Menyoal Pemindahan Ibukota Negara
Presiden Joko Widodo telah mengumumkan pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke luar Jawa. Ditetapkan lokasi ibukota negara baru terletak di dua kabupaten yang tersambung di Kalimantan Timur: Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Terdapat beberapa alasan mengapa Kalimantan Timur terpilih yaitu: risiko bencana minimal, baik bencana banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan, maupun tanah longsor.
Jokowi menyebut beban Jakarta sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan dan pusat jasa. Jakarta juga punya beban berat karena memiliki bandara dan pelabuhan terbesar di Indonesia. Pemindahan ibukota Indonesia ini juga terkait dengan pemerataan pembangunan dan penurunan populasi di Pulau Jawa yang menampung 57% dari total populasi di Indonesia. Selain itu, Jakarta menghadapi sejumlah masalah seperti banjir, kualitas air buruk, menurunnya permukaan tanah, meningkatnya permukaan laut dan kemacetan.
Merujuk pada penjelasan di atas, tentu penting untuk menganalisis lebih mendalam dampak yang timbul dengan kebijakan ini dilihat dari aspek ekonomi dengan pendekatan metode ilmiah. Dalam tulisan ini, penulis akan menganalisis untung ruginya, resistensi terhadap beban utang negara, kerentanan skema pembiayaan swasta yang sangat besar proporsinya dibandingkan skema pembiyaan yang lain, serta siapa yang diuntungkan dan yang dirugikan dari kebijakan pemindahan ibukota negara ini?
Untung-Rugi
Secara ekonomi, penulis melakukan simulasi melalui perhitungan proporsi rasio seluruh biaya pengeluaran pemindahan ibukota terhadap besaran Product Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Kalimantan Timur. Diperoleh bahwa keuntungan pemindahan ibukota negara ke Kalimantan Timur adalah tumbuhnya ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur dan beberapa provinsi lainnya di Pulau Kalimantan saja. Artinya, keuntungan yang diperoleh terbanyak hanya untuk Provinsi Kalimantan Timur itu sendiri dan beberapa provinsi tetangga lainnya yang berada di Pulau Kalimantan. PDRB provinsi tersebut meningkat signifikan sebesar kisaran 0.9%. Provinsi tetangganya, seperti Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan juga naik, tetapi sangat kecil.
Sebaliknya, pemindahan ibukota negara terhadap perubahan PDRB bagi provinsi lainnya di luar Pulau Kalimantan tidak menguntungkan sama sekali. Malahan sebaliknya, yakni merugikan, karena menurunkan PDRB provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Termasuk Provinsi DKI Jakarta. Jakarta terimbas, merosot PDRB-nya sebesar 0.1%. Jawa Barat juga turun sebesar 0.07%. Banten turun sebesar 0.07%. Jogjakarta ikut turun sebesar 0.10%. Provinsi-provinsi lainnya juga terdorong turun PDRB-nya bervariasi pada kisaran 0.01%-0.11%.
Berdasarkan temuan penulis di atas, ternyata pemindahan ibukota ini secara ekonomi tidak memberikan dampak yang menguntungkan terhadap perbaikan ekonomi nasional. Selain karena didesain bukan untuk membangun perbaikan ekonomi, pemindahan ibokota negara ini hanya untuk meningkatkan layanan administrasi dan tata kelola pemerintahan. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan pemindahan ibukota negara ke Kalimantan Timur tidak mampu mendorong perbaikan GDP riil secara signifikan, bahkan bisa dinilai sangat besar loss economy-nya terutama terhadap perekonomian di tingkat provinsi di luar Pulau Kalimantan. Banyak dirugikan.
Pemindahan ini juga tidak memberikan dorongan dan perbaikan sedikitpun terhadap pertumbuhan ekonomi regional dan nasional. Hal ini sebagaimana tercermin dari berbagai indikator makroekonomi seperti konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran Pemerintah dan neraca perdagangan baik di level provinsi maupun nasional. Hanya akan menguntungkan Provinsi Kalimantan Timur dan beberapa provinsi yang berada di Pulau Kalimantan.
Berdasarkan temuan tersebut tampak jelas bahwa secara ekonomi, pemindahan ibukota negara tidak memberikan keuntungan dalam upaya optimalisasi sumberdaya alam yang signifikan. Apalagi dikaitkan dengan tujuan pemindahan ibukota negara, yakni pemerataan pembangunan.
Oleh karena itu, seyogyanya pemerintah perlu melakukan peninjauan ulang (review) dan berpikir ulang (rethinking). Apalagi saat ini pemindahan ibukota negara bukan menjadi prioritas strategis atau kebijakan untuk menumbuhkan ekonomi.
