Penghuni Surga dan Penghuni Neraka (2)

مَا سَلَكَكُمۡ فِي سَقَرَ ٤٢ قَالُواْ لَمۡ نَكُ مِنَ ٱلۡمُصَلِّينَ ٤٣ وَلَمۡ نَكُ نُطۡعِمُ ٱلۡمِسۡكِينَ ٤٤ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ ٱلۡخَآئِضِينَ ٤٥ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوۡمِ ٱلدِّينِ ٤٦ حَتَّىٰٓ أَتَىٰنَا ٱلۡيَقِينُ ٤٧

“Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?” Mereka menjawab, “Dulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan salat. Kami (juga) tidak memberi makan orang miskin. Bahkan kami biasa berbincang (untuk tujuan yang batil) bersama orang-orang yang membicarakannya. Kami pun mendustakan Hari Pembalasan sampai datang kepada kami kematian.” (QS al-Muddatstsir [74]: 42-47).

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

مَا سَلَكَكُمۡ فِي سَقَرَ ٤٢

Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?

 

Ini adalah pertanyaan yang disampaikan kepada para pendosa itu. Kata مَا adalah ism al-istifhâm (kata tanya). 1 Gunanya untuk meminta informasi tentang perkara yang ditanyakan kepada pihak yang ditanya. Pihak yang ditanya dalam ayat ini adalah al-mujrimûn (para pendosa) yang menjadi penghuni Neraka Saqar.

Kata سَلكَ bermakna دَخَلَ وَنفََذ (masuk dan menembus).2 Menurut Zainuddin ar-Razi, kata السِّلك (dengan kasrah), maknanya adalah الخَيْط (benang). Jika di-fathah-kan, yakni السَلْك adalah bentuk mashdar dari kata سَلك (memasukkan). Dalam kalimat: سَلك الشَّيْءَ في الشَّيْءِ فانْسَلك, maknanya adalah: أدْخَلَه فيه فَدَخل (dia memasukkan sesuatu ke dalam sesuatu yang lain, lalu sesuatu itu pun masuk).3 Makna ini pula yang terkandung dalam ayat ini sebagimana diterangkan oleh para mufassir.

Saqar adalah nama neraka yang sifatnya telah diberitakan dalam beberapa ayat sebelumnya, ayat 28 hingga ayat 31. Digambarkan bahwa Neraka Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan orang yang dimasukkan ke dalamnya; menghanguskan kulit manusia; di atasnya dijaga sembilan belas malaikat penjaga.

Dengan demikian, makna ayat ini adalah: مَا أَدْخَلَكُمْ فِي سَقَرَ (Apa yang membuat kamu masuk ke dalam neraka?”).4 Atau: أيُّ شيءٍ أدخلكُم فيَها (Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalamnya?”).5

Menurut al-Kalbi, seorang penghuni surga bertanya kepada seorang penghuni neraka dengan namanya, dan bertanya kepada dia, “Wahai Fulan, apa yang membuat kamu masuk neraka?” 6

Istifhâm dalam ayat ini bermakna hakiki (artinya, benar-benar meminta informasi tentang perkara yang ditanyakan). Hal itu bisa disebabkan karena mereka lupa terhadap hal yang pernah diketahui ketika di dunia mengenai apa yang menjadi penyebab pahala dan dosa. Tanya jawab antara orang-orang dari golongan kanan dengan para pendosa itu berlaku umum. Artinya, semua orang dari golongan kanan dapat mengawasi para pendosa dari surga yang tinggi. Bertanya kepada mereka tentang penyebab mereka masuk ke dalam neraka. Lalu mereka pun memberikan jawabannya. Itu merupakan ilham dari Allah SWT agar penghuni surga tersebut memuji-Nya lantaran mereka telah mengambil berbagai sebab yang dapat menyelamatkan mereka dari siksa yang menimpa para pendosa dan bergembira atasnya.7

Bisa juga pertanyaan yang disampaikan oleh sebagian orang dari golongan kanan kepada orang-orang yang disangka termasuk ahli surga, tetapi ternyata mereka di neraka. Mereka itu adalah orang-orang munafik atau orang-orang yang murtad setelah kematiannya. Tanya jawab itu terjadi antara sebagian orang dari golongan kanan dan sebagian dari para pendosa. Ini sebagaimana yang diberitakan dalam ayat lain (QS ash-Shaffat [37]: 27-29; QS ash-Shaffat [37]: 51-55). 8

Ada yang mengatakan bahwa istifhâm itu bukan haqîqî, namun bermakna majâziy. Menurut Muhyiddin Darwisy, kalimat tanya tersebut bermakna li at-tawbîkh wa al-ta’ajjub (sebagai celaan dan ungkapan keheranan) tentang keadaan mereka.9

Selain at-tawbîkh bisa juga at-tandîm (menyatakan penyesalan) sehingga golongan kanan dan para pendosa tersebut bersifat umum.10

Kemudian Allah SWT berfirman:

قَالُواْ لَمۡ نَكُ مِنَ ٱلۡمُصَلِّينَ ٤٣

Mereka menjawab, “Dulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat.”

