Pola Penanaman Sekularisme Radikal
Pada saat membuka Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 di Surakarta, Jawa Tengah (25/10/2021), Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan pentingnya rekontekstualisasi sejumlah konsep fiqih atau ortodoksi Islam dalam rangka merespon tantangan zaman. Dulu Munawir Sadzali menggunakan istilah ‘reaktualisasi ajaran Islam’. Intinya menyesuaikan ajaran Islam dengan realitas, penentu hukum adalah fakta. “Rekontekstualisasi atau reaktualisasi itu kecenderungannya bukan melahirkan hukum yang baru dari Al-Quran dan hadis, tetapi mengubah hukum yang lama disesuaikan dengan fakta yang baru,” ujar KH Shiddiq al-Jawi (21/10/2021).
Tudingan pada ajaran Islam pun melenggang. Sebut saja Buya Syakur. Dia mengatakan bahwa la ilaha illallah itu maknanya adalah mendukung persatuan, bukan kalimat tauhid. “Masak masuk surga dengan ucapan? Memangnya film Barbie. Memangnya film Aladin? Jadi yang dijamin masuk surga adalah yang mendukung Nabi dalam rangka mendukung persatuan,” katanya.
Dia juga mengatakan Islam itu tidak sempurna dengan alasan mana ada di dunia ini yang sempurna.
Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Pasuruan, Jawa Timur, Habib Abubakar Assegaf (@abubakarsegaf, 1/11/2021) mengomentari, “Buya Syakur ini sesepuhnya liberal, memang biasa bicara agama dengan main akal-akalan dan lihai bermain retorika. Hati2 jangan terkecoh. Beliau cuma dijadikan pion dari program moderasi agama yang merupakan kelanjutan dari Islam Nusantara.”
Tak berhenti di situ. Belakangan kotak amal dikaitkan dengan aktivitas kelompok teror. “Ratusan kotak amal yang disita Densus 88 terdiri atas 76 kotak amal kaca berkaki, 706 kotak amal berbahan kaca, 29 kotak amal berbahan kayu, dan satu bundel akta pendirian organisasi,” ungkap Tempo.co (9/11/2021).
“Penelusuran tersebut demi mengetahui secara rinci berapa nilai yang didapat dari pengumpulan dana kelompok teroris. BNPT juga bekerjasama dengan kementerian dan lembaga terkait untuk memonitor secara ketat fundraising yang dilakukan kelompok teror,” tambahnya mengutip Deputi II BNPT Brigadir Jenderal Ibnu Suhendra. Belum ada konfirmasi dari pihak lain.
Terlepas dari kebenarannya, kini orang menggeneralisasi dan mencurigai kotak amal. Semangat berinfak seribu dua ribu yang selama ini berkembang di tengah masyarakat kini dicampuri kekhawatiran.
Berikutnya, Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88, Kombes Aswin Siregar mengatakan bahwa JI selama ini mencari dana lewat bisnis kurma. Tak heran, aktivis Helmi Firdaus berkomentar, “Setelah kotak amal & bisnis kurma dicurigai, selanjutnya mungkin penjual parfum arab,” (8/11/2021).
Tak lama setelah itu (17/11/2021), masyarakat dikejutkan oleh berita penangkapan tiga orang yang dikenal sebagai mubalig oleh Densus 88 dengan tudingan terlibat terorisme. Salah satunya adalah Ahmad Zain an-Najah, anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Kami sangat terkejut sekaligus prihatin dan sedih atas peristiwa ini. Yang bersangkutan adalah anggota komisi fatwa, bukan pengurus. Dugaan keterlibatan yang bersangkutan dalam jaringan terorisme kami pastikan sebagai tindakan pribadi dan tanggung jawab pribadi,” kata Ikhsan Abdullah, Wakil Sekjen MUI.
“Seharusnya MUI dalam pernyataannya juga mengkritisi Densus 88. Karena tuduhan yang dilakukan oleh Densus kepada para da’i itu belum tentu benar. MUI bisa bertanya lebih dalam kepada Densus, misalnya, benarkah Jamaah Islamiyah atau orang-orang yang terlibat dalam JI itu merencanakan aksi terorisme?” komentar Nu’im Hidayat.
Orang yang selama ini menyudutkan umat Islam langsung memberikan stigma negatif pada organisasi Islam tersebut. Sadar atau tidak, peristiwa tersebut memukul kondisi psikologis umat Islam. Pemikiran dihantam. Psikologis digoyang.
Dalam kondisi demikian, berbagai ide sekular radikal pun disajikan. Misalnya, muncul Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) nomor 30 tahun 2021 tentang kejahatan seksual. Intinya, yang dilarang itu adalah perbuatan yang mengandung unsur paksaan, sementara jika atas ‘persetujuan’ atau ‘suka sama suka’ dianggap tidak masalah. Hal ini langsung didukung oleh Kementrian Agama.
Namun, banyak pihak menolak. Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia VII, meminta Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) terkait permen No. 30 Tahun 2021 dicabut atau direvisi. Salah satu putusannya, “Meminta kepada Pemerintah agar mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi/merevisi, dengan mematuhi prosedur pembentukan peraturan sebagaimana ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 yang telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019.” (11/11/2021).
Pakar hukum pidana Romli Atmasasmita mengatakan bahwa adanya frasa ‘persetujuan perempuan’ menimbulkan pertanyaan dari masyarakat, “Apakah Permendikbud tersebut hendak menciptakan kampus merdeka berseks bebas?”
Tren pembuatan peraturan dengan tidak melibatkan publik dan dilakukan diam-diam mengisyaratkan ada upaya untuk benar-benar ditanamkan. Karena itu tidak mengherankan walaupun terdapat penolakan dari sana-sini, tampaknya kebijakan itu jalan terus.
Realitas ini menunjukkan sebuah pola yang jelas. Pola itu berupa perobohan keyakinan terhadap ajaran Islam, penghancuran psikologis umat Islam, pelemahan pemikiran Islam melalui slogan moderasi, dan penanaman ajaran sekular radikal di atas puing-puing keyakinan terhadap ajaran Islam tersebut. Muara dari pola ini adalah tertanamnya sekular radikal dan dijauhkannya ajaran Islam dari kehidupan. Akankah ini berlanjut?
Semuanya bergantung pada para ulama dan pengemban dakwah yang mukhlis. Jika mereka diam, pola itu akan berjalan dengan mulus dan sempurna.
WalLahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]
0 Comments