Resistenkah atas Utang Negara?
Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Agustus 2018 sebesar USD 360,7 miliar atau setara dengan Rp 5.480 triliun (kurs Rp 15.200 per USD). Utang tersebut terdiri dari utang Pemerintah dan Bank Sentral sebesar USD 181,3 miliar utang swasta termasuk BUMN sebesar USD 179,4 miliar.
Melihat perkembangan ULN tersebut, apabila pembiayaan pembangunan ibukota negara dibebankan pada utang, tentu akan menambah berat kondisi keuangan negara. APBN akan terjadi broken-down. Ini tentu akan menyulitkan dalam distribusi alokasi terhadap pos anggaran yang mampu mendorong peningkatan produktivitas atas utang. Terutama untuk pos anggaran yang prioritas dan mana yang tidak. Oleh karena itu, biaya pembangunannya tidak perlu dilakukan dari utang. Kalau pembangunannya dari utang, maka ini akan bisa menjadikan ruang fiskal semakin sempit. Pasalnya, bayar utang bunga saja yang cukup mahal, tertinggi se-Asia Pasifik, di atas 8%, belum utang pokoknya. Apalagi tax-ratio saat ini dalam mendorong pendapatan fiskal sulit tercapai target.
Meskipun demikian, Pemerintah mengklaim pembiayaan pemindahan ibukota negara tidak berasal dari utang. Skema pembiayaannya berasal dari APBN Rp 89,4 triliun (19,2%), kerjasama Pemerintah dengan badan usaha (KPBU) sebesar Rp 253,4 triliun (54,4%) dan swasta Rp 123,2 triliun (26,4%).
Berdasarkan skema pembiayaan tersebut, ternyata pembiayaan pemindahan ibukota sangat berisiko terutama dilihat dari aspek efektivitas dan efisiensi alokasinya. Selain itu, bagi pihak yang ikut terlibat sangat bergantung pada daya tarik investasi di Kalimantan Timur dari swasta. Apabila risiko dan menjaga daya tarik ini tidak dapat terwujud, tentu saja pembiayaan ibukota negara akan kembali lagi kepada negara yang penuh risiko. Jangan sampai pembiayaan berasal dari APBN dengan melakukan penambahan utang. Jika demikian, pembiayaan pemindahan ibukota sangat resisten terhadap utang. Ini akan membebani negara. Akibatnya, APBN tidak lagi pruden. Lalu akan dikompensasi oleh pos belanja kegiatan penting lainnya. Akhirnya, belanja ibukota negara ini akan terganggu dan sangat memberatkan siklus bisnis ekonomi. Pengelolaan fiskal menjadi tidak sehat dan berwibawa.
Peran Swasta, Perlu Waspada
Pemberian keleluasaan pihak swasta untuk berperan dalam membangun ibukota baru sangat potensial. Tidak hanya diberi peran dalam skema KPBU saja, tetapi juga diberi skema swasta. Tentu hal ini sangat bergantung pada daya tarik dan iklim investasinya. Apakah memberikan keuntungan atau tidak. Pihak swasta tentu menghitung risiko dan keuntungan yang akan diperoleh. Apalagi Pemerintah tidak akan memberikan insentif apa-apa kepada swasta, tetapi akan memberikan kepastian konsesi. Itu jauh lebih penting daripada tax insentif atau insentif fiskal lain. Termasuk dalam dua skema tersebut.
Penulis memperkirakan tak banyak swasta yang tertarik ikut membangun infrastruktur di lokasi ibukota baru. Alasannya, masih banyak tantangan bagi swasta jika ingin terlibat di sektor infrastruktur. Selain aturan main dan regulasi yang masih belum jelas, juga kondisi perekonomian yang masih dibayang-bayangi ketidakpastian.
Pihak swasta yang mungkin belum berminat atau masih menunggu (wait and see) karena ada beberapa pertimbangan. Pertama, laporan Bank Dunia terkait pembangunan infrastruktur di Indonesia. Menurut laporan tersebut, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir kontribusi swasta tercatat hanya sebesar 10% dalam pembangunan infrastruktur. Kedua, dengan kondisi perekomian dunia yang tengah melambat, jumlah investor atau investasi di sektor infrastruktur diperkirakan sedikit. Apalagi return investasi infrastruktur yang telah dibangun sebelumnya juga belum pasti mencapai break even point atau balik modal. Ketiga, risiko usaha yang ditanggung sendiri. Selain tidak diberi berbagai insentif dan kemudahan, juga masih belum mempunyai kejelasan dalam petunjuk teknisnya. Keempat, kondisi perekonomian domestik yang mulai melambat tumbuhnya. Apalagi adanya risiko keuangan yang perlu diwaspadai yang mengarah pada ancaman resesi.
