Kemerdekaan ala Kapitalisme-Liberalisme
Sekarang sedang ramai dibahas rencana undang-undang tentang sumberdaya air,” ungkap Robin. “Tinggal satu butir yang belum tuntas, terkait apakah swasta boleh masuk ke dalam pengelolaan sumberdaya air,” tambah staf ahli di DPR itu. “Wah, kalau air yang menguasai hajat hidup orang banyak diurusi oleh swasta, krisis hanya tinggal menunggu waktu saja,” komentar saya.
Kegalauan ini sangat beralasan. Betapa tidak, tanah kini menjadi persoalan besar. Bahkan pada 2017 koran Republika memuat tulisan Syafii Maarif berjudul, “Nasionalisme Ekonomi”. Mantan Ketua PP Muhammadiyah itu menyatakan bahwa 80 persen tanah dikuasai oleh konglomerat domestik dan 13 persen dikuasai oleh konglomerat asing. Bila ini benar, berarti 93 persen tanah dikuasai oleh konglomerat, sementara rakyat berjibaku untuk sekadar mendapatkan tanah untuk rumahnya tipe 21. Bila pengelolaan air pun diserahkan kepada swasta, maka bagaimana bisa rakyat berdaulat atas tanah dan airnya. “Bagaimana mungkin keadaan begini dapat dianggap merdeka. Kapitalis liberal berkuasa,” Lili nimbrung.
Ya, kapitalisme dan liberalisme menguasai Indonesia. Apa yang disampaikan oleh Surya Paloh (SP) menarik untuk dicermati. Saya yakin SP tidak akan sembarang bicara. Ketua Umum Partai Nasdem itu, sebagaimana dikutip beberapa media massa, menyebutkan bahwa sistem bernegara Indonesia menganut sistem kapitalis yang liberal (14/8/2019). “Kita ini malu-malu kucing untuk mendeklarasikan Indonesia hari ini adalah negara kapitalis, yang liberal. Itulah Indonesia hari ini,” tambahnya.
“Tidak ada pengamat, lembaga penelitian dan lembaga ilmiah tidak memperhatikan. You tahu enggak bangsa kita ini adalah bangsa yang kapitalis hari ini. You tahu enggak bangsa kita ini bangsa yang sangat liberal hari ini. Ngomong Pancasila, mana itu Pancasila. Tanpa kita sadari juga, kalau ini memang kita masuk dalam tahapan apa yang dikategorikan negara kapitalis,” paparnya.
Hal senada disampaikan Din Syamsuddin. “Pak Surya Paloh dengan assesment kesimpulan bahwa kehidupan kebangsaan kita, negara dan bangsa Indonesia telah terjebak ke dalam kapitalisme liberalisme. Itu adalah kenyataan. Itu adalah anti Pancasila,” ungkap Pak Din (16/8/2019).
Effendi Simbolon merasakan hal serupa. “Karena saya juga termasuk yang sejak awal juga mengkritisi pemerintahan sekarang, Nawacita tapi rasa kapitalis dan liberalis gitu,” tegas anggota DPR RI tersebut (15/8/2019).
Setidaknya ada dua pelajaran yang dapat diambil. Pelajaran pertama, semua itu tambah membuka realitas sesungguhnya. Ada fenomena ‘Maling Teriak Maling’ (meminjam istilah Noam Chomsky). Tak heran bila banyak masyarakat memahami bahwa tuduhan anti-Pancasila terhadap umat Islam tidak lebih dari sekedar tameng untuk membentengi kapitalisme dan liberalisme yang tengah berjalan. “Tampak sekali, betapa saat ini yang berkuasa di Indonesia adalah neo-kapitalisme dan neo-liberalisme,” ujar Pak Rans menanggapi hal tersebut. “Bahkan sedang berjalan neo-imperialisme,” tambahnya.
Pak Lubis menambahkan, “Oleh karena itu, berbagai tudingan terhadap umat Islam sebagai radikal, anti ini dan anti itu, sebenarnya tudingan orang-orang kapitalis dan liberal.”
Pak Rans menambahkan pandangannya, “Ya, jangan salahkan rakyat bila mereka melihat bahwa berbagai tudingan seperti intoleran dan anti-kebhinekaan hanyalah tameng yang dilontarkan oleh para pembela kapitalisme dan liberalisme untuk membungkam perjuangan Islam.”
Pandangan-pandangan demikian bukan sekadar ada di akar rumput, melainkan juga di kalangan tokoh. Sebut saja Pak Din. Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu (18/9/2019) mengatakan: “Kita semua menolak radikalisme, tapi semua pihak harus berkeadilan untuk melihat radikalisme tidak hanya bermotif keagamaan. Juga dilakukan kelompok isme-isme lain, seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme, bahkan radikalisme politik yang cenderung berkuasa demi kekuasaan itu sendiri.”
Beliau menambahkan, “Sekarang ini, banyak yang ingin bersembunyi di balik Pancasila dengan menuduh pihak lain sebagai anti Pancasila dan mengklaim dirinya paling Pancasila. Padahal pada saat yang sama mereka memanipulasi Pancasila itu sendiri untuk kepentingan kekuasaan, politik, atau kelompoknya.”
Pelajaran kedua, bila kapitalisme dan liberalisme yang berkuasa, bukankah ini berarti bahwa hakikatnya rakyat ini belum merdeka? Atau, merdeka dalam makna yang keliru. Dalam kapitalisme-liberalisme, kemerdekaan dimaknai sebagai bebas melakukan apa saja atau memiliki apa saja. Tak mengapa tanah dan air dikuasai segelintir orang baik domestik ataupun asing. Tak mengapa melakukan perbuatan kaum Luth. Kedaulatan dimaknai sebagai tidak harus memiliki, namun yang penting memiliki daya beli. Tak apa infrastruktur dimiliki asing asalkan masyarakat mampu membayar untuk menikmatinya. Dalam kapitalisme liberalisme, berlaku hukum siapa yang kuat itulah yang menang. Hukum rimba. Konglomerat yang berkuasa, sementara rakyat melata. Berbagai keterikatan terhadap Islam dianggap sebagai berlawanan dengan kapitalisme dan liberalisme yang harus diberantas dengan berbagai dalih. Dibuatlah berbagai istilah negatif untuk memojokkannya. Itulah kemerdekaan semu. Kemerdekaan yang sesuai dengan kapitalisme liberalisme.
Lalu kapan kemerdekaan hakiki tercapai? Kemerdekaan hakiki tercapai pada saat manusia terbebas dari penyembahan terhadap sesama manusia menjadi hanya menyembah Pencipta manusia. [Muhammad Rahmat Kurnia]
0 Comments