perusahaan-perusahaan e-commerce untuk bisa menjadi pemenang. Untuk itu, mereka tak segan menggelontorkan dana sangat besar untuk promosi melalui pemberian aneka diskon. Istilahnya bakar uang. Tentu, tidak semua bisa menjadi pemenang. Kehancuran yang kalah akan membawa implikasi ekonomi yang sangat serius.
Nah, ketika doping nilai tukar tidak lagi bisa dilakukan karena tidak ada lagi dana pinjaman masuk, apalagi pada saat yang sama diperlukan US dolar untuk membayar pinjaman, maka nilai rupiah makin tertekan. Jatuh tak tertolong. Akibatnya, terjadilah krisis ekonomi, yang bakal menyeret krisis sosial, bahkan politik.
Hancurnya nilai tukar rupiah akan berdampak pada penyediaan bahan baku industri. Harganya pasti akan melambung. Para produsen akan terpaksa menaikkan harga jual produk dan atau mengurangi kapasitas produksi, yang berakibat pada rasionalisasi tenaga kerja. Mungkin akan berakhir dengan PHK. Ketika pertumbuhan ekonomi terus menurun sehingga lapangan kerja tidak tercipta, lalu ditambah dengan PHK, maka pengangguran akan makin meningkat tajam. Ini bisa memicu krisis sosial. Kejadian 1998 tampaknya akan berulang. Akankah ini menjadi awal dari jatuhnya rezim?
Ingat, pada tahun 1998, ketika terjadi krisis moneter yang kemudian berlanjut dengan krisis ekonomi dan sosial, rezim Orde Baru akhirnya tumbang. Rezim yang puluhan tahun tampak sangat perkasa, saat semua lini kekuatan ada di tangannya, tak berdaya menghadapi faktor-faktor luar atau eksternalitas berupa krisis yang bertubi-tubi terjadi di luar kendalinya.
++++
Teringat kita pada kisah Fir’aun. Fir’aun boleh disebut sebagai prototipe rezim zalim. Sangat represif. Kegemarannya memecah-belah dan mengadu-domba rakyat. Menghalangi kritisisme. Dengan segala cara, semua potensi perlawanan ditindas. Dimatikan. Bahkan bayi lelaki tak dibiarkan tumbuh dewasa. Dihabisi. Khawatir kelak bakal melawan dirinya. Rakyat tak berdaya menghadapi semua angkara murka rezim ini. Puncak kezalimannya adalah ketika Fir’aun mendakwa diriya sebagai Tuhan. ‘Ana rabbukumul a’la…’
Fir’aun tidak sendiri. Kekuasaan zalimnya itu bisa tetap tegak karena ditopang oleh para begundal atau kroni-kroni yang mengitari dirinya, seperti Haman, Bal’am dan Qarun. Mereka berasal dari kalangan aparat yang siap menghantam dengan keras siapa saja yang kritis. Apalagi sampai berani melawan junjungannya. Mereka adalah para cerdik pandai, termasuk para ulama, yang selalu memberikan legitimasi terhadap setiap pikiran dan tindakan Fir’aun. Mereka menyampaikan fatwa dan aneka argumen yang tampak ilmiah untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Selain mereka adalah para pemilik modal (kapitalis) yang siap memasok dana berapapun bagi berbagai keperluan mempertahankan kekuasaan. Saat yang sama mereka menghisap sumber-sumber daya ekonomi yang ada untuk menambah pundi-pundi kekayaan mereka.
Fir’aun, Haman, Bal’am dan Qarun adalah simbol manusia-manusia durhaka dengan keangkuhan dan kezaliman yang puncak. Fir’aun adalah simbol kekuasaan. Haman adalah simbol pengetahuan. Bal’am simbol kekerasan. Qarun adalah simbol kekayaan. Mereka membentuk rezim oligarkis yang menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya.
Kekhawatiran akan munculnya tokoh-tokoh berkarakter Fir’aun, Haman, Bal’am dan Qarun pada masa kini semakin nyata. Ada pemimpin diktator yang bertindak semau-maunya. Ada para ilmuan atau intelektual serta para ulama yang menggadaikan ilmunya demi keuntungan pribadi. Ada aparat yang mengabdi pada kekuasaan. Juga ada para pengusaha yang semakin rakus dalam mengeksploitasi kekayaan Negara. Ini adalah tanda-tanda kemunculan Fir’aun, Haman, Bal’am dan Qarun abad modern. Mereka adalah manusia jahat nan rakus. Mereka selalu khawatir kekuasaan, jabatan dan harta mereka akan jatuh ke tangan orang lain. Karena itu dengan segala cara mereka mempertahankan apa yang mereka miliki.
Namun, tak ada yang abadi di dunia ini. Termasuk kekuasaan. Rezim Fir’aun yang begitu kuatnya toh akhirnya tumbang juga. Dengan cara yang amat menghinakan. Tenggelam di dasar samudera nan dalam. Rezim ini jatuh bukan karena Musa kuat. Saat itu Musa justru sangat lemah. Posisinya terjepit di antara Fir’aun dan balatentaranya yang makin mendekat dengan lautan yang amat dalam. Ia pasrah. Ia yakin, Allah Yang Mahaperkasa tak akan membiarkan hamba-Nya menjadi mangsa sang durjana yang telah menganggap dirinya bagai sang kuasa. Akhirnya, terjadilah apa yang terjadi. Laut Merah yang semula menghadang dirinya, tak dinyana bisa membelah sehingga dasarnya terlihat. Kering. Memberi jalan kepada siapa saja yang hendak lalu.
Lautan yang membelah itu adalah eksternalitas yang terjadi semata atas kuasa Allah. Satu sisi, ia adalah pertolongan Sang Pencipta yang memberikan jalan selamat bagi Musa dan para pengikutnya. Di sisi lain, ini adalah azab dari Allah yang menjadi akhir dari rezim zalim itu. Pasti tak seorang pun saat itu, baik Musa dan pengikutnya, maupun Fir’aun dan bala tentaranya, menduga lautan di depan mereka bakal membelah, lalu menutup kembali. Namun, itulah yang terjadi. Tak ada yang tidak mungkin bagi Allah, Sang Pencipta, yang berkuasa atas segala sesuatu. Jangankan sekadar membelahkan laut, menciptakan bumi lautan bahkan alam semesta pun bisa.
Setiba Musa dan para pengikutnya di seberang dengan selamat, lautan itu segera menutup kembali. Tanpa ampun menenggelamkan Fir’aun berikut semua bala tentaranya, sekaligus mempreservasi mereka. Ini memberikan pelajaran bagi manusia, khususnya rezim durjana, sesudahnya hingga era kita saat ini.
++++
Pertanyaannya, apa gerangan eksternalitas yang akan mengakhiri rezim, yang tampak begitu kokoh, saat hampir semua potensi perlawanan telah berhasil dilumpuhkan? Kalaupun potensi itu masih ada, kekuatannya terus melemah karena unsur-unsur penyusunnya telah dipecah-belah dan diadu-domba.
Mungkinkah eksternalitas itu berupa gelembung-gelembung pemicu krisis seperti yang dijelaskan oleh tokoh kita di atas? Allahu’alam. Yang pasti, ketika al-haq datang, al-batil pasti akan tumbang. Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini ketika Allah sudah berkehendak. [H.M. Ismail Yusanto]
0 Comments