Nestapa Kaum Wanita Dalam Cengkeraman Kapitalisme Global

Pandemi Covid-19 sudah berlangsung hampir satu tahun sejak ditetapkan oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020 yang lalu. Pandemi ini dianggap memberikan dampak yang lebih besar terhadap perempuan dibandingkan laki-laki. Dampak yang lebih besar terjadi pada rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan, baik dalam hal risiko penularan maupun dampak ekonomi.

Ada tiga area di mana perempuan dan anak perempuan sangat berisiko. Tiga area itu adalah meningkatnya kekerasan berbasis rumah tangga (seksual dan gender), besarnya risiko terpapar infeksi dan rentan secara ekonomi.

 

Perempuan Menderita Sejak Sebelum Pandemi

Pandemi Covid-19 ternyata meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga. Secara global, ada 243 juta perempuan dan anak perempuan yang berusia 15-19 tahun yang telah menjadi korban kekerasan seksual dan atau kekerasan fisik yang dilakukan oleh pasangan intim mereka. Kekerasan terhadap perempuan ini bahkan dianggap sebagai the shadow pandemi, atau pandemi bayangan. UN Women merasa perlu meluncurkan “kampanye kesadaran publik akan pandemi bayangan (the Shadow Pandemic public awareness campaign)”.

Sejatinya, penderitaan perempuan sudah terjadi sejak lama. Phumzile Mlambo-Ngcuka, Direktur Eksekutif UN Women, mengatakan kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling luas yang sudah banyak terjadi sebelum adanya pandemi. Diperkirakan satu di antara tiga perempuan pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Berdasarkan data UN Women, secara global, 35 persen perempuan pernah mengalami kekerasan fisik dan / atau seksual pasangan intim, atau kekerasan seksual oleh non-pasangan. Setiap hari 137 wanita di berbagai belahan dunia dibunuh oleh anggota keluarganya. Korban perdagangan manusia yang terdeteksi secara global hampir setengahnya adalah perempuan dewasa. Dari empat korban perdagangan anak, tiga di antaranya adalah anak perempuan. Parahnya, tujuannya untuk eksploitasi seksual.

Kemiskinan dialami lebih banyak perempuan di berbagai belahan dunia. Terdapat 330 juta perempuan yang hidup di bawah 1,9 Dollar AS perhari. Di hampir dua pertiga negara-negara di dunia, perempuan lebih sering dilaporkan mengalami lemahnya ketahanan pangan. Mereka terpaksa bekerja untuk menyambung hidup. Bahkan bekerja jauh di luar negeri, meninggalkan anak dan suami. Sebanyak 47,9 persen dari semua pekerja migran internasional adalah perempuan dengan segala macam risiko. Lebih dari setengah perempuan yang bekerja, atau 740 juta perempuan, bekerja dalam bidang ekonomi informal, dan kurang mendapatkan hak-hak dasar dan perlindungan, bahkan dibayar 16% lebih sedikit daripada pekerja pria.

Secara global, masih ada 303.000 perempuan mengalami kematian karena berbagai penyebab yang terkait dengan kehamilan.

Tercatat sekitar 149 juta anak-anak dari seluruh dunia menderita stunting. Ada 49 juta yang menderita gizi buruk. Sebanyak 40 juta penderita kelebihan berat badan. Gangguan terhadap layanan kesehatan dan vaksinasi serta akses yang terbatas ke layanan diet dan gizi berpotensi menyebabkan ratusan ribu tambahan kematian balita dan puluhan ribu tambahan kematian ibu pada tahun 2020

Penderitaan yang jauh lebih besar sesungguhnya dialami oleh perempuan Muslim di berbagai negeri. Perempuan Palestina bertahun-tahun hidup dalam ancaman tentara Israel. Para perempuan pengungsi Rohingya harus terus berjuang untuk bertahan hidup dalam kejaran tentara Myanmar, ancaman perkosaan dan pembunuhan, bahkan juga penolakan berbagai negara. Para Muslimah Uighur diperlakukan tidak manusiawi oleh Pemerintah Cina. Bahkan penilaian hukum formal pertama di Inggris menyatakan adanya bukti-bukti yang menunjukkan upaya genosida terhadap Muslimah di Uighur. Muslimah Kashmir juga mengalami kekerasan dari tentara India.

