Dakwah dan Perjuangan Politik
Sejak sekularisme masuk ke dalam kehidupan umat, muncullah ketidak-percayaan sebagian orang bahwa politik adalah bagian ajaran Islam. Paradigma berpikir demikian wajar. Pasalnya, memang bangunan pemikiran sekularisme telah menafikan kehadiran politik dalam kehidupan beragama. Seruan “jangan politisasi agama” atau “jangan beragama untuk tujuan politik” terus bergaung di jagat kehidupan umat.
Sekularisme berhasil menciptakan citra bahwa politik adalah sesuatu, dan agama sesuatu yang lain. Dalam level puncak, sekularisme mampu menciptakan imajinasi bahwa politik adalah pikiran kotor yang tak layak dimasukkan dalam keberagamaan.
Nabi saw.: Sosok Politisi Agung
Siapa saja yang dengan seksama membaca sirah, kitab-kitab hadis dan karya-karya fikih sulit untuk mengatakan bila Rasulullah saw. bukan pelaku dan pejuang politik. Amal dakwah yang berlangsung di Makkah maupun Madinah penuh dengan perjuangan politik.
Barat yang kerap menyerukan sekularisme justru tidak menafikan sosok Nabi saw. sebagai pemimpin politik. Di dinding sebelah utara ruang sidang Gedung Mahkamah Agung (Supreme Court), terdapat lukisan sosok Nabi Muhammad saw. yang digambarkan sedang memegang al-Quran dan sebilah pedang.
Tak hanya di Gedung Mahkamah Agung, pada tahun 50-an sempat pula sosok beliau diabadikan di antara sembilan patung dari para tokoh penting sejarah hukum dunia di Gedung Pengadilan The Courthouse of The Appelate Division.
Meskipun penggambaran sosok Rasulullah saw. adalah sesuatu yang diharamkan dalam syariah Islam, Pemerintah AS memiliki alasan tersendiri, dan bukan sebagai motif pelecehan. Menurut Ketua Mahkamah Agung AS saat itu, William H Rehnquist, visualisasi Rasulullah saw. di Gedung Mahkamah Agung adalah untuk memperkenalkan beliau sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah hukum dunia.
Lambang pedang yang digenggam oleh Rasulullah saw. dalam lukisan tersebut juga bukan sebagai simbol kekerasan, melainkan keadilan. Di antara jejeran patung-patung yang ada juga terdapat simbol Lady of Justice yang memegang neraca dan sebilah pedang.
Keberadaan Nabi saw. sebagai kepala negara yang melakukan aktivitas politik juga tak dibantah oleh Barat. Michael Hart, dalam bukunya, menuliskan, “Dia mendirikan negara baru di sisi agama. Di bidang dunia, ia menyatukan kabilah-kabilah di dalam bangsa, menyatukan bangsa-bangsa di dalam umat, meletakkan buat mereka semua asas kehidupannya.”
Dakwah Sebagai Perjuangan Politik
Profesor Dr. Rawwal Qol’ahji, seorang pemikir Islam kontemporer, menyusun kitab sirah dengan tajuk: Qirâ’ah Siyâsiyah li as-Sîrah an-Nabawiyah (Sirah Nabawiyah: Sisi Politis Perjuangan Rasululullah saw.). Berbeda dengan buku sirah klasik maupun kontemporer lain, buku ini memberikan pembacaan secara politis terhadap aktivitas dakwah Nabi saw. sejak sebelum era kenabian hingga hijrah ke Madinah.
Aktivitas Rasulullah saw. sebagai pelaku dan pejuang politik sebenarnya telah dilakukan sebelum era kenabiannya. Pada masa mudanya, Rasulullah saw. berpartisipasi dalam pembentukan Hilf al-Fudhul. Perjanjian ini menghasilkan jaminan keamanan bagi siapa saja yang memasuki Makkah. Nabi saw. juga menyelesaikan konflik peletakkan Hajar Aswad yang hampir menimbulkan perpecahan antar kepala suku.
Aktivitas politik Nabi saw. berlanjut dan membawa beliau pada agenda tahannuts (menyendiri), atau berkontemplasi di Gua Hira. Selain untuk membersihkan diri dari berbagai penyakit hati yang begitu merebak di tengah-tengah masyarakat Jahiliah, Rasulullah saw. juga memikirkan penyebab dan solusi kerusakan masyarakat saat itu; kefasadan politik (seperti kezaliman, fanatisme kesukuan, borjuisme, dll) kefasadan sosial (seperti perzinaan, pembunuhan bayi perempuan, penindasan pada kaum wanita) dan kefasadan ekonomi (semisal penipuan dalam perdagangan, perjudian, riba, dsb.).
