leksi Ketaatan Pasca Ramadhan
Ramadhan yang dirindu telah berlalu. Ramadhan yang dicinta telah meninggalkan kita. Mereka yang benar cintanya akan melanggengkan ketaatan pasca Ramadhan karena Allah SWT. Ramadhan digambarkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil) (QS al-Baqarah [2]: 185).
Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT menggambarkan Ramadhan sebagai bulan al-Quran diturunkan (syahr al-Qur’ân), diikuti dengan gambaran fungsi al-Quran. Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah dalam At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (hlm. 226) menyatakan: Pertama, hud[an] li an-nâs, menunjuki mereka ke jalan kebenaran dan jalan yang lurus (Islam). Kedua, bayyinât min al-hudâ, yakni mengandung dalil-dalil tegas (dalâ’il qâthi’ah) kemukjizatan bahwa ia merupakan petunjuk yang Allah turunkan. Ketiga, al-Furqân yakni yang memisahkan antara perkara haqq dan bâthil; antara perkara kebaikan dan keburukan; serta antara amal-amal shalih dan amal-amal buruk.
Bukankah dengan petunjuk al-Quran seorang Muslim mendapati tuntunan untuk beriman dan berislam? Dengan al-Quran pula seorang Muslim mampu menyadari kebatilan ideologi Kapitalisme, Komunisme, paham Demokrasi, Pluralisme, Feminisme dan beragam paham yang tidak lahir dari rahim akidah Islam. Semua itu diaborsi dari rahim peradaban Barat yang rusak dan merusak, melahirkan kerusakan. Begitu pula paham-paham ‘ashabiyyah yang memarginalkan peranan Islam dalam kehidupan, semisal Multikulturalisme dan yang semisalnya.
Kedudukan Ramadhan sebagai syahr al-Qur’ân relevan dengan hikmah shaum untuk merealisasikan ketakwaan pada-Nya. Ketakwaan itu bertanda. Tandanya adalah menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya (al-Quran dan al-Sunnah):
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian shaum, sebagaimana shaum itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).
Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil dalam At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (hlm. 223) menjelaskan bahwa Allah SWT telah menjadikan ketakwaan sebagai hikmah bagi ibadah shaum. Ini ditandai keberadaan huruf la’alla pada frasa la’allakum tattaqûn. Takwa itu bermakna: khasyyah (takut) kepada Allah, menaati-Nya serta mempersiapkan diri menuju hari perjumpaan dengan-Nya (Hari Penghisaban), sebagaimana dideskripsikan sebagian sahabat:
اَلْخَوْفُ مِنَ الْجَلِيْلِ وَالْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَالْاِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيْلِ
Rasa takut kepada Al-Khalîl (Allah ‘Azza wa Jalla), mengamalkan at-Tanzîl (al-Quran) dan mempersiapkan diri untuk Yawm al-Rahîl (Akhirat).
Tidak ada ketakwaan tanpa menegakkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan (ideologi, politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, budaya, pertahanan dan keamanan; dalam ruang lingkup kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara).
Paradigma ini sejalan dengan kedudukan shaum yang sudah seharusnya difungsikan sebagai junnah (perisai). Perisai dari segala jenis keburukan di dunia dan akhirat. Perisai dari pelanggaran terhadap syariah Islam yang dilakukan di dunia dan perisai dari siksa Jahanam akibat pelanggaran di akhirat kelak. Ini berdasarkan petunjuk rinci Rasulullah saw. dalam hadis-hadisnya yang mulia:
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَه فَلْيَقُلْ إِ ني امْرُؤٌ صَائِم
Shaum adalah perisai. Jika salah seorang dari kalian sedang shaum, janganlah berkata-kata kotor dan jangan berteriak mengumpat. Jika ada orang yang mencerca atau memerangi dirinya maka ucapkanlah, ‘Aku sedang shaum.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kalimat larangan (al-insyâ’) فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ (janganlah berkata-kata kotor dan berteriak mengumpat) mengandung larangan yang ditegaskan. Ditandai bentuk pengulangan huruf lâ nahi (al-ithnâb bi al-tikrâr). Ini menunjukkan keutamaan shaum sebagai perisai dari perilaku buruk dan tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa, menjadi perisai bagi siksa api neraka di akhirat.