 

Dhamîr wâwu al-jamâ’ah (kata ganti mereka) yang menjadi pelaku pada kata قَالُوا (mereka berkata) adalah al-mujrimûn (para pendosa). Dengan demikian ayat ini menceritakan perkataan para pendosa itu sebagai jawaban atas pertanyaan para penghuni surga.

Kata لمَ berguna untuk menafikan al-mudhâri’ (kata kerja yang menunjukkan waktu sekarang atau masa datang), sekaligus membalik maknanya sehingga menunjukkan waktu al-mâdhi (masa lampau).11 Dengan demikian ketika disebutkan: لَمْ نَكُنْ, maknanya adalah: Kami dulu tidak termasuk.

Ini pula makna yang terkandung dalam ayat ini. Sebab, kata نَكُ aslinya adalah نَكُنْ. Huruf an-nûn dihilangkan li al-takhfîf (untuk meringankan) bacaan disebabkan karena banyak digunakan.12 Menurut al-Biqa’i, mereka menghilangkan huruf an-nûn menunjukkan bahwa mereka dalam keadaan sulit untuk berucap hingga menghilangkan satu huruf yang tidak diperlukan.13

Lalu kata المُصَلِّين adalah bentuk jamak dari kata الْمُصَلِّي. Ini merupakan ism al-fâ’il dari kata صَلَّى- يُصَلِّي (mengerjakan shalat). Dalam kalimat: صلَّى الشَّخصُ, artinya adalah: أدَّى الصَّلاة (orang itu telah mengerjakan shalat).14

Secara bahasa, kata الصَّلاة bermakna الدُّعَاء (doa). Secara syar’i, shalat adalah perkataan dan perbuatan khusus yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam yang disertai dengan niat dan syarat-syarat tertentu.15 Karena demikian makna syar’i-nya, maka ketika kata tersebut beserta derivasinya disebutkan dalam nas syariah, maka harus dipahami dalam makna syar’i, kecuali ada qarînah (indikasi) yang memlaingkan. Karena dalam ayat ini tidak ada qarînah (indikasi) yang memalingkan, maka makna shalat di sini dipahami dengan makna syar’i.

Dengan demikian, para pendosa itu mengatakan bahwa di antara penyebab mereka dimasukkan ke dalam Neraka Saqar adalah karena tidak mengerjakan shalat. Menurut para mufassir, shalat yang dimaksud di sini adalah shalat wajib. Alasannya, sesuatu yang tidak diwajibkan tidak boleh diazab ketika meninggalkannya.16

Menurut sebagian mufassir, mereka bukan hanya tidak mengerjakan shalat, namun juga tidak membenarkan kewajibannya. Disebutkan bahwa mereka berkata, “Kami tidak membenarkan kewajiban shalat dan tidak menunaikannya sehingga memasukkan kami ke dalam neraka.”17

Shalat merupakan kewajiban yang sangat penting. Termasuk salah rukun Islam. Perintah untuk mengerjakan shalat tersebar dalam banyak ayat dan hadis. Demikian pula ancaman bagi yang meninggakan shalat. Karena itu kewajiban shalat termasuk ke dalam perkara yang ma’lûm min al-dîn bi al-dharûrah (sesuatu yang telah diketahui sebagai bagian dari agama). Oleh karena itu, mengingkari kewajiban shalat lima waktu termasuk perkara yang menyebabkan kekufuran dan mengeluarkan dari keislaman.18

Tak aneh, menurut al-Qurthubi, makna ayat ini adalah mereka bukan termasuk orang-orang Mukmin yang mengerjakan shalat.19

Kemudian Allah SWT berfirman:

وَلَمۡ نَكُ نُطۡعِمُ ٱلۡمِسۡكِينَ ٤٤

Kami (juga) tidak memberi makan orang miskin.

 

Ayat ini melanjutkan perkataan orang-orang yang menjadi penghuni Neraka Saqar. Kata نَكُ dalam ayat ini pun aslinya adalah نَكُنْ yang dihilangkan huruf nûn-nya. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak pernah memberikan makan kepada orang-orang miskin. Orang miskin adalah orang yang tidak memiliki apa-apa. Bahkan, keadaannya lebih parah daripada faqir.20 Di dalam al-Quran, ketika disebutkan salah satunya, biasanya mencakup kedua-duanya,

Ayat ini menerangkan bahwa semasa hidupnya, mereka tidak mau memberikan makan kepada orang-orang miskin. Ini menunjukkan bakhilnya mereka kepada sesama makhluk.

