Kritik Terhadap Reaktualisasi Fikih
Reaktualisasi fikih dalam arti menyesuaikan fikih dengan fakta. Ini hakikatnya adalah gerakan mengubah hukum syariah. Dengan dalih reaktualisasi fikih, hukum-hukum fikih yang ditetapkan dari dalil-dalil rinci dan qath’i, seperti potong tangan, rajam, qishash, dan sanksi-sanksi syariah lain, dihapus dan diganti dengan sanksi lain, seperti penjara dan denda. Dengan alasan reaktualisasi fikih, jilbab, kerudung, keharaman wanita menjabat kepala negara, dan lain-lain, dinyatakan tidak lagi berlaku. Hukum jihad, khilafah, murtad, dar al-kufr, kafir, dan hukum-hukum Islam lain dianggap tidak lagi sesuai dengan jaman, bertentangan dengan hak asasi manusia, dan harus dilawan.
Reaktualisasi fikih tidak hanya menyimpang, tetapi juga berbahaya. Hukum-hukum yang nyata-nyata berasal dari al-Quran dan as-Sunnah serta telah disepakati ulama sebagai bagian dari ajaran Islam (mujma‘ ‘alayh) diberangus secara semena-mena dengan alasan tidak sejalan dengan fakta.
Penyimpangan
Penyimpangan dan kekeliruan gagasan ini dapat dilihat dari beberapa hal berikut ini. Pertama: Fikih, sebagaimana dipahami ulama, adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah yang digali dari dalil-dalil yang rinci (Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, hlm. 3).
Syariah adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat Hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba, baik ditetapkan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 3/31).
Menurut Imam al-Ghazali, fikih mencakup kajian terhadap dalil-dalil dan arah yang ditunjukkan oleh dalil (makna), dari tinjauan yang rinci. Contohnya, penunjukkan sebuah hadis pada makna tertentu, misalnya nikah tanpa wali (Al-Ghazali, Al-Musthashfa min ’Ilm al-Ushul, hlm. 5).
Berdasarkan pengertian di atas, fikih ditetapkan berdasarkan dalil syariah—al-Quran, as-Sunnah, Ijmak dan Qiyas—bukan berdasarkan fakta. Fikih digali dari dalil syariah justru untuk menghukumi fakta. Bukan sebaliknya. Menjadikan fakta untuk menentukan hukum fikih jelas-jelas merupakan cara berpikir ngawur dan merusak otoritas hukum syariah dalam mengatur urusan manusia.
Nabi saw. tidak pernah menghukumi suatu perkara hingga turun wahyu yang menjelaskan. Khaulah binti Tsa‘labah pernah di-zhihar oleh Aus bin Shamit. Dalam tradisi Arab, zhihar termasuk bagian dari thalaq (cerai). Khaulah meminta fatwa kepada Nabi saw. atas kasusnya. Nabi saw. tidak segera memberi keputusan. Beliau menunggu wahyu turun. Beliau tidak bergeming walaupun didesak berkali-kali oleh Khaulah. Akhirnya, turun QS al-Mujadilah yang menjelaskan hukum zhihar. Seandainya hukum syariah boleh ditetapkan berdasarkan fakta, niscaya Nabi saw. tidak akan menunggu wahyu turun. Apalagi kasus tersebut harus segera mendapatkan fatwa hukum. Nabi saw. tidak memberi fatwa hingga Allah SWT menurunkan wahyu kepada beliau.
