Kunci Persatuan
Muhammad Rahmat Kurnia
Persatuan. Barangkali itulah salah satu kata yang dirindukan, dibicarakan, namun tak mudah untuk diwujudkan. Beberapa waktu silam saya berkesempatan berkeliling Kota Pare, Jawa Timur. Saat menikmati sarapan nasi pecel, sang penjual menyampaikan, “Saya ini heran ya, umat Islam itu kok tidak bersatu?”
Saya penasaran, “Maksudnya bagaimana, Pak?” tanya saya.
“Lho wong kita ini Islam. Masak memilih pemimpin saja rebutan. Padahal sama-sama Islam. Ribut pada ingin jabatan. Mengapa ya tidak bersatu saja. Katanya, kita ini satu tubuh,” ujarnya mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
Mendengar hal ini, pikiran saya turut berputar. “Betul juga, ya Pak. Kita ini Tuhannya sama, Rasulnya sama Nabi Muhammad, al-Qurannya sama, kiblatnya juga sama,” sambut saya.
“Ada juga yang sama Mas, tujuannya kan ingin masuk surga semua,” selanya.
Lalu saya sampaikan, “Barangkali ada yang beda, Pak”, ungkap saya.
“Apaan tuh?” Tanya dia penasaran.
Saya katakan, “Kepentingan, Pak!”
Sang penjual pecel pun menganggukkan kepalanya yang sudah banyak ditumbuhi uban itu.
Lain penjual pecel, lain pula kawan lama saya. Dia uring-uringan. “Lha, bagaimana ini. Kita sudah tahu mana partai-partai yang mendukung penista agama. Kita pun sudah sepakat untuk tidak memilih parta-partai itu. Termasuk, tidak memilih calon bupati/walikota, calon gubernur, bahkan calon presiden yang mereka usung,” ucapnya dengan nada mempertanyakan. “Eh, ini malah partainya yang justru koalisi dengan partai pendukung penista al-Quran. Tidak benar ini. Kacau dah!” tambahnya.
Saya sampaikan kepada kawan itu, “Dalam sistem politik seperti sekarang ini yang punya kuasa kan partai. Apa kata mereka, ya itulah keputusan politiknya. Apa yang diharapkan oleh masyarakat atau ormas Islam sering tidak sejalan dengan para pelaku politik dalam partai politik.”
Saya sampaikan pula, dulu tahun 2004 saya pernah ikut pertemuan para tokoh umat Islam. Pembicaraannya tentang siap yang layak menjadi pemimpin umat. Dalam forum tersebut semuanya semangat dan yakin akan memiliki pimpinan yang berpihak kepada umat. “Kita harus sadari bahwa apa yang diinginkan oleh ormas Islam belum tentu sama dengan apa yang diputuskan oleh partai Islam atau berbasis massa Islam. Siap-siap untuk kecewa,” ungkap saya saat itu.
Kenyataan memang berbicara, keputusan partai-partai berbeda dengan keinginan para tokoh umat saat itu. Penonton kecewa, begitu ungkapan anak muda tahun 80-an.
Lain lagi dengan ungkapan kakak kelas saya saat kuliah. Setiap bicara selalu “Yang penting persatuan, lupakan jaket.”
Berbagai postingannya pun intinya sama, “Yang penting persatuan, lupakan jaket.”
Namun, itu sebatas omongan. Saat diajak untuk bagaimana mewujudkan persatuan itu, lagi-lagi selalu kembali pada ungkapan, “Yang penting persatuan, lupakan jaket.”
Saya sampaikan bahwa kita ini sering berbicara persatuan umat Islam. Namun, sering pula kita tidak melakukan upaya-upaya untuk mewujudkan persatuan umat Islam tersebut. Apakah persatuan umat berarti hanya ada satu kelompok atau organisasi saja dalam tubuh umat Islam? Menurut saya, tidak. Di dalam surat Ali Imran ayat 104 disebutkan (yang artinya): “Hendaklah ada di antara kalian sekelompok orang (umat) yang menyerukan al-khayr (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Dalam ayat ini digunakan kata ummah dalam bentuk nakirah. Dengan demikian, yang diwajibkan adalah kelompok pertama; sementara kelompok kedua, ketiga, dan seterusnya boleh saja. Jadi, persoalannya bukan pada banyak-sedikitnya kelompok atau organisasi. Meminjam kawan saya, bukan jaket. Yang penting, kelompok/organisasi tersebut menjadi panca indera bagi umat yang terus secara kontinu melakukan upaya peningkatan taraf berpikir islami (irtifâ’ al-fikri al-islâmi) dan menanamkan kesadaran politik Islam (wa’yu siyâsi al-islâmi). Hanya dengan cara demikian umat tidak akan diombang-ambing seperti buih. Tanpa ini semua, umat mulia ini akan tertutup kepekaannya hanya sekadar oleh kegaduhan politik yang diciptakan.
Merekalah yang senantiasa mendengar, mencium, melihat, merasa dan meraba berbagai persoalan yang dapat membahanyakan umat. Mereka memperhatikan masalah keumatan setiap hari. Dengan itu setiap perkara yang merugikan Islam dan umatnya selalu dapat diketahui. Rasulullah saw. mengisyaratkan hal ini, “Siapa bangun pagi, namun tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, maka ia bukan dari golongan mereka.” (HR al-Baihaqi).
Namun, bagi para politisi sekular, kelompok umat seperti ini akan dianggap sebagai ancaman. Tidak aneh jika ulamanya dikriminalisasi dan kelompok/organisasinya dicabut badan hukumnya.
Di situlah letak pentingnya tolok ukur dalam mewujudkan persatuan itu. Al-Quran menegaskan (yang artinya), “Berpegangteguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai berai…” (TQS Ali Imran [3]:103).
Dalam kitab Tafsir ath-Thabari disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hablulLâh’ (tali Allah) adalah Kitabullah (al-Quran) yang terbentang dari langit hingga ke bumi. Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengutip hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban yang menyatakan, “Sesungguhnya al-Quran ini adalah tali (agama) Allah yang kokoh. Ia adalah cahanya nyata, obat yang bermanfaat, penghalang dosa bagi yang berpegang teguh padanya, dan kesuksesan bagi orang yang mengikutinya.”
Salah satu perintah al-Quran adalah mengikuti as-Sunnah. Dengan demikian kunci persatuan umat Islam adalah berpegang teguh pada al-Quran dan as-Sunnah. Itulah kunci persatuan. Selama yang dijadikan pegangan itu adalah sekulerisme, liberalisme, kapitalisme, komunisme dan paham selain Islam lainnya, niscaya persatuan umat hanya akan menjadi slogan. Sebabnya, kepentingan yang akan lebih dominan. Namun, lagi-lagi semua yang berbau Islam, perkara yang dipandang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah, kini dianggap berbahaya. []
0 Comments