Para pegiat gender selalu menyatakan bahwa penyebab semua penderitaan perempuan adalah karena ketidaksetaraan gender. Karena itu solusi yang ditawarkan adalah mewujudkan kesetaraan gender dalam berbagai hal, sebagaimana yang dirumuskan berbagai konvensi dan konferensi. Namun faktanya, hingga saat ini berbagai permasalahan perempuan tidak kunjung terselesaikan. Hingga sekarang, belum ada satu Negara pun yang dapat mewujudkan kesetraaan gender. The Global Gender Gap Report 2020 bahkan melaporkan bahwa dunia membutuhkan waktu 257 tahun untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam bidang ekonomi dan 100 tahun lagi untuk mewujudkan kesetaraan gender.

Adanya pandemi Covid-19 yang sudah berjalan hampir satu tahun ini justru makin menyengsarakan perempuan. Anehnya, para pegiat gender masih tetap yakin bahwa kesetaraan gender akan dapat menyelesaikan berbagai problem perempuan di dunia. Mereka bahkan merancang peningkatan partisipasi perempuan dalam bidang ekonomi untuk memulihkan keadaan akibat pandemi. Yang akan terjadi justru nasib perempuan makin terpuruk.

 

Kapitalisme Sumber Nestapa

Berbagai penderitaan yang dialami perempuan sesungguhnya adalah cerminan cara pandang kehidupan yang tidak memberikan penghargaan dan perlindungan terhadap perempuan. Bahkan perempuan dianggap hanya sebagai komoditas dan obyek. Hal ini jelas menunjukkan relasi yang salah antara laki-laki dan perempuan. Relasi yang salah ini sesungguhnya merupakan cerminan sistem kehidupan yang berlaku di masyarakat saat ini. Inilah wajah asli sekulerisme kapitalisme, sistem hidup yang diterapkan saat ini.

Sekulerisme kapitalisme menjanjikan kebebasan perilaku, termasuk dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Karena laki-laki dianggap lebih kuat dan berkuasa, maraklah kekerasan terhadap perempuan.

Di sisi lain, sekulerisme kapitalisme menganggap bahwa hidup hanya di dunia saja. Hal ini membuat mereka makin bebas berbuat. Apalagi adanya konsep HAM dalam pandangan mereka.

Selain itu, tidak adanya keyakinan akan kehidupan akhirat membuat mereka bebas memenuhi apa yang diinginkannya. Jadilah perempuan dan anak-anak menjadi korban kekerasan. Apalagi kapitalisme mengusung jargon: siapa yang kuat dialah yang menang. Ini tampak nyata dalam wajah para penguasa saat ini. Mereka menjadikan kekayaan sebagai tujuan, dengan menghalalkan segala cara, bahkan meski dengan merendahkan sesamanya. Posisi mereka sebagai pemimpin justru menjadi sarana untuk memenuhi syahwat kekuasaan.

 

Islam Memuliakan Perempuan

Islam memandang perempuan sebagaimana memandang laki-laki. Keduanya adalah manusia ciptaan Allah yang memiliki posisi yang sama di hadapan Allah. Oleh karena itu, Islam memerintahkan untuk menjaga dan memuliakan perempuan. Islam juga mengharuskan negara untuk melindungi setiap rakyatnya, laki-laki maupun perempuan, termasuk menjaga kehormatannya dan mensejahterakannya. Islam mewajibkan Khalifah sebagai kepala negara untuk memelihara kehidupannya dan melarang tindak kekerasan.

Rasulullah saw. bersabda:

وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّة يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى الله وَعَدَلَ فَإِنَّ لَه بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَال بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْه

Imam (kepala negara) adalah perisai. Orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikan dirinya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah dan berlaku adil, bagi dia pahala. Jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atas tindakannya (HR al-Bukhari).

 

Penerapan aturan Islam dalam semua aspek kehidupan akan menjamin perwujudan masyarakat yang hidup yang aman, tenteram,sejahtera dan saling menghargai. Semua itu akan terwujud nyata ketika tegak Khilafah Islamiyah yang menerapkan Islam secara kaffah.

WalLahu a’lam. [dr. Arum Harjanti]

 

 

 

 

 

0 Comments

Leave a Comment

twelve + 20 =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password