Seorang pemikir dan politisi agung tak hanya memikirkan kepentingan pribadinya. Ia memiliki responsibiliti terhadap keadaan masyarakat di sekitarnya, bahkan masyarakat dunia. Kemudian ia berusaha mencari solusi dan bekerja keras memperbaiki kehidupan masyarakat.
Kifâh siyâsi atau perjuangan politik Rasulullah saw. di era kenabian meliputi sejumlah tahapan:
Pertama, mempersiapkan para pejuang politik Islam generasi awal agar menjadi kelompok yang memiliki daya tahan sekaligus daya serang politik terhadap tatanan sistem Jahiliah.
Kedua, mendakwahkan Islam agar dianut oleh masyarakat serta menggeser berbagai keyakinan, adat istiadat dan tolak ukur Jahiliah.
Ketiga, bertahan dari serangan politik kaum kafir Quraisy dan melakukan serangan balik.
Keempat, melakukan dharb al-‘alaqat, yakni memutuskan rantai kepercayaan khalayak terhadap kepemimpinan kaum kafir Quraisy dan mengalihkannya kepada Rasulullah saw.
Kelima, melakukan aktivitas thalab an-nushrah kepada para pemimpin berbagai kabilah. Tujuannya agar mereka mau menjadikan negerinya sebagai tempat mengakar dan berseminya Islam sekaligus sebagai pusat penyebaran dakwah Islam (nuqthah al-irtikâz) ke seluruh dunia.
Keenam, melakukan aktivitas diplomasi ke sejumlah raja dan kaisar, menawarkan Islam dan futûhât atau penaklukkan terhadap wilayah-wilayah mereka.
Perjuangan Politik di Makkah
Setelah wahyu turun, Allah SWT. memerintahkan Rasulullah saw. untuk mengumpulkan karib-kerabatnya sebagai mad’u (obyek) dakwah.
وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ ٢١٤
Berilah peringatan keluargamu yang terdekat (QS asy-Syu’ara [26]: 214).
Sokongan keluarga menjadi penting karena mereka adalah barrier yang pertama dalam perjuangan politik. Dari dakwah kepada kerabat terdekat, Rasulullah saw. berhasil menghimpun istrinya, Khadijah; kemudian Ali bin Abi Thalib; anak asuh beliau, Zaid bin Haritsah. Pada tahap selanjutnya, paman dan bibi beliau yakni Hamzah, Abbas dan Safiyah, juga masuk ke dalam jajaran keluarga yang mendukung dakwah Islam.
Aktivitas dakwah kepada kerabat memiliki nilai strategi amat penting. Pertama, membangun kekuatan internal dalam keluarga Nabi saw. Dengan itu beliau memiliki daya topang yang kuat dari dalam karena istri dan kerabat beliau menjadi penolong dan penguat dakwah. Kedua, keluarga Nabi saw., seperti keluarga Abu Thalib, dan tentu saja istri beliau, Khadijah binti Khuwailid ra., memiliki kedudukan kuat di tengah masyarakat Makkah. Posisi ini membuat kaum kafir Quraisy tidak gegabah bila ingin menyerang dakwah Islam. Paman Nabi saw. dari kubu musyrik Quraisy, Abu Lahab, juga tidak mudah mengganggu aktivitas dakwah beliau.
Setelah kepada keluarga, dakwah Islam dikembangkan kepada para sahabat beliau.
Perlu diperhatikan, Rasulullah saw. bukan sosok politisi karbitan yang melejit karena pencitraan. Beliau telah memiliki reputasi sebagai figur terpercaya di Makkah dan sosok yang memiliki kepribadian mulia. Reputasi ini membuat beliau memiliki jaringan pertemanan dengan orang-orang yang hanif dari hampir semua lapisan, dari kelas saudagar dan bangsawan seperti Abu Bakar ra. sampai Bilal bin Abi Rabah serta keluarga Yasir dari kelas budak dan jelata.
Melalui para sahabatnya yang juga memiliki karakter satu warna, jaringan dakwah mulai meluas. Abu Bakar ra. berhasil menarik kalangan aristokrat dan saudagar yang lurus seperti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, juga Thalhah bin Ubaidillah—semoga Allah SWT meridhai dan merahmati merekaNama-nama ini adalah kelas aristokrat, terpelajar, rujukan kaumnya, juga memiliki reputasi pribadi yang juga lurus. Bahkan sosok seperti Abu Bakar jauh dari budaya Jahiliah, seperti menyembah berhala dan minum khamr.