Rasulullah saw. bersabda:
قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَل: الصِّيَامُ جُنَّة يَسْتَجِنُّ بها الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ، وَهُوَ لِي وَأنا أَجْزِي بِه
Tuhan kita ‘Azza wa Jalla berfirman: “Shaum adalah perisai. Dengan perisai ini seorang hamba membentengi diri dari api neraka. Shaum itu untuk-Ku, Aku-lah yang akan membalasnya.” (HR Ahmad).
Kalimat informatif (al-khabar) يَسْتَجِنُّ بها العبد مِنَ النَّار (Dengan shaum itu seorang hamba membentengi diri dari api neraka) bisa dipahami secara majâzî bahwa dengan ibadah shaum, seseorang bisa terhindar dari berbagai keburukan yang menyebabkan datangnya siksa api neraka. Ini diperjelas dengan keterangan وَهُوَ لي وأنا أجزِي بِه (dan shaum itu untuk-Ku, Aku-lah yang akan membalasnya). Ini menunjukkan keutamaan ibadah shaum yang ikhlas ditegakkan semata-mata karena mengharapkan keridhaan-Nya. Bahkan ganjarannya ditegaskan dengan penisbatan langsung ganjaran dari Allah (prinsipnya semua amalan baik dan buruk diganjar oleh Allah).
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu perisai. (Orang-orang) akan berperang mendukung dia dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Fungsi junnah (perisai) di sini bersifat umum. Mencakup perlindungan atas akidah, darah dan kehormatan kaum Muslim. Hal itu bisa terwujud tatkala ada Imam (Khalifah) yang dibaiat oleh umat—untuk menegakkan hukum-hukum Islam kâffah—menegakkan sanksi atas pelaku kemungkaran dan melarang aliran-aliran sesat menyesatkan. Paradigma inilah yang menjadi intisari dari atsar Utsman bin Affan ra.:
مَا يَزَعُ اللهُ بِالسُلْطَانِ أَكْثَرُ مِمَّا يَزَعُ بِالْقُرْآن
Persoalan yang Allah selesaikan melalui keberadaan penguasa lebih banyak daripada yang Allah selesaikan melalui keberadaan al-Quran (yang tanpa kekuasaan untuk menjalankannya).
Tanpa eksistensi kekuasaan (Khilafah), banyak hukum Islam yang terbengkalai. Digantikan hukum-hukum Jahiliah. Ini bertolak dari pergeseran paradigma. Paradigma Islam tentang kehidupan disudutkan oleh paradigma pemikiran Barat.
Ramadhan adalah syahr al-Qur’ân, bulan kebaikan. Tertoreh dalam Dîwân Ahmad Sahnûn:
وهو باب لشهر رمضان شهر*
الخير شهر الصيام شهر القيام
شهر وحي القرآن شهر حياة*
القلب شهر الإحسان والإنعام
Sya’ban adalah pintu bulan Ramadhan; bulan kebaikan, bulan shaum dan bulan shalat malam.
Bulan turunnya wahyu al-Quran, bulan kehidupan kalbu, bulan kebaikan dan berbagi.
Karena itu sudah seharusnya kebaikan tersebut dirawat dengan melanggengkan ketaatan pada sebelas bulan berikutnya, sebagaimana dilantunkan Dawâwîn al-Syi’r al-‘Arabî:
والدهرُ عندكَ كلهُ رمضانُ * مَن لَيس يَبْرَحُ صائِماً مُتَهجّدَا
Seluruh masa bagimu adalah Ramadhan, wahai sosok yang senantiasa shaum dan shalat malam.
Ketaatan tentu harus diwujudkan dengan menegakkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Hal tersebut hanya akan terealisasi dengan tegaknya Khilafah di atas manhaj kenabian.
WaLlâhu a’lam bi ash-shawâb. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; [Peneliti Balaghah al-Quran & Hadits Nabawi]]
0 Comments