Bolehkah Individu/Swasta Mengelola Tambang?

Soal:
Bagaimana hukum syariah terkait dengan pengelolaan tambang yang dilakukan oleh individu. Baik pribadi maupun korporasi? Baik asing maupun domestik?
Jawab:
Sebelum membahas hukum pengelolaan tambang oleh individu, harus dijelaskan fakta barang tambang dan pertambangan, agar hukumnya bisa diturunkan sesuai dengan faktanya, dan akurat.
Barang tambang adalah sumberdaya alam yang berasal dari dalam perut bumi. sifatnya tidak bisa diperbaharui karena pembentukkan-nya membutuhkan waktu yang lama bahkan sampai berjuta-juta tahun. Pertambangan dilakukan manusia dengan menggali, mengambil dan mengolah sumberdaya alam yang terdapat di perut bumi untuk memenuhi sebagian kebutuhan manusia.
Kegiatan pertambangan tidak terbatas pada upaya penggalian dan pengambilan saja. Ia juga meliputi upaya-upaya pengolahan sumberdaya tersebut untuk dijadikan barang setengah jadi sebagai bahan dasar industri.
Secara garis besar barang tambang bisa dikelompokkan menjadi: Pertama, berdasarkan manfaat atau kegunaannya. Berdasarkan ini barang tambang bisa dibedakan ke dalam tiga golongan:
- Golongan A: Barang tambang strategis dan penting untuk perekonomian negara seperti minyak bumi, batubara, gas alam, bijih besi, tembaga dan nikel.
- Golongan B: Barang tambang yang vital dan penting bagi kehidupan orang banyak atau penting untuk hajat hidup orang banyak seperti emas, perak, belerang, fosfat dan mangan.
- Golongan C: Barang tambang yang secara langsung dipakai untuk bahan keperluan industri seperti batu gamping, kaolin, marmer, gips, dan batu apung.
Kedua, berdasarkan bentuknya. Berdasarkan bentuknya barang tambang dikelompokkan menjadi:
- Barang tambang berbentuk energi, yakni jenis barang tambang yang bisa menghasilkan tenaga atau energi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Contohnya minyak bumi, batubara, gas alam dan uranium.
- Barang tambang berbentuk mineral logam. Contohnya timah, tembaga, bijih besi, emas, perak dan nikel.
- Barang tambang berbentuk mineral bukan logam. Contohnya intan, belerang, gamping, marmer, pasir kwarsa dan fosfat.
Ketiga, selain dari pengelompokan di atas, barang tambang bisa dikelompokkan berdasarkan bahan asal pembentukannya yakni mineral organik dan mineral anorganik.
- Mineral organik: Mineral yang berasal dari sisa makhluk hidup misalnya gas alam, minyak bumi, dan batubara.
- Mineral anorganik: Mineral yang berasal dari sisa-sisa bahan anorganik misalnya kaolin, batu, pasir kwarsa dan yodium.
Dalam konteks tambang dan pertambangan ini, ada hadis yang dikutip oleh Imam ash-Shun’ani dalam Subul as-Salam: Syarh Bulugh al-Maram, menukil riwayat:
وَعَنْ رَجُلٍ مِنَ الصَّحَابَةِ قَال: غَزَوْتُ مَعَ النَّبي صلى الله عليه وسلم، فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: النَّاسُ شُرَكاَءُ فِيْ ثَلاَثٍ: فِي الْمَاءِ، وَالكَلَأِ، وَالنَّارِ
Dari seorang Sahabat, ia berkata: Aku telah berperang bersama Nabi saw. Aku mendengar beliau bersabda, “Manusia berserikat (sama-sama membutuhkan) dalam tiga hal: air, padang dan api.” (HR Ahmad dan Abu Dawud). 1
Menurut Imam ash-Shun’ani [w. 1182 H], para rijal (tokoh) hadis ini tsiqah.2
Beliau juga mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, dari Abu Hurairah, secara marfu’:
ثَلاثٌ لا يُمْنَعْنَ : الْكَلأُ، وَالْمَاءُ، وَالنَّارُ
Ada tiga hal yang tidak boleh dilarang (orang lain dihalangi untuk memanfaatkannya): rerumputan, air dan api (HR Ibn Majah).