Dalam melaksanakan hukum-hukum Allah, Nabi saw. tidak pernah mempertimbangkan penerimaan maupun penolakan manusia. Beliau juga tidak pernah mempertimbangkan kebiasaan yang telah berlaku. Beliau menyampaikan hukum apa adanya. Tanpa ditambah atau dikurangi sedikitpun. Saat tiba di kota Madinah, penduduk Madinah telah terbiasa dengan jual-beli salam pada buah-buahan. Beliau menetapkan bahwa siapa saja yang melakukan salam, hendaknya dilakukan dengan takaran dan timbangan yang jelas, dan dilakukan hingga batas waktu yang jelas (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kedua: Penggiat reaktualisasi fikih berlindung di balik gagasan maqashid asy-syari’ah yang dicetuskan Imam asy-Syathibi. Mereka menyatakan, syariah Islam ditetapkan untuk mewujudkan maqashid asy-syari’ah. Kata mereka, semampang maqashid ini sudah bisa diwujudkan dengan hukum-hukum sekular, maka tidak ada kewajiban untuk menerapkan hukum-hukum fikih. Sebaliknya, jika penerapan fikih dianggap menafikan maqashid asy-syari’ah—yakni menjaga agama, jiwa, akal, harta, keturunan dan lain-lain—maka hukum fikih tersebut boleh ditolak atau diubah. Cara berpikir seperti ini, selain keliru, juga bertentangan dengan metodologi istinbath hukum yang benar.
Maqashid asy-syari’ah bukanlah ’illat seluruh hukum syariah maupun sebagiannya. Ia hanyalah natijah (hasil) dari penerapan hukum. Hukum ditetapkan berdasarkan dalil syariah, bukan maqashid asy-syari’ah. ’Illat harus berwujud ’illah syar’iyyah, bukan ’aqliyyah.
Dalil ada kalanya mengandung ’illat, ada kalanya tidak. Dalil yang menunjukkan keharaman riba dan kewajiban potong tangan dalam kasus pencurian tidak mengandung ’illat. Riba tetaplah haram, baik dipungut banyak atau sedikit, memberi manfaat atau tidak. Potong tangan tidak boleh diganti dengan sanksi lain, baik menimbulkan efek jera maupun tidak. Dalil-dalil yang tidak mengandung ’illat tidak boleh dicari-cari ’illat-nya, atau dinyatakan ’illat-nya adalah maqashid asy-syari’ah.
Adapun dalil yang mengandung ’illat maka ’illat yang terkandung di dalamnya harus dipahami sebatas pada konteks lafal dan maknanya, bukan berdasarkan maqashid asy-syari’ah. Sebagai contoh, ’illat perintah meninggalkan jual-beli saat dikumandangkan shalat Jumat adalah melalaikan shalat, bukan maqashid asy-syari’ah. Sebabnya, ’illat yang ditunjukkan oleh nas hanyalah “melalaikan shalat”, bukan maqashid asy-syari’ah.
Menurut Dr. Mahmud ’Abd al-Hadi Fa’ur, maqashid asy-syari’ah tidak ditujukan untuk menghapus syariah dan tidak pula menghapus hukum-hukum syariah. Maqashid asy-syari’ah adalah cabang syariah. Syariah adalah pokok. Cabang tidak boleh membatalkan pokok. Atas dasar itu, setiap pemikiran atau statemen yang menyerukan pencampakan syariah dan melanggar batas-batasnya harus dilawan. Apalagi jika upaya itu diatasnamakan Islam (Dr. Mahmud ’Abd al-Hadi Fa’ur, Al-Maqashid ’inda al-Imam asy-Syathibi Dirasat[an] Ushuliyat[an] Fiqhiyat[an], hlm. 5. Maktabah Syamilah).
Upaya menghapus syariah dan melanggar batas-batasnya adalah perbuatan jahat dan keji. Apalagi upaya itu dinisbatkan kepada Imam Syathibi. Padahal keteguhan Imam Syathibi di dalam memegang syariah tampak jelas pada salah satu karya beliau yang berjudul Al-Muwafaqat.
Ketiga: Penggiat reaktualisasi fikih juga bersandar pada kaidah:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيَّرِ الزَّمَانِ
Tidak diingkari perubahan hukum-hukum mengikuti perubahan zaman.
