Ironi Ramadhan

Tak terasa, bulan Ramadhan kembali menyapa seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Bulan Ramadhan penuh keberkahan, kemuliaan dan ampunan dari Allah SWT. Karena itu bulan Ramadhan selalu dinantikan dan dirindukan oleh seluruh kaum Muslim dimanapun.

Berbagai cara dilakukan oleh umat Islam dalam menyambut Ramnadhan, seperti kegiatan Tarhib Ramadhan dan lainnya. Munculnya rasa bahagia dalam diri seorang Mukmin saat menyambut Ramadhan adalah bagian dari wujud keimanannya.

Rasulullah saw. menyampaikan kabar gembira perihal keutamaan Ramadhan. Beliau saw. bersabda:

قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا قَدْ حُرِمَ

Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa di dalamnya. Di dalamnya pintu-pintu surga dibuka. Pintu-pintu neraka ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, sungguh ia terhalangi (HR Ahmad).

 

Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan, “Bagaimana tidak gembira, seorang Mukmin diberi kabar gembira dengan pintu-pintu surga yang tebuka dan pintu-pintu neraka yang tertutup. Bagaimana mungkin seorang yang berakal tidak bergembira jika diberi kabar tentang sebuah waktu yang di dalamnya para setan dibelenggu. Dari sisi manakah ada suatu waktu menyamai waktu ini (Ramadhan)?” (Ibnu Rajab, Lathâ’if al-Ma’ârif, hlm. 148).

 

Kesalihan Spritual Individu Meningkat

Setiap individu Muslim berlomba dalam kebaikan untuk meningkatkan amal shalihnya pada bulan Ramadhan guna meraih derajat takwa. Mereka melaksanakan qiyâm Ramadhan (shalat tarawih), membaca al-Quran, memberikan infak dan sedekah, serta amalan nâfilah lainnya seperti menyediakan menu berbuka puasa secara gratis, dan lainnya.

Semua amalan tersebut terwujud karena adanya keinginan dari diri sendiri, juga karena lingkungan sosialnya. Pada Bulan Ramadhan, semua suasana dan kondisi membuat kesalihan seseorang meningkat. Seorang Muslim menjadi mudah melakukan amal shalih, baik yang bersifat wajib maupun sunnah. Inilah di antara keberkahan Bulan Ramadhan. Apalagi setiap Muslim ingin mendapatkan sebanyak-banyaknya pahala dari Allah SWT yang diberikan selama bulan Ramadhan, yakni pahala yang berlipat ganda. Abu Hurairah ra menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Setiap amalan kebaikan manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah SWT berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Puasa adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalas kebaikannya. Sebabnya, dia telah meninggalkan syahwat dan makan semata-mata karena Aku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kesturi.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahulLâh mengatakan, “Sebagaimana pahala amalan puasa akan berlipat-lipat dibandingkan dengan amalan lainnya, maka puasa pada Bulan Ramadhan lebih berlipat pahalanya dibandingkan dengan puasa pada bulan lainnya. Ini semua bisa terjadi karena mulianya Bulan Ramadhan dan puasa yang dilakukan adalah puasa yang diwajibkan oleh Allah pada hamba-Nya. Allah pun menjadikan puasa pada bulan Ramadhan sebagai bagian dari rukun Islam, tiang penegak Islam.” (Ibnu Rajab, Lathâ’if al-Ma’ârif, hlm. 271).

 

Kemaksiatan Sosial Tetap Berjalan

Memang, secara individual kesalihan tampak meningkat selama Ramadhan. Namun, kemaksiatan secara sosial tidak berhenti. Bahkan terus berjalan. Inilah ironisnya perkara yang selalu kita temui pada Bulan Ramadhan. Harusnya ketika kesalihan meningkat, maka berbagai macam bentuk kemaksiatan pun turun. Bahkan hilang. Namun, faktanya tidak.

Praktik perbankan yang jelas-jelas mengandung unsur ribawi, misalnya, terus berjalan seolah tanpa henti. Padahal pelaku riba dilaknat oleh Rasulullah saw. Jabir bin ‘Abdillah ra. menuturkan:

لَعَنَ رَسُولُ الله -صلى لله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَه وَكَاتِبَه وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah saw. telah melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya. Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (HR Muslim).

 

Bahkan praktik ribawi bisa mendatangkan kemurkaan Allah SWT, yang kemudian menimpakan azab bagi manusia di suatu negeri. Rasulullah saw. bersabda:

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا والرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ الله

Jika perzinaan dan riba sudah merajalela di suatu negeri maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka (HR ath-Thabrani dan al-Hakim).

 

Begitu pula dengan bentuk kemaksiatan yang lain seperti praktik sistem ekonomi kapitalistik, misalnya dalam hal pertambangan. Dalam Islam, tambang sejatinya adalah milik umum. Faktanya, tambang dimiliki oleh individu, para pemilik modal, diswastanisasi. Bahkan tambang tersebut dimiliki oleh pihak asing. Padahal di dalam Islam, tambang tidak boleh diberikan ke pihak swasta, apalagi pihak asing. Rasulullah saw. bersabda:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).

 

Perserikatan pada hadis tersebut di atas bermakna perserikatan dalam pemanfaatan. Artinya, semua orang boleh mengambil manfaatnya. Tidak boleh dikuasai oleh seseorang atau sebagian saja, sementara sebagian yang lain dihalangi/dilarang. Artinya, di situ ada izin dari Asy-Syâri’ kepada semua orang secara berserikat untuk memanfaatkan jenis harta itu.