Menurut Imam ash-Shun’ani, isnad-nya sahih.3
Di dalam hadis yang pertama, Nabi menyebutkan dengan menggunakan kata, “syuraka’” (berserikat). Artinya, ketiga benda itu merupakan benda yang dibutuhkan bersama-sama. Karena itu ia tidak boleh dimonopoli oleh individu. Larangan monopoli oleh individu dinyatakan pada hadis yang kedua, dengan frasa, “La yumna’na”.
Hanya saja, selain kedua hadit di atas, ada dua hadis lain yang mempunyai konotasi berbeda. Pertama: Hadits Nabi saw. yang menyatakan:
لاَ حِمَى إِلاَّ للهِ وَرَسُوْلِهِ
Tidak ada siapapun yang berhak memproteksi (barang atau lahan), kecuali hak Allah dan Rasul-Nya.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad) 4
Artinya, hak memproteksi itu adalah hak Allah, Rasul serta siapa saja yang melanjutkan tugas Nabi memimpin urusan umat, dalam hal ini adalah Khalifah.5 Ketiganya merupakan pengecualian dari larangan atau keumuman dua hadis di atas. Inilah yang dinyatakan oleh ash-Shun’ani:
Hadis ini merupakan dalil tentang larangan monopoli individu terhadap salah satu dari tiga hal di atas. Ini merupakan ijmak untuk rerumputan di tanah yang mubah dan pegunungan yang tidak dikapling oleh siapapun. Karena itu tidak boleh ada seorang pun yang dilarang mengambil rerumputan, kecuali apa yang diproteksi oleh Imam (Negara), sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. 6
Kedua: Pemberian Nabi saw. kepada Abyadh bin Hamal ra.
عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ اِسْتَقْطَعَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم الْمِلْحَ الَّذِيْ بِمَأْرِب، فَأَرَادَ أَنْ يُقْطِعَهُ، فَقَالَ رَجُلٌ لِرَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم إِنَّهُ كَالْمَاءِ الْعِدِّ فَأَبَى أَنْ يُقْطِعَهُ
Dari Abyadh bin Hammal, bahwa ia pernah meminta kepada Nabi diberikan tanah (yang digunakan untuk tambak) garam, yang ada di Ma’rib. Lalu beliau hendak memberikan tanah itu. Kemudian ada seorang lelaki yang berkata kepada Rasulullah saw., bahwa itu seperti air yang tak terputus sumbernya. Karena itu beliau enggan untuk memberikan tanah tersebut.
Dari hadis yang kedua ini bisa dipahami, bahwa Nabi saw. semula hendak memberikan sebidang tanah, yang berupa tambak garam. Namun, setelah mengetahui di dalamnya ada sumber yang berlimpah, beliau enggan melepas tanah tersebut. Kehendak Nabi saw. untuk memberikan tanah tersebut menjadi dalil, bahwa hukum asalnya boleh. Lalu menjadi tidak boleh karena ada ‘illat yang melarangnya, yaitu “al-‘Idd” (sifat keberlimpahan).
Dengan demikian alasan pelarangan memberikan tanah yang mengandung sumber air (tambang) bukan karena adanya sumber airnya, tetapi karena depositnya yang besar. Karena itu hadis ini juga bisa digunakan untuk men-takhshish keumuman hadis di atas, sehingga bisa diberlakukan sesuai dengan spesifikasinya. Tidak lagi bersifat umum sehingga semuanya menjadi tidak boleh dimiliki oleh individu.
Karena itu berdasarkan penjelasan di atas bisa disimpulkan, bahwa semua orang mempunyai hak yang sama atas tambang sehingga statusnya dianggap sebagai milik umum. Hanya saja, keumuman ini bersifat terbatas, untuk tambang yang mempunyai deposit yang besar. Jika depositnya kecil, atau sedikit, maka boleh dikuasai oleh individu. Termasuk, ketika tambang itu ada di tanah miliknya. Namun, jika depositnya besar, bahkan tak terbatas, maka haram dikuasai oleh individu, baik asing maupun domestik.