Kaedah ini dilansir oleh Majalah al-’Ahkam al-’Adliyah sekitar akhir Abad ke-19. Saat itu taraf berpikir umat Islam sudah mengalami kemerosotan yang sangat parah (Syaikh Muhammad Muhammad Ismail, Al-Fikr al-Islami; Buhuts wa Dirasat min Mawaqqi’ al-Islam al-Yawm, hlm. 314. Maktabah Syamilah).
Menurut mereka hukum fikih bisa berubah mengikuti perubahan tempat dan zaman. Cara berpikir seperti jelas-jelas keliru. Pasalnya, syariah Islam datang untuk menghukumi fakta yang ada di tengah-tengah masyarakat. Fakta buruk yang bertentangan dengan Islam wajib diubah agar sesuai dengan hukum syariah. Fakta (manath al-hukm) berkedudukan sebagai obyek yang dihukumi. Fakta bukanlah hukum maupun sumber hukum. Perubahan zaman dan fakta tidak memberikan pengaruh sama sekali terhadap penetapan hukum. Sebab, hukum digali dari dalil, bukan dari fakta.
Adanya perubahan fatwa hukum karena perbedaan tempat dan zaman sejatinya tidak terjadi pada hukum dan dalilnya, tetapi lebih disebabkan karena adanya revisi ijtihad dan perubahan fakta itu sendiri. Seorang mujtahid kadang-kadang merevisi ijtihadnya karena melihat ada kesalahan atau ada dalil yang lebih kuat. Ada kalanya fakta yang telah dihukumi dengan satu hukum mengalami perubahan seiring perubahan zaman dan tempat. Dalam kondisi seperti ini, hukum lama tidak lagi sesuai dengan fakta baru yang berubah sehingga diperlukan ijtihad baru. Dua keadaan ini sama sekali tidak menunjukkan adanya perubahan hukum karena perubahan tempat dan zaman.
Keempat: Propaganda terkeji dari penggiat reaktualisasi fikih adalah menuduh penerapan syariah Islam merupakan sumber bencana. Tuduhan ini untuk memperkuat anggapan bahwa mengubah hukum syariah agar sejalan dengan fakta merupakan upaya yang bisa ditoleransi. Reaktualisasi fikih dikesankan berhubungan dengan tindakan mencegah kerusakan akibat penerapan syariah Islam radikal, seperti Khilafah, jihad, hudud, dan lain sebagainya.
Faktanya, kerusakan kehidupan manusia di seluruh dimensi kehidupan sama sekali tidak berhubungan dengan penerapan syariah Islam. Sumber semua bencana adalah penerapan sistem kapitalis-sekular. Penerapan sebagian syariah Islam di beberapa bidang kehidupan, seperti ekonomi dan sosial kemasyarakatan, terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan dan rasa aman. Ekonomi syariah tetap kokoh dan tumbuh pada saat ekonomi kapitalis terseok-seok dalam krisis. Penerapan sanksi hudud mampu menekan angka kriminalitas.
Penerapan syariah Islam secara menyeluruh merupakan solusi atas problem manusia. Sebaliknya, tidak adanya penerapan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan merupakan sebab bencana dan kerusakan. Syaikh Wahbah az-Zuhaili, saat menjelaskan QS al-Anbiya‘ ayat 107, mengatakan, “Artinya, Kami tidaklah mengutus kamu, wahai Muhammad, dengan syariah al-Quran, serta petunjuk dan hukum al-Quran, kecuali agar menjadi rahmat bagi seluruh alam, baik dari kalangan jin dan manusia di kehidupan dunia dan akhirat. Siapa saja yang menerima rahmat ini, dan mensyukuri nikmat ini, maka ia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Siapa saja yang menolak dan mengingkarinya, maka ia merugi di dunia dan akhirat.” (Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, QS al-Anbiya‘ [21]: 107).