Menurut al-Qurthubi, makna ayat ini adalah: لمَ نَكُ نتََصَدَّقُ (Kami juga tidak pernah bersede-kah).21 Penjelasan serupa juga disampaikan al-Khazin dan lain-lain.22

Muhammad Amin al-Harari berkata, “Kami tidak termasuk muhsinîn (orang-orang yang berbuat baik) kepada makhluk-Nya yang miskin dari kelebihan harta yang disedekahkan kepada mereka dengan kerelaan hati kami.”23

Menurut para ulama, yang dimaksud dengan tidak memberi makan orang miskin ini adalah meninggalkan ibadah wajib, seperti zakat.24 Alasan yang sama sebagaimana pada shalat. Sesuatu yang tidak wajib tidak boleh diazab ketika meninggalkannya.25 Menurut Syihabuddin al-Alusi, maknanya adalah, “Kami tidak memberikan kepada orang miskin apa yang wajib diberikan.”26

Menurut as-Samarqandi, mereka bukan hanya tidak mengakui kewajiban zakat, namun juga tidak menunaikannya.27

Allah SWT berfirman:

وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ ٱلۡخَآئِضِينَ ٤٥

Bahkan kami biasa berbincang (untuk tujuan yang batil), bersama orang-orang yang membicarakannya.

 

Jika penyebab yang disebutkan sebelumnya karena meninggalkan perkara yang diperintahkan, maka dalam ayat ini penyebabnya adalah karena mengerjakan perkara yang dilarang.

Pada asalnya makna kata الْخَوْضِ adalah الدُّخُولُ في الْمَاء (masuk ke dalam air). Kemudian kata itu digunakan untuk menyebut pembicaraan yang terus berulang. Dalam al-Quran, kata tersebut banyak digunakan untuk menyebut perdebatan yang tidak terpuji (Lihat: QS al-An’am [6]: 91; QS al-An’am [6]: 68).28

Dalam konteks ayat ini, terdapat beberapa penjelasan tentang hal ini. Menurut al-Qurthubi dan asy-Syaukani, karena mempergauli orang-orang yang batil dan ikut serta dalam kebathilan mereka.29

Menurut as-Suddi, “Kami mendustakan bersama orang-orang yang mendustakan.” 30

Ibnu Zaid berkata, “Kami membicarakan yang batil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya tentang perihal Muhammad saw. –yaitu perkataan mereka yang dilaknat Allah SWT—bahwa beliau adalah seorang pendusta, orang gila, penyihir, penyair dan sebagainya.”31

Qatadah berkata, “Setiap ada yang tersesat maka kami ikut tersesat bersamanya.”32

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Kami membicarakan kebatilan dan apa yang dibenci Allah SWT bersama orang yang membicarakannya.”33

Ibnu Katsir juga berkata, “Kami membicarakan hal-hal yang tidak kami ketahui.”34

Abdurrahman as-Sa’di juga berkata, “Kami membicarakan kebatilan dan mendebat kebenaran.”35

Allah SWT berfirman:

وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوۡمِ ٱلدِّينِ ٤٦

Kami pun mendustakan Hari Pembalasan.

 

Ini merupakan penyebab terakhir yang disampaikan oleh mereka sehingga mereka dimasukkan ke dalam Neraka Saqar. Mereka mengatakan bahwa mereka mendustakan Yawm ad-Dîn. Maknanya, Hari Perhitungan dan Pembalasan.36 Itulah Hari Kiamat.37

Mereka berkata, “Kami tidak membenarkan Hari Kiamat, Hari Pembalasan dan Keputusan.” Demikian penjelasan al-Qurthubi.38

Menurut Wahbah az-Zuhaili, ini merupakan khâshsh ba’da ‘âmm (khusus sesudah umum), yakni berbicara kebatilan bersama orang-orang yang membicarakannya, dalam rangka membesarkan dosa.39

Kemudian Allah SWT berfirman:

حَتَّىٰٓ أَتَىٰنَا ٱلۡيَقِينُ ٤٧

Sampai datang kepada kami kematian.

 

Kata حَتَّى adalah harf ghâyah,40 yakni kata yang menunjukkan makna batas akhir. Itu artinya, mereka terus melakukan semua hal itu hingga datang al-yaqîn kepada mereka.

