Negara Wajib Memenuhi Kebutuhan Dasar Rakyat

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافىً فى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Siapa dari kalian yang bangun pagi dalam keadaan hatinya aman/damai, sehat badannya dan memiliki makan hariannya maka seolah-olah telah dikumpulkan dunia untuk dirinya (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Bukhari dalam Adab al-Mufrad, al-Qudha’i dalam Musnad Syihâb, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Îmân dan al-Humaidi dalam Musnad al-Humaidi).

 

Imam at-Tirmidzi berkomentar, “Hadis ini hasan gharîb. Kami tidak mengetahui hadis ini kecuali dari penuturan Marwan bin Muawiyah.”

Ibnu Abi ‘Ashim di dalam Al-Ahâd wa al-Matsâniya dan Abu Nu’aim di dalam Hilyah al-Awliyâ` juga meriwayatkan hadis tersebut dengan tambahan redaksi di akhirnya:

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِيْ سِرْبِهِ, مُعَافًا فِيْ جَسَدِهِ, عِنْدَهُ طَعَامُ يَوْمٍ فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ اَلدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا

Siapa dari kalian yang bangun pagi dalam keadaan hatinya aman/damai, sehat badannya dan memiliki makan hariannya maka seolah-olah telah dikumpulkan untuk dirinya dunia dengan seluruh sisinya.

 

Al-Hafizh al-Mubarakfuri di dalam Tuhfah al-Akhwadzi menjelaskan makna hadis di atas: Kata “âminan” yakni tidak takut terhadap musuh. “Fî sirbihi”, yakni fî nafsihi (pada dirinya). Dikatakan pula: as-sirbu adalah jamaah. Jadi maknanya, “dalam keluarga dan kerabatnya”. Dikatakan as-sarbu yakni di perjalanan dan jalannya. Dikatakan juga, as-sarabu, yakni di rumahnya. Demikian disebutkan oleh al-Qari dari sebagian pen-syarh.

Di dalam Al-Qâmûs disebutkan, as-sarbu adalah jalan; as-sirbu adalah jalan, keadaan, hati, diri dan jamaah. As-sarabu adalah lubang binatang dan lubang galian di bawah tanah.

Dengan demikian yang dimaksud oleh hadis tersebut adalah al-mubâlaghah (menyatakan secara berlebihan) dalam hal adanya rasa aman meski di rumah, di bawah tanah yang sempit, seperti lubang binatang buas. Mu’âf[an] yakni sehat dan selamat dari berbagai penyakit dan rasa sakit, fî jasadihi (pada tubuhnya) secara lahir dan batin. ‘Indahu qûtu yawmihi yakni kecukupan makanannya dari yang halal. Fakaannamâ hîzat lahu, yakni dari al-hiyâzah (perolehan) yaitu dikumpulkan dan dihimpunkan untuk dirinya, ad-dunyâ. Di dalam al-Misykâh ditambah frasa: bihadzâfîrihâ. Menurut al-Qari, yakni bitamâmihâ (dengan sempurna semuanya). Maknanya, seolah diberi dunia seluruhnya.

Dalam hadis ini, Rasul saw. mengisyaratkan bahwa ketiganya yakni keamanan, kesehatan dan pangan, merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi sehingga tercapai kecukupan untuk menjalani kehidupan dunia. Ini menunjukkan ketiganya merupakan kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar dalam kehidupan individu dan masyarakat.

Dalam hadis di atas, Rasulullah saw. menunjukkan betapa pentingnya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok bagi individu dan umat itu. Beliau menjelaskan bahwa ketersedian kebutuhan-kebutuhan itu bagi seseorang membuat dirinya seperti memperoleh dunia secara keseluruhan. Ini sebagai kiasan dari pentingnya kebutuhan-kebutuhan ini.

Islam telah mewajibkan terealisasinya jaminan atas pemenuhan kebutuhan pokok individu dan masyarakat. Islam memberikan serangkaian hukum syariah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan, papan dan sandang bagi tiap individu rakyat dengan mekanisme langsung dan tak langsung; oleh laki-laki, keluarga, masyarakat dan negara.

Adapun terkait kebutuhan akan keamanan, kesehatan dan pendidikan, maka Islam mewajibkan negara untuk menyediakan semua itu bagi masyarakat. Hal itu ditunjukkan oleh banyak dalil.

Jaminan atas keamanan termasuk kewajiban utama negara. Negara wajib menyediakan keamanan dan rasa aman bagi seluruh rakyat. Negara kehilangan sifat entitasnya jika tidak bisa menyediakan keamanan dan rasa aman. Oleh karena itu, syarat Darul Islam adalah mampu menjaga keamanannya dengan kekuatannya sendiri. Karena itu Rasulullah saw., ketika memberitahu kaum Muslim tentang darul hijrah mereka, beliau menyebutkan keamanan pertama kali. Beliau bersabda kepada para Sahabat di Makkah, “Inna AlLâh ‘Azza wa Jalla ja’ala lakum ikhwân[an] wa dâr[an] ta`manûna biha (Sungguh Allah menjadikan untuk kalian saudara dan negeri yang dengan itu kalian akan merasa aman).”

Jaminan kesehatan dan pengobatan juga merupakan kewajiban Negara untuk seluruh rakyat. Klinik dan rumah sakit merupakan fasilitas publik yang dibutuhkan oleh rakyat dalam hal pelayanan kesehatan dan pengobatan. Dengan demikian pengobatan dan pelayanan kesehatan secara substansinya merupakan kemaslahatan dan fasilitas untuk rakyat. Hal itu menjadi kewajiban Negara sebagai bagian dari ri’ayah-nya terhadap rakyat. Sabda Rasul, “Al-Imâm râ’in wa huwa mas`ûl[un] ‘an ra’iyyatihi (Iimam/ khalifah/ kepala negara adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya).” (HR al-Bukhari).

Ini merupakan nas yang bersifat umum tentang tanggung jawab Negara atas pelayanan kesehatan dan pengobatan karena hal itu masuk dalam ri’âyah yang wajib atas Negara.

Dalil khusus atas pelayanan kesehatan dan pengobatan adalah hadis yang menyatakan bahwa Rasul saw.—selaku kepala negara saat itu—pernah mengutus dokter untuk mengobati Ubay bin Kaab ra. (HR Muslim). Saat Rasul saw. mendapat hadiah seorang dokter dari Muqauqis, beliau menjadikan dokter tersebut sebagai dokter umum untuk seluruh kaum Muslim. Imam al-Hakim di dalam Al-Mustadrak juga meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah mengutus dokter untuk mengobati Aslam. Masih banyak dalil-dalil lainnya.

Semua ini adalah dalil bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan termasuk kebutuhan dasar rakyat yang wajib disediakan oleh Negara secara gratis bagi rakyat yang memerlukan.

Adapun pendidikan, dalilnya adalah tindakan Rasul saw.—sebagai kepala negara—yang menjadikan tebusan tawanan perang dari kaum kafir adalah mengajari baca tulis sepuluh anak kaum Muslim. Tebusan termasuk ghanîmah yang menjadi hak seluruh kaum Muslim. Selain itu ada Ijmak Sahabat bahwa guru diberi gaji dari Baitul Mal.

Semua itu menegaskan pentingnya pemenuhan kebutuhan pokok bagi individu dan rakyat sebagaimana ditunjukkan oleh hadis di atas.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 


0 Comments

Leave a Comment

four + nine =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password