Penerapan syariah Islam secara kaffah meniscayakan keberadaan Khilafah Islamiyah. Islam dan negara (Khilafah) merupakan saudara kembar yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Imam al-Ghazali berkata:
وَالْمُلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَاُن حَارِسٌ، وَمَا لاَ أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
Kekuasaan (negara) dan agama merupakan saudara kembar. Agama adalah asas, sedangkan kekuasaan adalah penjaga. Kekuasaan tanpa asas akan binasa. Agama tanpa penjaga akan terlantar (Al-Ghazali, Ihya‘ ‘Ulum ad-Din, 1/17. Maktabah Syamilah).
Ulama sepakat atas kewajiban menegakkan Imamah atau Khilafah. Imam Ibnu Hazm menyatakan:
وَاتَّفَقُوْا أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ وَاَنَّهُ لاَ بُدَّ مِنْ إِمَامٍ حَاشَا النَّجْدَاتِ وَأَرَاءُهُمْ قَدْ حَادُوْا اْلإِجْمَاعَ
Ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu. Adanya seorang imam merupakan suatu keharusan, kecuali menurut kelompok Najdat, dan pendapat mereka telah menyimpang dari kesepakatan (Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma‘, 1/93. Maktabah Syamilah).
Mengingkari kewajiban Khilafah, apalagi menuduh Khilafah sebagai sumber bencana, merupakan kedustaan dan kemungkaran nyata. Pelakunya dianggap murtad, keluar dari Islam.
Kelima: Upaya mengubah hukum fikih juga didasarkan pada alasan bahwa hukum-hukum fikih (seperti Khilafah, hudud, jinayat, jihad, dan lain-lain) dianggap kuno dan tidak lagi sejalan dengan zaman. Hukum-hukum ini harus diubah dan diganti dengan hukum yang lebih modern dan demokratis. Tentu ini menyesatkan.
Hukum fikih yang digali dari dalil syariah yang rinci tetap dan tidak berubah. Ia berlaku di mana saja dan kapan saja. Hukum syariah tidak pernah berubah dengan adanya perubahan tempat dan zaman. Fikih selalu up date. Klasifikasi hukum fikih menjadi fikih klasik dan modern, dalam konteks reaktualisasi fikih, merupakan klasifikasi yang menyesatkan. Sebab, fikih merupakan hukum syariah yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Al-Quran dan as-Sunnah tidak pernah berubah serta tidak bisa diubah.
Khatimah
Sikap menyelisihi dan mengingkari hukum syariah yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i merupakan kekufuran dan tanda murtad dari agama Islam. Syaikh Wahbah Zuhaili menyatakan:
وَإِنْكَارُ حُكْمٍ مِنْ أَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ الَّتي ثَبَتَتْ بِدَلِيْلٍ قَطْعِيٍ، أَوْ زَعَمَ قَسْوَةَ حُكْمٍ مَا كَالْحُدُوْدِ مَثَلاً، أَوْ اِدْعَاءُ عَدَمِ صَلاَحِيَةِ الشَّرِيْعَةِ لِلتَّطْبِيْقِ، يُعْتَبَر كُفْراً وَرِدَّةً عَنِ اْلإِسْلَامِ. أَمَّا إِنْكَارُ اْلأَحْكَامِ الثَّابِتَةِ بالإِجْتِهَادِ الْمَبْنِي عَلَى غَلَبَةِ الظَّنِّ فَهُوَ مَعْصِيَّة وَفِسْقٌ وَظُلْمٌ
Mengingkari salah satu hukum dari hukum-hukum syariah yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i, atau menyakini keburukan hukum syariah apapun itu, hudud, misalnya, atau menuduh ketidaklayakan hukum syariah untuk diterapkan, dianggap kekufuran dan murtad dari Islam. Adapun pengingkaran ter-hadap hukum yang ditetapkan dengan ijtihad yang dibangun di atas dugaan kuat (ghalabat azh-zhann), adalah kemaksiatan, kefasikan dan kezaliman (Syaikh Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islaami wa Adillatuhu, 1/25).
WalLahu a’lam bish-shawwab. [Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]
0 Comments