Begitu pula dengan kemaksiatan lainnya seperti praktik pelacuran dan perzinaan; tidak berhenti selama Ramadhan. Sungguh sangat ironis sekali.

 

Arus Sekularisasi Semakin Deras

Proses sekularisasi juga terus berjalan di negeri ini. Sekularisme bermakna fasl ad-diin ‘an al al-hayâh (memisahkan agama dari kehidupan) atau fasl ad-diin ‘an ad-ad-dawlah (memisahkan agama dari negara). Dalam system sekuler, agama hanya diperkenankan mengatur kehidupan ibadah manusia secara spiritual, tidak digunakan untuk mengatur kehidupan manusia. Agama tidak boleh mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Jelas, dalam sistem sekuler, kehidupan masyarakat di negara tersebut juga sekuler. Jauh dari tatanan kehidupan yang diatur oleh syariah Islam. Padahal Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual semata. Islam juga mengatur aspek ibadah non-ritual, seperti muamalah antarmanusia (ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, budaya, pergaulan dan lainnya).

Program moderasi beragama juga sampai sekarang massif dijalankan. Tidak hanya dilakukan di madrasah-madrasah, namun juga di sekolah-sekolah umum. Ide moderasi beragama ini memang begitu gencar dikampanyekan atau disosialisasikan oleh Pemerintah, yakni melalui Kemenag, khususnya melalui Ditjen Pendidikan Islam. Pertengahan Juli 2020 yang lalu juga sudah dikeluarkan buku modul Membangun Karakter Moderat untuk MI, MTs, dan MA. Sebelumnya, pada bulan September 2021, Kemenag telah merilis 4 modul moderasi beragama. Ada 4 indikator yang selalu digaungkan oleh para penggagas moderasi beragama, yakni adalah soal komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan atas tradisi.

 

Isu Radikal Terus Digulirkan

Pada pengarahan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, selasa (1/3/2022), Presiden Jokowi menyampaikan agar para ibu (istri TNI-Polri) tidak mengundang penceramah yang radikal.

Tidak lama setelah pidato dari Presiden Jowoki tersebut, beberapa hari kemudian Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid selaku Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyampaikan uraian indikator-indikator yang bisa termasuk penceraham radikal. Ada lima indikator yang disampaikan oleh BNPT. Pertama, mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro ideologi Khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama. Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan sebaran hoax. Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas). Kelima, biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifan lokal keagamaan.

Indikator yang dibuat oleh BNPT diduga kuat akan menyebabkan islamophobia di kalangan masyarakat, khususnya bagi umat Islam. Apalagi indikator ini adalah versi BNPT. Bisa jadi benar radikal menurut BNPT, namun tidak menurut kalangan ulama. Apalagi makna radikal sebenarnya bermakna netral. Tidak mutlak bermakna negatif.

Kata radikal berasal dari kata radix yang dalam bahasa Latin artinya akar. Dalam kamus, kata radikal memiliki arti: mendasar (sampai pada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I, 2008).

Kalau kita kembalikan radikal kepada pengertian asalnya, kata radikal bersifat ‘netral’. Tidak condong pada sesuatu yang bermakna positif atau negatif. Positif atau negatif bergantung pada apa kata radikal itu dipasangkan.

Contoh, “Muslim Radikal”, artinya adalah seorang Muslim yang sangat memegang prinsip hidup sesuai dengan keyakinannya, yakni agama Islam. Keyakinan, ucapan dan perbuatan semuanya dikembalikan pada Islam sebagai prinsip hidupnya.

Memang sudah seharusnyalah begitu sikap seorang Muslim. Jangan sampai mengaku berakidah Muslim, namun dari segi ucapan dan perbuatan menunjukan yang sebaliknya. Ibarat orang yang sedang shalat, kiblatnya menghadap ke Ka’bah, namun ucapan dan perbuatannya berkiblat pada kehidupan Barat sekuler-kapitalistik.

Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. Imran Mawardi MA, mengatakan, istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebabnya, pasca keruntuhan Komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam (Hidayatullah.com).

Oleh karena itu, seharusnya setiap orang benar-benar menjadikan Ramadhan ini sebagai wasilah untuk semakin menjadi pribadi yang bertakwa kepada Allah SWT. Takwa bermakna, sebagaimana kata Imam Ali ra.:

اَلتَّقْوَى: اَلْخَوْفُ مِنَ اْلجَلِيْلِ وَالْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَالْقَنَاعَة بِاالْقَلِيْلِ وَاْلإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيْلِ

Takwa adalah takut kepada Allah Yang Mahaagung, mengamalkan al-Quran, merasa cukup dengan yang sedikit, menyiapkan bekal untuk menghadapi Hari Penggiringan (Hari Kiamat).

 

Salah satu tanda takwa adalah adanya rasa takut. Termasuk takut saat tidak berhukum dengan hukum Allah, juga takut saat mengkriminalisasi ajaran Islam dan ulamanya. Tidak hanya banyak membaca al-Quran selama Ramadhan, namun juga mengamalkan aturan-aturan atau hukum syariah yang terkandung di dalamnya.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Adi Victoria; (Penulis & Aktivis Dakwah)]

 

0 Comments

Leave a Comment

4 × 5 =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password