Utang Luar Negeri dan Masa Depan Bangsa
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti rasio utang pemerintah yang terus meningkat sejak tahun 2015. BPK melaporkan peningkatan rasio utang Pemerintah dimulai dari 2015 hingga 2017. Pada 2015 rasio utang Pemerintah terhadap PDB sebesar 27,4 persen, tahun 2016 sebesar 28,3 persen, tahun 2017 naik lagi jadi 29,93 persen.
Dalam kesempatan lain, Menteri Keuangan mengatakan, banyak orang belum paham. “Sering utang menjadi obyektif atau dilihat sebagai isu, dibandingkan sebagai instrumen fiskal atau alat.”
Banyak Orang Belum Paham?
Masa iya banyak orang belum paham soal utang LN? Padahal untuk tahu berapa utang LN Indonesia cukup hanya dengan pencet tombol search di google. Langsung muncul berapa utang LN Indonesia. Kita akan mendapatkan angka utang LN Indonesia sampai dengan 2019 sebesar US$ 387.6 miliar atau sebesar Rp 5.581 Triliun.
Jika kita mau melihat utang LN Indonesia lebih dalam lagi maka kita akan mendapatkan pemahaman lebih jauh tentang utang LN Indonesia. Di antaranya:
- Pertumbuhan Utang LN.
Jumlah utang LN menggelembung terus dari tahun ke tahun. Hal ini karena:
- Dalam sistem ekonomi ribawi Kaptalisme, utang LN memang diperbolehkan dan hal yang biasa.
- APBN yang selalu defisit (di dalamnya sudah temasuk pembayaran cicilan utang LN) terpaksa harus dengan utang baru.
- Bertambahnya beban anggaran disebabkan oleh penggunaan asumsi indikator ekonomi makro (seperti: suku bunga, nilai tukar rupiah, harga minyak dunia, dll) yang sudah sangat jelas rentan terhadap perubahan/gejolak.
- Negara dan Lembaga Pemberi Utang LN.
Indonesia dipandang sebagai negara yang sangat menguntungkan sebagai negara tujuan investasi para investor (negara pemberi pinjaman) dan sangat akomodatif. Berikut adalah beberapa negara dan lembaga yang selama ini menjadi pemberi utang terbesar ke Indonesia:
- Penyaluran Utang LN.
Berikut ini adalah sektor-sektor yang dibiayai melalui utang LN:
Pembiayaan sektor-sektor ekonomi di atas tentu agar dapat mendorong daya tarik investor memberikan pinjamanya. Tidak aneh jika Pemerintah akan berupaya membuka peluang seluas-luasnya kepada para pemberi pinjaman. Oleh karena itu Pemerintah akan mengeluarkan berbagai kebijakan di sektor-sektor tersebut dalam bentuk UU, peraturan dsb agar bisa memenuhi kepentingan investor/para pemberi pinjaman.
- Ironi Utang LN.
Ada hal yang menarik sekaligus aneh tapi nyata. Dari sekian banyak negara yang memberikan utang kepada Indonesia, ternyata mereka semua juga punya utang dan jumlahnya juga fantastis. Berikut adalah beberapa negara pemberi pinjaman ke Indonesia dan juga memiliki utang LN:
Berdasarkan laporan dari berbagai sumber ternyata hanya ada 7 negara—itu juga negara yg sangat kecil yg tidak punya utang LN—yaitu: Macau, Anguilla, British Virgin Island, Liechtenstein, Palau, Niue, Wallis dan Futuna.
Jadi inilah sistem Ekonomi Ribawi Kapitalisme. Di satu sisi suatu negara bisa memberikan utang ke negara lain. Di sisi lain juga punya utang.
- Utang Lagi, Utang Lagi.
a. Defisit terus, tambah utang terus.
Defisit anggaran tahun 2019 sudah diperkirakan sebesar 1,84% dan akan ditutup dengan pembiayaan utang yang ditargetkan Rp 359,12 triliun. Defisit ini juga terjadi setiap tahun dan terus meningkat (Tahun 2016 Rp 308.2 T, tahun 2017 Rp 362.9 T, tahun 2019 Rp 325.9 T).
b. Bubble Debt – Gali Lubang, Tutup Lubang.
Dengan defisit yang selalu terjadi sepanjang tahun, defisit anggaran harus ditutup dengan dengan utang baru. Hal ini sesuai dengan penambahan utang baru di setiap tahun anggaran:
- Utang LN, Rasional?
a. Utang LN vs PDB.
Pemerintah selama ini mengklaim jumlah utang LN yang saat ini telah mencapai US$ 387.6 miliar (Q1 2019) atau sebesar Rp 5.581 Triliun masih dianggap aman. Alasannya, Utang LN tersebut hanya sebesar 36.9% dari PDB. Masih di bawah 60% rasio terhadap PDB yang diperbolehkan menurut Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara.