Kata al-yaqîn merupakan ism mashdar dari kata يَقِنَ (jelas, pasti). Kata itu digunakan untuk menunjukkan pengetahuan yang tidak ada keraguan dan kebimbangan.41

Menurut Ibnu Faris, kata yang terbangun dari huruf al-yâ‘, al-qâff dan al-nûn, yakni kata اليَقَن dan اليَقين bermakna زَوال الشَّكّ (hilangnya keraguan).42

Dalam konteks ayat ini, yang dimaksud dengan al-yaqîn menurut para mufassir adalah kematian.43 Makna tersebut seperti dalam firman-Nya:

وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأۡتِيَكَ ٱلۡيَقِينُ ٩٩

Sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) (QS al-Hijr [15]: 99).44

 

Juga sabda Nabi saw.:

أَمَّا هُوَ فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ مِنْ رَبِّهِ

Adapun dia—yakni Usman ibnu Maz’un—kematian dari Tuhannya telah datang kepadanya (HR al-Bukhari). 45

 

Dengan demikian ayat-ayat ini memberitakan bahwa ada empat penyebab yang membuat manusia dimasukkan ke dalam Neraka Saqar: tidak melaksanakan shalat; tidak mau menyerahkan hak orang miskin; terhanyut dalam kebatilan bersama orang-orang yang suka berbuat kebatilan; dan mendustakan Hari Kiamat. Semua itu dilakukan hingga datang kematian kepada mereka.

Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, jawaban itu menunjukkan bahwa mereka tidak termasuk orang-orang yang memiliki sifat-sifat Islam, yakni mendirikan shalat dan menunaikan zakat, kemudian meningkat lebih besar dari itu, yakni kufur dan mendustakan Hari Pembalasan.46

Penjelasan dalam ayat dijadikan sebagai dalil oleh para ulama bahwa orang-orang kafir tidak hanya diseru dalam masalah aqidah, yakni mengimani aqidah Islam. Mereka juga diseru dalam urusan furû’, yakni melakukan ibadah dan mengerjakan syariah-Nya. Ini dibuktikan dengan adanya hukuman bagi mereka ketika mereka tidak mengerjakan shalat dan memberikan makan kepada orang miskin yang merupakan perkara furu’ dan bagian dari ibadah. Hal ini dijelaskan oleh banyak ulama.4747

Pembahasan tentang hal ini banyak dikupas dalam para ulama Ushul Fiqh ketika membahas tentang al-mukallafûn (orang-orang yang dibebani oleh hukum).

WalLâh a‘lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 87; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399

2 Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasîth, vol. 1 (tt: Dar al-Da’wah, tt) , 445

3 Zainuddin al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999), 152,

4 Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 160; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 87; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 424

5 Ismail al-Istambuli, Rûh al-Bayân, vol. 10, 240; Abu Su’ud, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ilâ Mazâya al-Kitâb al-Karîm, vol. 9 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiyy, tt), 62; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman, 897

6 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399

7 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 326

8 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 326-327

9 Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhi, vol. 10 (Beirut: Dar al-Yamamah, 1995), 291

10 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 327

11 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3, 2034

12 Ismail al-Istambuli, Rûh al-Bayân, vol. 10, 240

13 al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-Suwar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 74

14 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 2, 1316

15 al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, vol. 27 (Kairo: Dar al-Shafwah, 2006), 51

16 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 716; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 411; Ismail al-Istambuli, Rûh al-Bayân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 240. Lihat juga al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 243

17 al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 411; Ismail al-Istambuli, Rûh al-Bayân, vol. 10, 239; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 424

18 Syarafuddin Abu Naja, al-Iqnâ fî Fiqh al-Imâm Ahmad bin Hanbal, vol. 4 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 300

19 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 87

20 al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar a-Qalam, 1992), 417

21 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 87

22 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4,367

23 al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 412

24 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 715; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 412;

25 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 715

26 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 335

27 al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 424

28 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 327

29 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 87; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399. Lihat juga al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 241

30 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 87; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399

31 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 87; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399

32 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 37; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 88; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 273

33 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 37

34 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 273

35 al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman, 897

36 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399

37 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4,367

38 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 88

39 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 241

40 al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 3, 401

41 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 327

42 Ibnu Faris, Maqâyîs al-Lughah, vol. 6 (tt: Ittihad al-Kitab al-‘Arab, 2002), 121

43 al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 147; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 424; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 243

44 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 273

45 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 273

46 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 338

47 al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 147; al-Syinqithi, Adhwâ‘ al-Bayân, vol. 8. 367; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 412; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 424; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 243; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399

 

 

0 Comments

Leave a Comment

12 − twelve =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password