Pentingnya reputasi dan rekam-jejak sebagai persona yang lurus adalah bagian penting dalam perjuangan politik Islam. Reputasi yang baik, yang muncul karena internalisasi ideologi Islam dalam diri seorang pejuang Islam, akan membawa seseorang bertemu dengan komunitas orang-orang yang sehaluan. Di sisi lain, juga menyulitkan lawan-lawan politik untuk menjatuhkan para pejuang politik Islam. Betul bila Nabi saw. bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seseorang itu bergantung pada agama kawannya. Karena itu perhatikanlah setiap dari kalian siapa kawannya (HR Abu Daud).
Kekuatan persona para pengemban dakwah, khususnya Nabi saw., membuat kaum kafir Quraisy tak berkutik menyerang pribadi beliau, juga para sahabat. Mereka dikenal sebagai individu yang baik, dermawan, dekat dan melayani kaumnya. Karena itu tak ada satu pun serangan politik dan kampanye hitam mereka kepada pribadi Nabi saw. dan kaum Muslim. Jalan ‘pembunuhan karakter’ yang mereka lakukan adalah menuduh Nabi saw. sebagai ‘tukang sihir’, ‘pemecah-belah bangsa’, ‘penghina agama nenek moyang’, atau ‘orang gila’, dsb. Tak ada satu pun yang menghantam pribadi Nabi saw. AlLâhumma shalli wa sallim wa bârik ‘alayh.
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤
Sungguh engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung (QS .al-Qalam [68]: 4).
Dakwah ini semakin mendapat tempat di sebagian hati penduduk Makkah karena dilakukan dengan pendekatan ‘aqliyah dan menjunjung adab yang luhur. Bukan dogmatis, paksaan apalagi kekerasan. Allah SWT berfirman:
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ ١٥٩
Disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu (QS Ali Imran [3]: 159).
Kifâh siyâsi yang dilakukan Nabi saw. memiliki karakter khas. Tidak mengenal kompromi. Tak ada tawar-menawar dalam persoalan ideologi yang beliau emban. Dakwah Islam dilakukan dengan berjalan lurus. Tidak mempedulikan sama sekali perhatian ataupun respon masyarakat. Apakah keberatan, menolak atau mendukung. Hal ini berpijak pada firman Allah SWT:
فَٱصۡدَعۡ بِمَا تُؤۡمَرُ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٩٤
Sampaikanlah oleh kamu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari kaum musyrik (QS al-Hijr [15]: 94).
Pada saat kaum kafir Quraisy melihat dakwah Islam semakin berkembang, mereka juga kesulitan menyerang dakwah dan pribadi Rasulullah saw. Lalu mereka menjalankan strategi perundingan untuk menawarkan kedudukan pada beliau.
Utbah bin Rabiah pernah mendatangi Rasulullah saw. dan menawarkan kekayaan, status kemuliaan, jabatan raja, sampai dukun untuk mengobati penyakit bisikan jin kepada beliau (orang-orang Quraisy menuduh Nabi saw. terasuki jin hingga melawan agama nenek moyang). Kebenaran penawaran ini tentu yang tahu hanya Utbah bin Rabi’ah. Sebabnya, dalam diplomasi politik tak jarang tawaran itu adalah semata manuver politik tanpa realisasi.
Namun, hal itu tidak diperhatikan oleh Rasulullah saw. Beliau tak memandang apakah Utbah basa-basi ataukah sungguh-sungguh. Usai mendengar tawaran tersebut, Rasulullah saw. kemudian membacakan QS Fushilat. Sampailah pada ayat ke-37:
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِ ٱلَّيۡلُ وَٱلنَّهَارُ وَٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُۚ لَا تَسۡجُدُواْ لِلشَّمۡسِ وَلَا لِلۡقَمَرِ وَٱسۡجُدُواْۤ لِلَّهِۤ ٱلَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ ٣٧
Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kalian menyembah matahari maupun bulan, tetapi sembahlah Allah Yang menciptakan semua itu jika Dialah yang kalian hendak sembah (QS Fushilat [41]: 37).
Rasulullah saw. kemudian bertanya, “Wahai Abu Walid, setelah kamu mendengarkan apa yang aku baca, masihkah engkau dengan sikapmu?”
Saat itu Utbah benar-benar meyakini bahwa Muhammad adalah utusan Allah saw. dan ia percaya bahwa misi yang dibawa oleh beliau jauh dari keinginan mengejar dunia.
Khatimah
Demikianlah sejumlah kifâh siyâsi, perjuangan politik yang dilakukan Nabi saw. di Makkah. Inilah perjalanan dakwah yang panjang namun mengantarkan kemenangan dan keberhasilan umat. Inilah langkah perjuangan yang harus dijejaki oleh umat untuk mengembalikan kejayaan Islam.
WalLâhu a’lam bi ash-shawab. [Iwan Januar]
0 Comments