Jika kita mengikuti logika di atas, maka kata ‘aman’ untuk jumlah utang sebesar itu tidak rasional dibandingkan dengan PDB. Sebabnya, faktanya kemampuan membayar utang akan selalu tertuang dan tergambar di dalam APBN setiap tahunnya. Itu pun fakta APBN selalu menunjukkan defisit dari tahun ke tahun karena utang yang telah ditarik itu tidak produktif. Utang yang dianggap produktif itu tak hanya sekadar bisa memenuhi aspek likuiditas seperti kemampuan membayar bunga dan cicilan, tetapi juga bisa memberikan pertumbuhan ekonomi yang produktif dan berkualitas karena ada tambahan investasi.
b. Utang LN membebani rakyat.
Pajak adalah satu-satunya sumber Pemerintah untuk membayar utang. Faktanya, Pemerintah selalu menetapkan pemasukan APBN setiap tahunnya melalui pemungutan pajak yang besarnya mencapai rata-rata 80% dari total penerimaan Negara. Angka pajak terus meingkat dari tahun ke tahun. Pajak ini di pungut dari masyarakat!
- Asumsi Indikator Ekonomi Makro, Rentan Terhadap Perubahan!
a. Pertumbuhan Ekonomi Riil vs Non Riil.
Pertumbuhan ekonomi masih tercampur antara pertumbuhan ekonomi riil dan non-riil. Kenyataannya, pertumbuhan keduanya timpang. Penggunaan utang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan di sektor riil, namun realitanya pertumbuhan di sektor riil tidak sepadan dengan pertumbuhan di sektor non-riil.
Sebagai contoh: transaksi sektor non-riil di lantai bursa Efek Jakarta pada 24 Mei 2019 dengan volume transaksi 15 miliar saham menghasilkan total nilai sebesar Rp 7.500 Triliun. Ini menunjukkan bahwa perputaran uang di sektor non-riil sangat-sangat tinggi. Pertumbuhan ekonomi saat ini adalah pertumbuhan yang semu.
b. Nilai tukar rupiah.
Kita semua tahu bahwa fluktuasi nilai tuar rupiah terhadap dolar sangat bergantung pada pasar. Secara langsung gejolak nilai tukar rupiah juga akan sangat berpengaruh pada nilai utang LN. Ini karena utang LN seluruhnya dalam valuta asing, khususnya US$.
c. Harga minyak.
Fluktuasi harga minyak mentah dunia juga selalu berubah-ubah mengikuti pasar. Perubahan harga minyak ini secara langsung berdampak pada nilai pendapatan negara dalam di migas. Selanjutnya akan berdampak pada kemampuan negara untuk membayar utangnya.
d. Suku bunga.
Apa lagi fluktuasi suku bunga yang terkait langsung dengan Surat Berharga Negara (SBN), yaitu instrumen surat utang negara (SUN) yang dijual di pasar internasional. Perubahan suku bunga The Fed (Federal Reserve Bank) AS akan berpengaruh pada Yield SBN (janji keuntungan SBN). SBN ini adalah instrumen terbesar negara di dalam memperoleh utang LN. Jika Yield SBN tidak disesuaikan (dinaikkan) berdasarkan perubahan suku bunga the Fed, maka SBN tersebut akan mempengaruhi minat investor untuk membeli SBN Indonesia.
- Masa Depan Suram karena Utang LN.
- Utang LN sudah masuk ke dalam Vacious Circle (lingkaran setan) Sistem Ekonomi Ribawi yang memaksa negara untuk terus berhutang dalam sistem
- Utang LN menjadi beban rakyat karena Utang LN dibayar melalui pajak yang dipungut dari rakyat.
- Asumsi Indikator Ekonomi Makro yang digunakan adalah asumsi yang keliru karena indikator itu sangat rentan terhadap perubahan eksternal.
Masa Depan Cerah dengan Sistem Ekonmi Islam
Kita semua telah melihat dan merasakan bagaimana sistem ekonomi ini berjalan selama ini. Juga realita utang LN yang secara turun-temurun sejak negeri ini memproklamirkan kemerdekaannya hingga hari ini akan terus membawa kita dalam perjalanan yang sangat panjang untuk menjadi negara yang bebas utang! Kini sudah waktunya kita menyatakan “Stop Utang LN!” Lalu kita bersiap-siap untuk menerapkan Sistem Ekonomi Islam secara kâffah sebagai gantinya.
Penerapan Sistem Ekonomi Islam adalah bagian dari ketakwaan yang akan membawa kita pada harapan yang jauh lebih baik dan mendapatkan keberkahan Allah dari langit dan bumi. [MAN/LM]
0 Comments