Dalam menjelaskan hadis, “syuraka’” di atas, Imam ash-Shun’ani menyatakan:
Jika ada yang bertanya, “Apakah boleh menjual mataair dan sumurnya?” Jawabnya, “Boleh menjual mataair dan sumurnya karena larangannya berlaku untuk menjual kelebihan air. Bukan untuk sumur dan mataairnya yang ada di tempat diamnya. Karena itu pembelinya berhak atas airnya sesuai dengan kecukupannya. Telah dinyatakan dalam hadis sahih bahwa ‘Utsman pernah membeli sumur Rumat, dari orang Yahudi, atas titah Nabi saw. Kemudian sumur itu dibebaskan untuk kaum Muslim. Jika air tidak bisa dimiliki, bagaimana mungkin orang Yahudi itu bisa menguasai sumur dan menjualnya kepada ‘Utsman? 7
Di sisi lain, berdasarkan hadis “Hima” di atas, Negara diberi hak melakukan proteksi. Tentu karena pertimbangan kemaslahatan tertentu, misalnya menjaga dampak lingkungan, dan kemadaratan lainnya. Artinya, Negara mempunyai otoritas penuh untuk mengatur, mengelola, termasuk mengizinkan atau tidak, individu atau kelompok untuk memanfaatkan tambang atau pertambangan ini.
Pertimbangan Negara melakukan proteksi bukan untuk kepentingan pribadi Khalifah, pejabat atau wali; tetapi demi kemaslahatan publik. Ketika ‘Umar menjadi khalifah, beliau mempunyai petugas khusus yang diberi tugas melakukan ini, namanya Hani.8
WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Al-Imam Syihabuddin Abi al-‘Abbas bin Ruslan, Syarah Sunan Abi Dawud, Dar al-Falah, Beirut, cet. I, 1437 H/2015 M, Juz XIV/410-11.
2 Al-Imam as-Shun’ani, Subul as-Salam: Syarah Bulugh al-Maram, Dar al-Ghad al-Jadid, Qahirah, cet. I, 1426 H/2005 M, Juz III/146.
3 Al-Imam as-Shun’ani, Subul as-Salam: Syarah Bulugh al-Maram, Dar al-Ghad al-Jadid, Qahirah, cet. I, 1426 H/2005 M, Juz III/147.
4 Al-Imam as-Shun’ani, Subul as-Salam: Syarah Bulugh al-Maram, Dar al-Ghad al-Jadid, Qahirah, cet. I, 1426 H/2005 M, Juz III/141.
5 Makna, bahwa “Hima” ini adalah hak Khalifah, bukan yang lain, juga dinyatakan oleh Imam Syafii dalam salah satu pendapat beliau. Pendapat ini dikuatkan, dengan riwayat Bukhari, dari az-Zuhri, tentang tindakan ‘Umar ketika menjadi Khalifah memproteksi tanah di ar-Rabdzah dan as-Syaraf. Lihat, Al-Imam as-Shun’ani, Subul as-Salam: Syarah Bulugh al-Maram, Dar al-Ghad al-Jadid, Qahirah, cet. I, 1426 H/2005 M, Juz III/141.
6 Al-Imam as-Shun’ani, Subul as-Salam: Syarah Bulugh al-Maram, Dar al-Ghad al-Jadid, Qahirah, cet. I, 1426 H/2005 M, Juz III/147.
7 Al-Imam as-Shun’ani, Subul as-Salam: Syarah Bulugh al-Maram, Dar al-Ghad al-Jadid, Qahirah, cet. I, 1426 H/2005 M, Juz III/147-48.
8 Al-Imam as-Shun’ani, Subul as-Salam: Syarah Bulugh al-Maram, Dar al-Ghad al-Jadid, Qahirah, cet. I, 1426 H/2005 M, Juz III/141.
0 Comments