Meskipun demikian, tentu peluang sangat besar diberikan dalam membangun ibukota baru ini adalah pihak swasta dengan berbagai skema yang disiapkan. Swasta akan memiliki peran penting dalam membangunnya. Bahkan swasta diberi keleluasaan secara pasti sebesar 26%. Peran swasta ini juga perlu hati-hati karena sarat dengan kepentingan. Maka dari itu, pihak swasta mana saja yang diperbolehkan terlibat dan tidak, tentu akan menjadi penting. Kepentingannya, selain pada pertahanan dan keamanan jangka panjang, juga terhadap eksistensi negara ini. Pasalnya, ibukota negara tidak hanya sebuah tata kota dan pelayanan negara yang baik, tetapi sebagai simbol dari kekuatan negara. Apalagi pihak swasta yang akan ikut membangun gedung-gedung yang sangat strategis terkait dengan pertahanan keamanan negara. Jangan sampai pihak swasta yang masuk adalah swasta yang mempunyai kepentingan tidak dikehendaki. Tidak hanya kepentingan bisnis, tetapi kepentingan yang akan membahayakan keamanan dan pertahanan negara di masa mendatang. Apalagi swasta asing yang sangat berisiko. Tidak hanya risiko fiskal, tetapi juga risiko pembiayaan dan pertahanan keamanan. Oleh karena itu, pelibatan pihak swasta ini menjadi critical point. Di satu sisi diperlukan sebagai investornya, tetapi di sisi lain berdampak dari aspek risiko dan strategis keamanan, serta eksistensi kedaulatan sebuah negara.
Urgenkah dan Siapa Diuntungkan?
Pemindahan ibukota negara ke Kalimantan Timur sejatinya masih belum menjadi urgen dan prioritas dalam mendorong tumbuhnya ekonomi saat ini. Justru seharusnya saat ini Pemerintah lebih fokus menyelesaikan berbagai masalah ekonomi nasional yang sedang tidak menguntungkan. Tidak hanya berat dan penuh tantangan. Salah satunya, kondisi ekonomi global yang unpredictable yang mendorong ketidakpastian, perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta pertumbuhan ekonomi dunia sedang melambat. Bahkan berbagai prediksi ekonomi, dampak pelambatan ini akan mendorong resesi ekonomi di berbagai negara, tanpa kecuali Indonesia.
Harusnya yang dilakukan Pemerintah saat ini bukan memindahkan ibukota negara, tetapi produktivitas kinerja ekonomi dari sisi supply driven. Artinya, memperbaiki produksi dalam negeri dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam, dengan perbaikan teknologi dan inovasi sebagai upaya meningkatkan daya saing, nilai tambah dan efek pengganda terhadap berbagai komoditi. Selain itu adalah menciptakan dan menjaga demand-driven. Tidak hanya di pasar domestik, namun juga di pasar global. Melalui pembangunan pusat-pusat ekonomi baru di luar Jawa yang langsung dekat dengan pusat sumberdaya inputnya, dengan perbaikan berbagai sarana dan prasarana infrastruktur yang mendukung industri manufakturnya. Terutama yang berorientasi ekspor.
Kebijakan pemindahan ibukota juga perlu kajian akademik dan perencanaan secara matang agar eksekusinya efektif dan efisien. Tidak mengganggu siklus bisnis perekonomian jangka pendek dan panjang, baik sektoral, regional maupun nasional. Sosialisasi dan jajak pendapat dari publik juga sangat penting. Tidak hanya untuk koreksi, tetapi juga kualitas kebijakan yang dikeluarkan semakin baik. Harapannya, implementasi akan semakin terukur dan terencana dengan baik dan seksama. Selain itu, juga layak atau tidaknya kebijakan ini perlu dilihat selain dari aspek ekonomi, tetapi juga aspek lainnya seperti, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, lingkungan, administrasi, tata kelola dan pemerintahan.
Lalu siapa yang diuntungkan dari kebijakan ini? Jangan sampai rakyat atau rumah tangga yang dirugikan, termasuk Pemerintah, karena pemerintah sebagai representasi rakyat. Jika Pemerintah sebagai public regulator yang dirugikan, tentu kerugiannya akan dirasakan langsung juga oleh masyarakat. Jangan sampai regulasi itu hanya menguntungkan pihak swasta baik dalam maupun luar negeri karena proporsi perannya sangat terbuka. [M. Rizal Taufikurahman; Peneliti INDEF]
0 Comments